Kemenkes Tidak Memaksa Masyarakat yang Menolak Divaksin Rubella

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Menteri Kesehatan, Nila Farid Moeloek akhirnya menerima status kehalalan vaksin Rubella setelah rapat dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Jumat (3/8/2018).
Setelah setahun bersikeras untuk menyukseskan vaksinasi 70 juta anak dengan vaksin rubella. Belajar dari fase pertama pemberian vaksin rubella yang sukses di Jawa Barat, Nila berkeinginan untuk menyukseskan fase kedua di luar Jawa.
Sayangnya, mereka yang di luar Jawa masih mempertanyakan kehalalan vaksin. Sehingga membuat MUI memanggil Menkes dan Biofarma. Hasilnya, Nila tidak memaksakan masyarakat yang tidak ingin memvaksin anaknya.
“Saya tidak memaksakan bagi yang menganggap bahwa vaksin rubella belum halal,” katanya di Kantor MUI, Menteng, Jakpus, Jumat (3/8/2018).
Namun, lanjutnya, pihaknya akan berusaha meminta Serum Institute of India untuk memberikan kandungan vaksin rubella tersebut.
“Fase kedua akan segera dimulai. Kami dan Biofarma akan segera mengatasi masalah tersebut,” pungkas Nila.

Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Namun yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek kepada janin apabila rubella menyerang pada wanita hamil trimester pertama.

Data surveilans selama lima tahun terakhir menunjukkan 70 persen kasus rubella terjadi pada kelompok usia di bawah 15 tahun.

Infeksi rubella selama awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran, kematian janin, atau sindrom rubella konegnital (Congenital Rubella Syndroma/CRS) pada bayi yang dilahirkan. CRS biasanya bermanifestasi sebagai penyakit jantung bawaan, katarak, microcephaly (kepala kecil), dan tuli.

Reporter: Gio

Ustadz Abdul Somad Salah Satu Nama Calon Terkuat Pendamping Prabowo

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan, Ustadz Abdul Somad (UAS) termasuk dalam tiga nama cawapres pendamping Prabowo. UAS diusung Partai Amanat Nasional (PAN) dan merupakan keputusan Ijtima Ulama di Jakarta beberap waktu lalu.

Selain UAS ada dua nama lainnya, yaitu Agus Harimurti Yudhohono (AHY) dari Partai Demokrat dan Salim Segaf Al-Jufri.

“Kami sudah kuat paling tidak ada tiga nama calon untuk cawapres. Misalnya Demokrat AHY, lalu rekomendasi ijtima ulama untuk cawapres ada Ustadz Salim Segaf dan Ustadz Abdul Somad,” kata Fadli, di kediaman Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Rabu (2/8/2018) malam.

Dia mengatakan PAN mengajukan nama Abdul Somad, tetapi harus dibicarakan bersama-sama. Sebab, PKS mengajukan Salim Segaf dan Demokrat mengajukan AHY meskipun SBY tidak menyebut nama.

Namun, Fadli menyakini ketiganya memiliki kapasitas dan mampu berkomunikasi dengan semua kalangan termasuk kaum muda. “Setahu saya tiga nama itu yang mengerucut menjadi pembicaraan di dalam partai, jadi jauh lebih mudah memutuskannya,” katanya.

Dia mengatakan karena nama-nama cawapres yang sudah mengerucut itu, semakin memudahkan partai-partai pendukung Prabowo Subianto ini dalam mencari pendamping dalam Pilpres 2019.

Siswi SMP Muhammadiyah PK Solo Juara 2 Kejuaraan Menembak Kapolda DIY CUP 2018

YOGYAKARTA (Jurnalislam.com) – Maheswari Parisya Putri, remaja 13 tahun siswi SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta meraih juara 2 dalam Kejuaraan Nasional Menembak Kapolda Cup DIY level 2 tahun 2018 untuk kelas Non Certified Standart Division yang digelar di Mako Brimob Detasemen A Gondowulung, Yogyakarta, Sabtu-Minggu (28-29/7/2018).

Aryanto selaku humas SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta membenarkan, bahwa salah satu siswanya bernama Maheswari Parisya Putri yang akrab dipanggil Risya berhasil menyabet juara 2 dalam Kejuaraan Nasional Menembak Kapolda Cup DIY level 2 tahun 2018 untuk kelas Non Certified Standart Division.

Sebelumnya Risya pun berhasil menyabet juara 1 dalam Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Lomba Menembak Kapolda Metro Jaya Cup 1 di Jakarta pada Minggu (22/7/2018).

“Alhamdulillah siswa kami bernama Risya berhasil meraih juara dalam dua event Kejurnas Menembak di Kapolda Yogyakarta dan Kapolda Jakarta dalam rentang waktu dua minggu ini,” jelasnya kepada jurnalislam.com Rabu, (1/8/2018).

Aryanto pun mengungkapkan rasa bangga atas prestasi yang dicapai salah satu siswa yang kini duduk di bangku kelas 8 SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.

“Kami atas nama lembaga mendukung sepenuhnya potensi yang dimiliki siswa-siswa baik dari segi akademik maupun non akademik. Kami bangga atas prestasi yang diraih oleh Mbak Risya,” ungkapanya.

Dara kelahiran Surakarta, 2 Mei 2005 ini mampu menyisihkan 140 peserta dalam event Kejuaraan Nasional Tembak Reaksi Kapolda Cup DIY level 2 tahun 2018 untuk kelas Non Certified Standart Division yang diselenggarakan dalam dua hari. Risya mampu menyelesaikan 6 stage dengan baik. Per Stage terbagi atas 3 short stage, 2 medium stage, dan 1 long stage.

Tentunya masing-masing stage memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Ia pun mampu bersaing dengan peserta dewasa dan junior baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini membuat Risya akhirnya menyabet juara dua dalam event bergengsi tersebut.

Tidaklah mudah bagi putri bungsu dari Didik Prasetyo dan Tika Kusumo ini meraih juara dalam ajang bergengsi tersebut. Remaja yang mengaku suka terhadap tantangan tersebut harus meluangkan waktu untuk berlatih di Klub Solo Speed Shooter setiap Minggu. Selain itu, Risya pun memanfaatkan waktu luang di rumah untuk melatih kecepatan dengan lari sprint dan melatih akurasi tembakan.

Akurasi tembakan dan kecepatan lari inilah yang menjadi andalan Risya untuk menyabet berbagai juara menembak.
“Kiat bisa menang adalah melatih akurasi tembakan dan kecepatan lari secara giat,” ceritanya.

Tidak lupa rig set, pistol, peluru, green gas, dan magazine pistol selalu disiapkan dengan baik untuk latihan dan mengikuti perlombaan. Dalam perlombaan pun harus memperhatikan aturan-aturan poin seperti cara memegang pistol, pergerakan kaki ketika di stage, dan ketepatan sasaran dalam stage.

Remaja 13 tahun ini tidak memiliki cita-cita menjadi polisi atau tentara, tetapi ia ingin menjadi desainer professional. Ia pun mengaku belajar menembak banyak memberikan manfaat bagi dirinya seperti melatih fokus, kontrol emosi, olahraga, dan tentunya menambah teman. Dirinya pun berharap kemampuannya bisa naik dari air soft gun ke level senjata api.

Reporter: Ridwan

Busyro Muqoddas: Pasal 222 Mengandung Unsur Kapitalisasi Pemilu

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas, mengatakan, Pasal 222 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengandung unsur kapitalisasi pemilu. Hal itu disampaikan menanggapi sikap acuh Mahkamah Konstitusi atas gugatan yang telah disampaikan oleh 12 orang yang berasal dari latarbelakang dan lembaga berbeda terhadap Undang-undang yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden sebanyak 20 persen tersebut.

“Pemilu diatur dalam UU, yang seharusnya mencerminkan moralitas pemberdaulatan pemilu. ada indikasi tidak adanya pemberdaulatan pemilu. Pasal 222 ada unsur kapitalisasi pemilu,” katanya pada Diskusi Publik bertema “Hapus Ambang Batas Nyapres, Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakpus, Selasa (31/07/2018).

Unsur kapitalisasi pemilu yang dimaksud Busyro adalah persentasi 20 persen yang ditetapkan dalam presidential threshold. Selain itu, pembatasan ini menurutnya juga menimbulkan ancaman nyata bagi kualitas demokrasi bagi negara dalam jangka waktu ke depan yang panjang.

“Dengan 20 persen itu demokrasi korup. Pertanyaannya apakah pemilu yang akan datang menghasilkan pemimpin yang tidak korup jika hasil 20 persen diambil dari pemilu 2014? Sistem pemerintahan seperti ini menghasilkan birokrasi yang korup,” ungkapnya di depan para peserta diskusi yang diadakan oleh Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Menyambung Busyro, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan bahwa pasal 222 seolah merampas kegembiraan berdemokrasi dan mematikan nalar yang sehat.

“Ini seperti pemaksaan pada pilihan publik, kita dipaksa memakan menu yang tidak pernah kita pesan. Bagi Pemuda Muhammadiyah, yang jelas kami merasa kegembiraan berdemokrasi dirampas sehingga kami punya legitimasi moral untuk menggugat,” ujar Dahnil.

Gugatan terhadap pasal 222 itu sendiri telah dikirimkan ke MK dan telah terhitung hampir dua bulan sejak 13 Juni 2018 dan sampai saat ini menurut Dahnil tidak menampakkan tanggapan yang serius dari MK. Dahnil dan 11 orang lainnya juga membantah terkait dengan salah satu partai politik. Gugatan yang dilakukan semata-mata demi terjaganya kualitas demokrasi yang baik.

“Disadari atau tidak ada deparpolisasi, ketika hanya ada satu atau dua calon, yang paling diuntungkan hanya dua parpol yang mendapat insentif elektoral. Yang lain mendapat kebangkrutan. Saya mau katakan MK melakukan diskriminasi jika mengacuhkan gugatan ini,” tegas Dahnil.

Sementara itu, akademisi dan ahli politik Rocky Gerung yang turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut mendukung pendapat Busyro Muqoddas bahwa kroni di dalam politik akan merusak kualitas demokrasi yang sedang berjalan.

“Tugas MK adalah mengembalikan kepada konstitusi oleh karena itu seharusnya MK melakukan kegiatan yudisial yang aktif, bukan pasif. Kapitalisme itu baik sebab ada kompetisi, tapi kroni mematikannya. Konstitusi tidak boleh dirusak oleh kroni,” ujarnya.

Reporter: Gio

Akrobat Kutu Loncat dalam Sirkus Demokrasi

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

JURNALISLAM.COM – “Please, call me cebong. Hari ini saya menjadi cebong. Silahkan panggil saya cebong,” demikian Kapitra Ampera mendeklarasikan pilihan politiknya untuk hinggap di PDIP baru-baru ini. Kapitra, Ali Mochtar Ngabalin yang ketibanrezeki jabatan komisaris, dan mungkin sekian banyak lainnya adalah figur yang meloncat dari satu kelompok (politik) ke kelompok lainnya.

Fenomena kutu loncat sebenarnya bukan hal baru. Terlebih dalam sirkus politik Indonesia saat ini. Mantan gubernur DKI, terpidana kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah kutu loncat dari Golkar, kemudian ke Gerindra. Saat menjabat menjadi gubernur, Ahok justru melontarkan celaan ketidakpercayaan pada partai-partai politik. Namun saat hendak mencalonkan kembali menjadi gubernur, ia dengan senang hati merangkul partai-partai politik.

Fenomena kutu loncat politik ini semakin menakjubkan dengan adanya biaya transfer layaknya seorang pemain sepak bola. Bukan Mbappe, Neymar atau Ronaldo, namun Lucky Hakim yang menjadi bintang transfer tersebut. Lucky Hakim yang awalnya dari PAN mengakui bahwa Nasdem kemudian memberikan uang sebesar Rp. 5 milyar dan bantuan logistik Rp 2 milyar agar bisa membantu Nasdem di daerah pemilihan Jawa Barat VI.

Selama pemilihan kepala daerah 2018 kemarin, kita pun disuguhi atraksi-atraksi loncat partai, lintas basis massa pemilih, dan koalisi-koalisi yang sangat cair. Fenomena ini sesungguhnya akan terus berlanjut seiring dengan semakin memudarnya pengaruh partai. Partai hanya dianggap sebagai kendaraan (umum) politik. Maka jika hasrat atau tujuan telah atau tidak terpenuhi, hajat itu bisa dipenuhi dengan mudah menyeberang ke partai lain.

Program, visi dan terutama ideologi partai serta politisi tak lagi penting untuk dipertimbangkan. Seorang figur bisa saja yang selama ini bersolek sebagai figur Islami tiba-tiba hinggap di partai sekuler yang punya penolakan terhadap berbagai perda yang menyerap aspirasi umat Islam. Begitupun sebaliknya, partai sekuler beserta tokohnya tiba-tiba bisa berdandan islami. Mendadak berkerudung, mendadak berpeci atau bersurban, jika mendekati masa-masa pemilu. Bahasa-bahasa pro-sekularisme ditinggalkan dengan menyuguhkan simbol-simbol Islami. Partai-partai berbasis massa Islam tiba-tiba tak lagi malu untuk menyuarakan usangnya politik Islam.

Pragmatisme para aktor politik dapat dibaca sebagai satu gejala menyurutnya ideologi dalam politik. Pada awal-awal revolusi Indonesia hingga tahun 1965, politik aliran begitu penting dan mendominasi. Partai-partai dibagi beberapa ideologi seperti Islam (Masyumi, NU, Perti, PSII), Komunis (PKI), Nasionalis-Sekular (PNI) dan lainnya. Massa program partai terlihat jelas perbedaannya. Partai politik Islam, meski terdiri dari beberapa partai, tetapi kompak menyuarakan ideologinya, yaitu Islam sebagai dasar negara pada sidang konstituante.

Munculnya rezim orde baru kemudian melakukan politik deideologisasi partai-partai. Semua dikubur atas nama pembangunan (developmentalisme). (firman Noor : 2014) Rezim Soeharto melakukan penguburan ideologi politik dengan beberapa kebijakan seperti peleburan partai-partai politik, hingga hanya menjadi tiga, PDI, PPP dan Golkar. Lebih lanjut, kebijakan massa mengambang diterapkan sehingga partai-partai politik tak lagi mampu menembus massa akar rumput dibawah. Melepas mereka dari konstituennya. Sehingga rakyat dijauhkan dari politik (ideologis). Jurus maut terkahir rezim orba dengan melakukan penggusuran ideologi lewat pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal, bukan saja kepada partai, tetapi juga kepada ormas-ormas termasuk ormas Islam.

Euforia sempat melanda partai-partai saat reformasi. Partai-partai bermunculan. Tetapi sistem politik akhirnya memaksa partai-partai bersikap pragmatis. Sikap pragmatis partai-partai ini dapat dilihat dari hasil penelitian Firman Noor (2014) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan beberapa tanda pragmatisme partai ini antara lain; ideologi tak lagi menjadi sesuatu yang penting. Partai-partai bersikap permisif dan serba boleh dalam berkoalisi.

Gerak langkah partai-partai lebih banyak digerakkan oleh upaya untuk bertahan hidup dan kepentingan untuk terus berada di dalam kekuasaan. Cara- cara yang pragmatis ditempuh bahkan mereka rela untuk melakukan ‘migrasi ideologi atau perpindahan sikap idelogis. (Firman Noor : 2014)

Akhirnya peran ideologi hanya berjalan (atau berjualan tepatnya) di masa elektoral saja. Beberapa partai pada masa-masa menjelang pemilihan menunjukan kecenderungan dan geliat pergerakan yang menjadikan ideologi sebagai patokan kebijakan dan manuver politiknya. partai-partai tetap berupaya menunjukkan simbolisasi sebagai penerus partai masa lalu, namun kenyataannya idelogi bukanlah penentu kebijakan. Simbol dan nuansa ideologi berhenti saat berbagi kekuasaan. (Firman Noor : 2014, Ambardi : 2009)

Tak bisa dipungkiri, ongkos politik yang mahal turut mendorong partai dan politisi bersikap pragmatis. Sistem saat ini memaksa para kandidat untuk mendekati masyarakat secara langsung. Tak ayal diperlukan berbagai alat kampanye untuk mengenalkan sang kandidat. Uang politik yang mahal ini kemudian beriringan dan politik uang yang banal.

Kandidat seringkali dibebani biaya untuk mendanai berbagai aktivitas kampanye, fee untuk pakar marketing politik, biaya membangun sarana-sarana fisik, pencitraan, dan biaya lainnya. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010). Ini belum termasuk biaya politik uang semacam serangan fajar atau bagi-bagi uang tanpa malu dalam aksi kampanye terbuka.

Beban biaya tinggi semacam ini menjadi alasan bagi para kandidat untuk mencari investor politik untuk mendanai berbagai biaya tadi. Investor politik ini akan mendapat imbal balik berupa berbagai hak istimewa, baik perlindungan politik maupun ekonomi). Lewat otoritas kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah para investor politik akan mendapat proyek melalui tender fiktif. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)

Agustino dan Yussof, merujuk pada kajian Harris-White menyebutkan komitmen para kandidat kepada pengusaha (investor politik) menciptakan beberapa komitmen, antara lain; manipulasi untuk kepentingan penguasa, pemaksaan swastanisasi aset-aset pemerintah, dan berlakunya transaksi bawah tangan antara penguasa dan pengusaha dalam tender pemerintah.

Bertaburannya kepala daerah yang belakangan ini tertangkap tangan oleh KPK menjadi bukti betapa politik elektoral di Indonesia tak lain hanya ajang kongkalingkong belaka. Pada masa orde baru, para figur lokal hanya menjadi kaki tangan rezim Soeharto untuk menyedot kekayaan (stationary bandits). Kini diera otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung, para bandit ini menjadi pemain utama (roving bandits). Mereka menjadi pemain utama perampokan dan perampasan kebebasan sipil dan hak politik warga (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)

Para roving bandit yang jauh dari pusat sorotan media nasional di ibukota bertindak lebih mengerikan. Daerah-daerah yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi komoditas politik hitam mereka. Konsesi-konsesi kekayaan SDA menjadi dagangan bagi penguasa untuk ditawarkan pada pengusaha ataupun korporasi.

Izin untuk hak pengelolaan hutan dan tambang kepada pengusaha frekuensinya naik menjelang pilkada. Modus ini dibantu dengan tidak terkontrol dan transparannya tata kelola hutan dan SDA di Indonesia. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menjelang Pilkada 2018 kemarin, ada 171 izin tambang diberbagai daerah diobral. 120 izin di Jawa Tengah, 34 di Jawa Barat sisanya di Lampung, Sumsel hingga NTT.

Di Kalimantan Barat misalnya, dua wilayah yang kaya sumber daya hutan, yaitu ketapang dan Kutai Barat menjadi permainan para bupati. Lewat modus rent seizing, para bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan untuk mepertahankan kekuasaan. Atau modus lain, izin batubara juga diberikan pada kerabat bupati, kemudian dijual kepada perusahaan lain ketika Sang Bupati memerlukan dana.

Studi ICW dalam Merebut Kursi, Menguras Bumi (2013), memberi gambaran bahwa pilkada kemudian hanya menjadi momen konsolidasi elit lokal dengan pengusaha. Pilkada menjadi hal yang penting bukan untuk mencari siapa kepala daerah yang dapat membawa daerah lebih baik dari sebelumnya, melainkan momen penting yang menentukan siapa patron elit berkuasa yang akan berelasi dengan pengusaha 5 tahun ke depan. Disinilah terbangun relasi politico-business antara penguasa dengan pengusaha yang bersifat patronase.” (Indonesia Corruption Watch : 2013)

Demokrasi di Indonesia sesugguhnya adalah demokrasi (di bawah kuasa) oligarki. International Ecyclopedia of Social Science menyebutkan bahwa oligarki adalah “bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil.”(Jeffery Winters: 2011)

Kaum oligarkis memakai sumber daya material mereka untuk berkuasa. Kekayaan adalah sumber kekuatan yang menentukan kaum oligarkis terlibat dalam politik dan menjadi oligarki. Jeffery Winters dalam karyanya, Oligarki (2011) menekankan pentingnya kekayaan dalam sistem oligarki,“Kumpulan kekayaan yang besar dan terkonsentrasi di tangan sebagian kecl anggota masyarakat mewakili sumbr daya kekuasaan yang bukan hanya tak tersedia bagi yang tak memiliki harta, tetapi juga jauh lebih luwes dan kuat daripada sumber daya kekuasaan formal atau prosedural seperti hak pilih yang setara bagi semua orang…”

Permainan dalam kekuasaan di tangan oligarki ini akan terus terjadi selama para politisi di Indonesia dan partai-partai politik masih bersikap pragmatis. Praktek suap, jual-beli suara, manipulasi akan terus mewarnai politik di Indonesia selama pragmatisme menjadi penentu dalam gerak langkah partai. Pragmatisme partai membuat mereka menoleh kepada figur-figur yang dapat dijadikan mesin pendulang suara. Oleh sebab itu tak heran ketika banyak artis, selebriti mendadak menjadi politisi.

“Politik yang bertumpu pada calon menjadikan partai sekedar tunggangan kepentingan sesaat. Jika sudah tak mampu memenuhi hasrat sang politisi, maka fenomena kutu loncat politik menjadi pilihan,” demikian jelas Burhanuddin Muhtadi (2013) dalam Politk Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara “Party-ID” dan Patron-Klien.”

Partai tak lebih dari sekedar sarana nir-ideologis mencari kekuasaan. Padahal unsur ideologis adalah pondasi penting dalam politik. Baik individu maupun partai. Bahkan unsur ideologis partai salah satu yang menjauhkan partai-partai dari politik uang. Ideologi bagi satu partai mencakup satu identitas tertentu. Bagi para pemilih, perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identtas politiknya (party-ID) dapat menjadi faktor penting. Party-ID merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)

Pemilih yang pragmatis dan tak memiliki loyalitas terhadap satu partai akan lebih mudah tergoda politik uang. Sebaliknya, jika identifikasi pemilih terhadap suatu partai tinggi, maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang. (Burhanuddin Muhtadi: 2013)

Partai dengan positioning dan difrensiasi ideologi (seharusnya) tidak akan bersikap abu-abu dalam berbagai isu. Ketimbang mengandalkan mobiliasi finansial, entah itu iklan, pencitraan, branding, atribut kampanye atau jual beli suara, mereka akan berfokus pada perjuangan ideologinya yang diimplementasikan dalam kinerja partai.

Sayangnya bukan itu yang terjadi di Indonesia saat ini. Satu survei dai Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menyebutkan bahwa hanya 1 dari 10 pemilih di Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai. Selanjutnya ikatan dengan partai ini pun harus kita cermati lagi, apakah ikatan tersebut hanya berdasarkan nostalgia partai atau tokoh semata? Ataukah partai tersebut benar-benar ideologis dan menjadi landasan program partai tersebut?

Melihat kenyataan saat ini, yang tampak di depan kita justru partai dan politisi justru semakin berkelamin politik yang abu-abu. Tak tampak perjuangan ideologis dalam langkah-langkah mereka. Fenomena politisi kutu loncat, koalisi pragmatis, jual-beli suara, suap dan korupsi, obral izin pengelolaan sumber daya alam menghiasi lini masa dan berita.

Demokrasi inilah yang terjadi di Indonesia. Kita seperti menonton pertunjukan sirkus. Ada akrobat politisi pencari sensasi. Ada semburan komentar-komentar bombastis yang berapi-api. Lompatan-lompatan politisi (kutu loncat) yang memukau. Gemerlap kostum dan penampilan politisi dalam sorot lampu (media). Aksi-aksi yang seakan-akan bernyali, padahal tak lebih dari aksi teatrikal. Semua dikemas secara meriah. Dalam satu bungkus yang dilabeli sebagai ‘demokrasi.’ Kita semua terpana, terhibur dan terpikat. Merasa puas. Ketika lampu telah dimatikan dan penonton pulang, para pemodal tersenyum menghitung keuntungan hasil pertunjukan. Pertunjukan sirkus yang bernama ‘demokrasi.’

Di sinilah kita menanti agar politisi muslim dan partai Islam tak ragu dan malu untuk mengusung Islam sebagai ideologinya dalam berpolitik. Ia bukan saja harus meyakinkan pemilihnya, tetapi paling penting meyakinkan dirinya bahwa Islam sebagai ideologi mampu menjawab berbagai persoalan termasuk persoalan seperti keadilan sosial, kesejahteraan dan lainnya. Sehingga berpolitik dengan ideologi Islam bukan sekedar jargon dan simbol belaka. Dan tak berkabung dalam kawanan ‘pemain sirkus’.

Tak Mau Jadi Cawapres, Ustadz Abdul Somad Dukung Habib Salim Dampingi Prabowo

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Ustadz Abdul Somad menyambut positif hasil ijtima ulama yang merekomendasikan ia dan Habib Salim Segaf Al-Jufri menjadi cawapres Prabowo. Namun, dengan alasan ingin fokus berdakwah, dirinya menolak untuk menjadi cawapres.

“Selamat! Ternyata kerumunan sudah berubah menjadi barisan kekuatan. Prabowo-Habib Salim pasangan tawazun (seimbang) antara ketegasan tentara dan kelembutan Ulama, Jawa non-Jawa, nasionalis-religius, plus barokah darah Nabi dalam diri Habib Salim,” kata Ustadz Abdul Somad dalam akun facebook miliknya, Ahad (29/7/2018).

“Biarlah saya jadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah sahara. Tak sungkan berbisik ke Habib Salim, tak segan bersalam ke Jenderal Prabowo,” sambungnya.

Ustadz Somad lantas menceritakan bahwa setelah Sayyidina Umar bin Khattab wafat, sebagian sahabat ingin membaiat Abdullah, anak Sayyidina Umar sebagai pengganti. Di akhir, ia menekankan ingin lebih fokus pada dakwah dan pendidikan.

“Beliau (Abdullah-red) menolak lembut, karena bidang pengabdian ada banyak pintu. Fokus di pendidikan dan dakwah,” tukasnya.

Sebagaimana diketahui, peserta Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional sepakat untuk merekomendasikan: Letjen TNI (Purn) H. Prabowo Subianto – Al Habib Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri dan Letjen TNI (Purn) H. Prabowo Subianto – Ust. Abdul Somad Batubara, Lc., MA sebagai calon presiden dan calon wakil presiden untuk didaftarkan ke KPU oleh Partai Koalisi Keumatan dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019.

Berdayakan Penduduk Suriah, Syam Organizer Luncurkan Program Sham Productive Assistance

YOGYAKARTA (Jurnalislam.com) – Lembaga kemanusiaan Syam Organizer (SO) merancang suatu program pemberdayaan penduduk Suriah bernama Sham Productive Assistance. Ditemui dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) SO di Yogyakarta, Sabtu (28/7) malam, Ketua SO Firmansyah mengatakan, program baru bernama Sham Productive Assistance itu diluncurkan dengan berbagai tujuan.

“Ini merupakan program berkesinambungan yang dapat mendukung seluruh biaya operasional program SO dan dapat menyedot tenaga kerja bagi rakyat di Suriah,” kata Firmansyah kepada Islamic News Agency (INA), kantor berita yang diiniasi Jurnalis Islam Bersatu (JITU).

Sham Productive Assistance

Firman menjelaskan, keuntungan yang didapat dari program tersebut akan menunjang biaya operasional program kemanusiaan lainnya yang telah berjalan di Suriah. Sehingga, bantuan dari rakyat Indonesia tidak terbagi untuk biaya operasional.

“Kami ingin tujuh program yang sudah berjalan saat ini berkembang ke seluruh daerah di Bumi Syam. Makanya kami memunculkan Sham Productive Assistance,” jelasnya.

Baca juga: Gandeng Syam Organizer, Komunitas Muslimah Bima Peduli Hadirkan Peggy Galang Dana untuk Palestina

Dari program itu, SO dapat memberdayakan penduduk Suriah untuk membangun pabrik batako, mengolah pertanian, peternakan dan konveksi. Produksi dan keuntungannya pun menurut Firman cukup tinggi.

“Keempat proyek itu juga dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Suriah. Sehingga Izzah (kehormatan) rakyat Syam tetap terjaga,” ujarnya.

Reporter: Tommy | INA

Ratusan Laskar Ansharusyariah Jateng Siap Kawal Ustaz Abdul Somad di Semarang

SOLO (Jurnalislam.com) – Komandan Hisbah Laskar Jamah Ansharusy Syariah Jawa Tengah, Ustaz Mursidi menegaskan, pihaknya siap mengawal tabligh akbar Ustaz Abdul Somad di Semarang. Jamaah Ansharusy Syariah akan menurunkan ratusan anggotanya untuk mengawal berjalannya Tabligh Akbar yang akan digelar di Lapangan Pedurungan Kidul Semarang pada Senin (30/7/2018) malam.

“Untuk menjaga ukhuwah, merapatkan barisan dan menjaga persatuan dan kesatuan umat,” katanya kepada Jurnalislam.com, Ahad (29/7/2018).

Baca juga: Polisi Dukung dan Siap Amankan Tabligh Akbar Ustadz Abdul Somad di Semarang

Keikutsertaan Jamaah Ansharusy Syariah juga sebagai wujud akhlak seorang muslim untuk memuliakan ulama. “Ini juga sebagai bentuk kita menjaga urwah dan kehormatan para ulama,” kata dia.

Ustaz Mursidi berpesan, umat Islam harus menjaga spirit persatuan dibawah komando para ulama. “Meneruskan arahan aksi bela Islam 212 tentang jihadul kalimah bersama umat,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan, tabligh akbar Ustaz Abdul Somad di Semarang sempat mendapat penolakan dari ormas yang menamakan diri Patriot Garuda Nusantara (PGN). Penolakan tersebut akhirnya dicabut setelah sejumlah elemen umat Islam dan PGN melakukan audiensi di Polrestabes Semarang pada Rabu (25/7/2018).

KH Zaitun Rasmin : Ulama Harus Lebih Berperan untuk Kemaslahatan Umat

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Ketua Ikatan Ulama dan Dai Asia Tenggara, KH Zaitun Rasmin mengatakan, Ijtima Ulama di Jakarta sangat penting dilakukan. Menurutnya, pertemuan itu sebagai wadah konsolidasi, silaturahim, dan musyawarah para ulama untuk membicarakan kemaslahatan umat kedepan.

“Ini sangat penting sebagai sebuah wadah konsolidasi, silaturahim, dan musyawarah untuk membicarakan kemaslahatan umat kedepan,” kata Wakil Sekjen MUI Pusat ini kepada Jurnalislam.com, usai pembukaan Ijtima Ulama di Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakbar, Jumat (27/7/2018) malam.

“Bukan ulama di pusat saja tapi juga daerah,” sambungnya.

Baca juga: Ini Pesan Perjuangan Habib Rizieq di Pembukaan Ijtima Ulama

Ustaz Zaitun yang juga Ketua Umum Wahdah Islamiyah ini berharap, para ulama memperjelas perannya dalam bidang dakwah, ekonomi juga politik.

“Ulama diharapkan lebih berperan, mungkin ikut bermusyawarah berdiskusi dengan pimpinan partai. Bahkan bisa juga terpilih menjadi pelaku politik,” ujarnya.

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama) menggelar Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional di Hotel Menara Peninsula Jakarta, 27-28 Juli 2018. Ratusan ulama dari seluruh Indonesia dikabarkan akan pertemuan akbar yang berlangsung dua hari itu.

Reporter : Gio

KH Nonop Hanafi : Ulama Harus Bersatu Agar Tidak Hanya Jadi Objek Politik

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda II Ciamis, KH Nonop Hanafi mengatakan, ulama harus menyatukan pandangan dan langkah dalam menghadapi tahun politik agar tidak dijadikan objek politik.

“Musyawarah ulama nasional ini mengajak semuanya untuk mempersatukan pandangan, sehingga umat menjadi tenang kalau para ulamanya bersatu,” katanya kepada Jurnalislam.com, usai pembukaan Ijtima Ulama di Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakbar, Jumat (27/7/2018) malam.

Selain itu, kata dia, para ulama juga harus tetap menjadi benteng persatuan umat untuk menciptakan kondisi bangsa yang kondusif dan jauh dari intervensi asing.

Baca juga: Ijtima Ulama Untuk Satukan Sikap Umat Hadapi Pilpres 2019

“Konstelasi peta koalisi semakin mengerucut. Karena itu setidaknya para ulama mampu membuat setidaknya adalah rekomendasi agar memunculkan aspirasi harapan umat berkaitan dengan figur calon presiden,” ujar pimpinan Kafilah Jalan Kaki Ciamis – Jakarta pada Aksi 212 ini.

Ia menyayangkan kondisi Indonesia pada tahun politik ini yang hanya menjadikan para ulama sebagai objek politiknya.

“Saat ini memang ulama hanya menjadi objek politik. Diklaim kubu sana-sini yang akhirnya menjadi stampel saja,” tukasnya.

Para ulama, lanjutnya, justru harus menjadi subjek yang mampu memberikan pandangan yang komprehensif kepada umat tentang politik.

“Karena bangsa ini membutuhkan arahan-arahan ulama supaya tetap berada dalam bingkai yang benar,” kata dia.

“Tidak hanya momen menjelang Pilpres. Ada misi jangka pendek dan jangka panjang. Memberikan arahan konstruktif terhadap peta koalisi itu adalah jangka pendek, tapi jangka panjangnya bagaimana mengantisipasi tata kelola negara yang salah sehingga membuat bangsa Indonesia menjadi tidak teratur,” papar Kiai Nonop.

Lebih lanjut, Kiai Nonop mengatakan, sebagai umat Islam terbesar di dunia Indonesia harus menjadi sosok guru bagi dunia Islam lainnya.

“Indonesia harus bangkit, dan itu dapat terwujud apabila ulama mampu sebagai subjek dalam peran-peran berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

Reporter: Gio