Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
JURNALISLAM.COM – “Please, call me cebong. Hari ini saya menjadi cebong. Silahkan panggil saya cebong,” demikian Kapitra Ampera mendeklarasikan pilihan politiknya untuk hinggap di PDIP baru-baru ini. Kapitra, Ali Mochtar Ngabalin yang ketibanrezeki jabatan komisaris, dan mungkin sekian banyak lainnya adalah figur yang meloncat dari satu kelompok (politik) ke kelompok lainnya.
Fenomena kutu loncat sebenarnya bukan hal baru. Terlebih dalam sirkus politik Indonesia saat ini. Mantan gubernur DKI, terpidana kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah kutu loncat dari Golkar, kemudian ke Gerindra. Saat menjabat menjadi gubernur, Ahok justru melontarkan celaan ketidakpercayaan pada partai-partai politik. Namun saat hendak mencalonkan kembali menjadi gubernur, ia dengan senang hati merangkul partai-partai politik.
Fenomena kutu loncat politik ini semakin menakjubkan dengan adanya biaya transfer layaknya seorang pemain sepak bola. Bukan Mbappe, Neymar atau Ronaldo, namun Lucky Hakim yang menjadi bintang transfer tersebut. Lucky Hakim yang awalnya dari PAN mengakui bahwa Nasdem kemudian memberikan uang sebesar Rp. 5 milyar dan bantuan logistik Rp 2 milyar agar bisa membantu Nasdem di daerah pemilihan Jawa Barat VI.
Selama pemilihan kepala daerah 2018 kemarin, kita pun disuguhi atraksi-atraksi loncat partai, lintas basis massa pemilih, dan koalisi-koalisi yang sangat cair. Fenomena ini sesungguhnya akan terus berlanjut seiring dengan semakin memudarnya pengaruh partai. Partai hanya dianggap sebagai kendaraan (umum) politik. Maka jika hasrat atau tujuan telah atau tidak terpenuhi, hajat itu bisa dipenuhi dengan mudah menyeberang ke partai lain.
Program, visi dan terutama ideologi partai serta politisi tak lagi penting untuk dipertimbangkan. Seorang figur bisa saja yang selama ini bersolek sebagai figur Islami tiba-tiba hinggap di partai sekuler yang punya penolakan terhadap berbagai perda yang menyerap aspirasi umat Islam. Begitupun sebaliknya, partai sekuler beserta tokohnya tiba-tiba bisa berdandan islami. Mendadak berkerudung, mendadak berpeci atau bersurban, jika mendekati masa-masa pemilu. Bahasa-bahasa pro-sekularisme ditinggalkan dengan menyuguhkan simbol-simbol Islami. Partai-partai berbasis massa Islam tiba-tiba tak lagi malu untuk menyuarakan usangnya politik Islam.
Pragmatisme para aktor politik dapat dibaca sebagai satu gejala menyurutnya ideologi dalam politik. Pada awal-awal revolusi Indonesia hingga tahun 1965, politik aliran begitu penting dan mendominasi. Partai-partai dibagi beberapa ideologi seperti Islam (Masyumi, NU, Perti, PSII), Komunis (PKI), Nasionalis-Sekular (PNI) dan lainnya. Massa program partai terlihat jelas perbedaannya. Partai politik Islam, meski terdiri dari beberapa partai, tetapi kompak menyuarakan ideologinya, yaitu Islam sebagai dasar negara pada sidang konstituante.
Munculnya rezim orde baru kemudian melakukan politik deideologisasi partai-partai. Semua dikubur atas nama pembangunan (developmentalisme). (firman Noor : 2014) Rezim Soeharto melakukan penguburan ideologi politik dengan beberapa kebijakan seperti peleburan partai-partai politik, hingga hanya menjadi tiga, PDI, PPP dan Golkar. Lebih lanjut, kebijakan massa mengambang diterapkan sehingga partai-partai politik tak lagi mampu menembus massa akar rumput dibawah. Melepas mereka dari konstituennya. Sehingga rakyat dijauhkan dari politik (ideologis). Jurus maut terkahir rezim orba dengan melakukan penggusuran ideologi lewat pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal, bukan saja kepada partai, tetapi juga kepada ormas-ormas termasuk ormas Islam.
Euforia sempat melanda partai-partai saat reformasi. Partai-partai bermunculan. Tetapi sistem politik akhirnya memaksa partai-partai bersikap pragmatis. Sikap pragmatis partai-partai ini dapat dilihat dari hasil penelitian Firman Noor (2014) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan beberapa tanda pragmatisme partai ini antara lain; ideologi tak lagi menjadi sesuatu yang penting. Partai-partai bersikap permisif dan serba boleh dalam berkoalisi.
Gerak langkah partai-partai lebih banyak digerakkan oleh upaya untuk bertahan hidup dan kepentingan untuk terus berada di dalam kekuasaan. Cara- cara yang pragmatis ditempuh bahkan mereka rela untuk melakukan ‘migrasi ideologi atau perpindahan sikap idelogis. (Firman Noor : 2014)
Akhirnya peran ideologi hanya berjalan (atau berjualan tepatnya) di masa elektoral saja. Beberapa partai pada masa-masa menjelang pemilihan menunjukan kecenderungan dan geliat pergerakan yang menjadikan ideologi sebagai patokan kebijakan dan manuver politiknya. partai-partai tetap berupaya menunjukkan simbolisasi sebagai penerus partai masa lalu, namun kenyataannya idelogi bukanlah penentu kebijakan. Simbol dan nuansa ideologi berhenti saat berbagi kekuasaan. (Firman Noor : 2014, Ambardi : 2009)
Tak bisa dipungkiri, ongkos politik yang mahal turut mendorong partai dan politisi bersikap pragmatis. Sistem saat ini memaksa para kandidat untuk mendekati masyarakat secara langsung. Tak ayal diperlukan berbagai alat kampanye untuk mengenalkan sang kandidat. Uang politik yang mahal ini kemudian beriringan dan politik uang yang banal.
Kandidat seringkali dibebani biaya untuk mendanai berbagai aktivitas kampanye, fee untuk pakar marketing politik, biaya membangun sarana-sarana fisik, pencitraan, dan biaya lainnya. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010). Ini belum termasuk biaya politik uang semacam serangan fajar atau bagi-bagi uang tanpa malu dalam aksi kampanye terbuka.
Beban biaya tinggi semacam ini menjadi alasan bagi para kandidat untuk mencari investor politik untuk mendanai berbagai biaya tadi. Investor politik ini akan mendapat imbal balik berupa berbagai hak istimewa, baik perlindungan politik maupun ekonomi). Lewat otoritas kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah para investor politik akan mendapat proyek melalui tender fiktif. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)
Agustino dan Yussof, merujuk pada kajian Harris-White menyebutkan komitmen para kandidat kepada pengusaha (investor politik) menciptakan beberapa komitmen, antara lain; manipulasi untuk kepentingan penguasa, pemaksaan swastanisasi aset-aset pemerintah, dan berlakunya transaksi bawah tangan antara penguasa dan pengusaha dalam tender pemerintah.
Bertaburannya kepala daerah yang belakangan ini tertangkap tangan oleh KPK menjadi bukti betapa politik elektoral di Indonesia tak lain hanya ajang kongkalingkong belaka. Pada masa orde baru, para figur lokal hanya menjadi kaki tangan rezim Soeharto untuk menyedot kekayaan (stationary bandits). Kini diera otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung, para bandit ini menjadi pemain utama (roving bandits). Mereka menjadi pemain utama perampokan dan perampasan kebebasan sipil dan hak politik warga (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)
Para roving bandit yang jauh dari pusat sorotan media nasional di ibukota bertindak lebih mengerikan. Daerah-daerah yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi komoditas politik hitam mereka. Konsesi-konsesi kekayaan SDA menjadi dagangan bagi penguasa untuk ditawarkan pada pengusaha ataupun korporasi.
Izin untuk hak pengelolaan hutan dan tambang kepada pengusaha frekuensinya naik menjelang pilkada. Modus ini dibantu dengan tidak terkontrol dan transparannya tata kelola hutan dan SDA di Indonesia. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menjelang Pilkada 2018 kemarin, ada 171 izin tambang diberbagai daerah diobral. 120 izin di Jawa Tengah, 34 di Jawa Barat sisanya di Lampung, Sumsel hingga NTT.
Di Kalimantan Barat misalnya, dua wilayah yang kaya sumber daya hutan, yaitu ketapang dan Kutai Barat menjadi permainan para bupati. Lewat modus rent seizing, para bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan untuk mepertahankan kekuasaan. Atau modus lain, izin batubara juga diberikan pada kerabat bupati, kemudian dijual kepada perusahaan lain ketika Sang Bupati memerlukan dana.
Studi ICW dalam Merebut Kursi, Menguras Bumi (2013), memberi gambaran bahwa “pilkada kemudian hanya menjadi momen konsolidasi elit lokal dengan pengusaha. Pilkada menjadi hal yang penting bukan untuk mencari siapa kepala daerah yang dapat membawa daerah lebih baik dari sebelumnya, melainkan momen penting yang menentukan siapa patron elit berkuasa yang akan berelasi dengan pengusaha 5 tahun ke depan. Disinilah terbangun relasi politico-business antara penguasa dengan pengusaha yang bersifat patronase.” (Indonesia Corruption Watch : 2013)
Demokrasi di Indonesia sesugguhnya adalah demokrasi (di bawah kuasa) oligarki. International Ecyclopedia of Social Science menyebutkan bahwa oligarki adalah “bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil.”(Jeffery Winters: 2011)
Kaum oligarkis memakai sumber daya material mereka untuk berkuasa. Kekayaan adalah sumber kekuatan yang menentukan kaum oligarkis terlibat dalam politik dan menjadi oligarki. Jeffery Winters dalam karyanya, Oligarki (2011) menekankan pentingnya kekayaan dalam sistem oligarki,“Kumpulan kekayaan yang besar dan terkonsentrasi di tangan sebagian kecl anggota masyarakat mewakili sumbr daya kekuasaan yang bukan hanya tak tersedia bagi yang tak memiliki harta, tetapi juga jauh lebih luwes dan kuat daripada sumber daya kekuasaan formal atau prosedural seperti hak pilih yang setara bagi semua orang…”
Permainan dalam kekuasaan di tangan oligarki ini akan terus terjadi selama para politisi di Indonesia dan partai-partai politik masih bersikap pragmatis. Praktek suap, jual-beli suara, manipulasi akan terus mewarnai politik di Indonesia selama pragmatisme menjadi penentu dalam gerak langkah partai. Pragmatisme partai membuat mereka menoleh kepada figur-figur yang dapat dijadikan mesin pendulang suara. Oleh sebab itu tak heran ketika banyak artis, selebriti mendadak menjadi politisi.
“Politik yang bertumpu pada calon menjadikan partai sekedar tunggangan kepentingan sesaat. Jika sudah tak mampu memenuhi hasrat sang politisi, maka fenomena kutu loncat politik menjadi pilihan,” demikian jelas Burhanuddin Muhtadi (2013) dalam Politk Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party-ID” dan Patron-Klien.”
Partai tak lebih dari sekedar sarana nir-ideologis mencari kekuasaan. Padahal unsur ideologis adalah pondasi penting dalam politik. Baik individu maupun partai. Bahkan unsur ideologis partai salah satu yang menjauhkan partai-partai dari politik uang. Ideologi bagi satu partai mencakup satu identitas tertentu. Bagi para pemilih, perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identtas politiknya (party-ID) dapat menjadi faktor penting. Party-ID merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)
Pemilih yang pragmatis dan tak memiliki loyalitas terhadap satu partai akan lebih mudah tergoda politik uang. Sebaliknya, jika identifikasi pemilih terhadap suatu partai tinggi, maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)
Partai dengan positioning dan difrensiasi ideologi (seharusnya) tidak akan bersikap abu-abu dalam berbagai isu. Ketimbang mengandalkan mobiliasi finansial, entah itu iklan, pencitraan, branding, atribut kampanye atau jual beli suara, mereka akan berfokus pada perjuangan ideologinya yang diimplementasikan dalam kinerja partai.
Sayangnya bukan itu yang terjadi di Indonesia saat ini. Satu survei dai Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menyebutkan bahwa hanya 1 dari 10 pemilih di Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai. Selanjutnya ikatan dengan partai ini pun harus kita cermati lagi, apakah ikatan tersebut hanya berdasarkan nostalgia partai atau tokoh semata? Ataukah partai tersebut benar-benar ideologis dan menjadi landasan program partai tersebut?
Melihat kenyataan saat ini, yang tampak di depan kita justru partai dan politisi justru semakin berkelamin politik yang abu-abu. Tak tampak perjuangan ideologis dalam langkah-langkah mereka. Fenomena politisi kutu loncat, koalisi pragmatis, jual-beli suara, suap dan korupsi, obral izin pengelolaan sumber daya alam menghiasi lini masa dan berita.
Demokrasi inilah yang terjadi di Indonesia. Kita seperti menonton pertunjukan sirkus. Ada akrobat politisi pencari sensasi. Ada semburan komentar-komentar bombastis yang berapi-api. Lompatan-lompatan politisi (kutu loncat) yang memukau. Gemerlap kostum dan penampilan politisi dalam sorot lampu (media). Aksi-aksi yang seakan-akan bernyali, padahal tak lebih dari aksi teatrikal. Semua dikemas secara meriah. Dalam satu bungkus yang dilabeli sebagai ‘demokrasi.’ Kita semua terpana, terhibur dan terpikat. Merasa puas. Ketika lampu telah dimatikan dan penonton pulang, para pemodal tersenyum menghitung keuntungan hasil pertunjukan. Pertunjukan sirkus yang bernama ‘demokrasi.’
Di sinilah kita menanti agar politisi muslim dan partai Islam tak ragu dan malu untuk mengusung Islam sebagai ideologinya dalam berpolitik. Ia bukan saja harus meyakinkan pemilihnya, tetapi paling penting meyakinkan dirinya bahwa Islam sebagai ideologi mampu menjawab berbagai persoalan termasuk persoalan seperti keadilan sosial, kesejahteraan dan lainnya. Sehingga berpolitik dengan ideologi Islam bukan sekedar jargon dan simbol belaka. Dan tak berkabung dalam kawanan ‘pemain sirkus’.