Indonesia Masih Zona Kuning, Berpotensi Zona Merah

Indonesia Masih Zona Kuning, Berpotensi Zona Merah

 JAKARTA(Jurnalislam.com) — Jika dilihat dari kondisi penularan COVID-19 (the state of COVID-19 transmission), per awal Juni 2021 Indonesia masih berada pada zona kuning pandemi, dengan risiko memburuk ke zona merah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penggunaan fungsi produksi dan elastisitas produksi kesehatan untuk menganalisis tahapan penularan COVID-19, serta mengkaji besaran risiko dari pelonggaran Tindakan Kesehatan Publik (TKP).

Hal tersebut disampaikan Associate Professor Perbanas Institute, Dradjad Hari Wibowo, merujuk pada artikel Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021), dengan DOI https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x.

Artikel ini terbit pada 2 Juni 2021, dengan proses penerbitan 9 bulan. BMC Public Health adalah salah satu jurnal kesehatan publik terkemuka di dunia dengan kategori Scopus Q1. Dradjad yang juga ekonom senior Indef ini pernah menjadi peneliti ekonomi kesehatan pada awal dekade 1990-an.

Dengan pendekatan fungsi produksi kesehatan, menurut Dradjad, kondisi penularan di satu negara atau wilayah dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu merah, kuning dan hijau. Di zona merah, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan di atas 1. Berbagai TKP seperti penutupan perbatasan, lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan. Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun namun elastisitas masih di atas 1. Pelonggaran TKP tidak direkomendasikan di zona ini. Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan elastisitas antara 0-1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, namun  perlu menghitung risiko eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Menurut Dradjad, selama ini indikator epidemiologi kunci yang dipakai adalah bilangan reproduksi R. Masalahnya, negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi R dengan akurat. Keterbatasan anggaran kesehatan, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi. Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Karena itu ia menguji-coba pemakaian elastisitas produksi kesehatan sebagai alternatif apabila R yang akurat tidak tersedia. Dalam artikelnya, Dradjad mengembangkan “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi.

Pendekatan di atas diterapkan terhadap Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia. Hasilnya, meskipun Perancis, Jerman, Italia dan Inggris sempat berada di zona hijau, risiko eskalasi penularan di negara-negara tersebut ternyata masih tinggi. Beberapa pekan setelah versi awal artikel ini selesai, eskalasi tersebut benar-benar terjadi. Elastisitas produksi kesehatan yang meningkat terbukti bisa menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.
sumber: republika.co.id

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.