JAKARTA(Jurnalislam.com)— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis meminta pasal bermasalah dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dicabut.
Ia menjelaskan bahwa pasal 5 ayat 2 Permendikbudristek itu bermasalah karena didasarkan pada ‘dengan atau persetujuan korban’.
“Permendikbudristek No.30 thn 2021 pasal 5 ayat 2 tentang kekerasan seksual memang bermasalah karena tolak ukurnya persetujuan (consent) korban. … Cabut,” kata Cholil dalam akun Twitter pribadinya @cholilnafis, Rabu (10/11). CNNIndonesia.com sudah diizinkan untuk mengutip cuitan tersebut.
Diketahui, Pasal 5 dalam aturan tersebut mengatur rumusan norma kekerasan seksual. Di antaranya mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Sementara di Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut dijelaskan terdapat beberapa poin bentuk kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan ‘tanpa persetujuan’.
Frasa ‘tanpa persetujuan’ dalam aturan tersebut belakangan ini menuai protes dari berbagai kalangan. Lebih lanjut, Cholil menilai kejahatan seksual menurut norma Pancasila adalah berdasarkan agama atau kepercayaan
“Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi karena dihalalkan. Cabut,” kata Cholil.
Melihat hal itu, MUI mengusulkan agar Pasal 5 ayat (2) terdapat beberapa rumusan yang perlu untuk diubah dan diperbaiki.
Di antaranya Pasal 5 ayat 2 huruf b yang mengatur bahwa “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Frasa itu dapat diubah menjadi “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja kepada korban”.
Alasan perubahannya poin itu karena korban tindak pidana kekerasan seksual dan/atau semua korban tindak pidana tidak pernah diminta persetujuannya untuk menjadi korban kejahatan.
Lalu, Pasal 5 ayat 2 huruf f yang berbunyi “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban”, dapat diubah menjadi ” mengambil, merekam, dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual”.
Sumber: cnnindonesia