Hukum Prancis Bernafaskan Mazhab Maliki

Hukum Prancis Bernafaskan Mazhab Maliki

Oleh: Rulian Haryadi, Founder Boomboxzine

Maraknya pemikiran Islam dalam kehidupan intelektual di Barat abad pertengahan adalah satu hal yang tak terbantahkan jika Islam adalah mercusuar peradaban dunia. Deretan nama-nama ilmuwan Muslim yang saya yakin generasi Indonesia yang lahir 90-an sudah pasti cakap menyebutkan minimal lima orang ilmuwan Muslim yang mempengaruhi peradaban modern. Kali ini kita coba menelisik pengaruh umat Islam dalam perkembangan hukum di Prancis yang mengambil dari hukum Islam mazhab Maliki.

 

Sejak revolusi Prancis menandai perubahan radikal di Barat. Keterbukaan dan perombakan total tatanan hidup baik masyarakat, cara pandang, dan hukum bernegara. Saat Napoleon memasuki Mesir pada 1798, mereka bangsa Barat melihat pasar yang sudah teratur dengan hukum perdagangan yang jelas. Syaikh Rifa’ah ath-Thahthawi -seorang ulama yang berkesempatan pergi ke Paris Bersama rombongan pertama diaspora mahasiswa atas titah Sultan- atas saran dari Khedive Ismail untuk menterjemahkan hukum Perancis ke bahasa Arab. Begitu selesai, salah seorang gurunya ath-Thahtawi Syaikh Hasan membaca hasil terjemah itu dan menyatakan, “Sesungguhnya tiga perempat dari hukum ini mengambil mentah-mentah dari fiqih Maliki.”

 

Setelah itu, Khedewei  meminta  Syaikh Makhluf al-Minyawi (1878), seorang ulama al-Azhar sekaligus Hakim ia memberi tanggapan mengenai hukum Prancis dengan menggunakan fiqih Madzhab Maliki. Syaikh Makhluf kemudian menulis karya setebal dua jilid dari hasil penelitiannya yang membandingan antara hukum Prancis dan Madzhab Maliki. Hasil penilitian ini diberi judul Tathbiq al-Qanun al-Faransawi al-Madani wa al-Jina’i ‘ala Madzhab Imam Malik (Aplikasi Hukum Perdata dan Pidana Prancis terhadap Madzab Imam Malik). Dalam muqadimahnya, Syaikh Makhluf menulis, “Inilah kumpulan dari perincian-perincian Madzhab Malik, Imam Darul Hijrah an-Nabawiyah, dibandingkan dengan hukum Eropa yang sesuai atau memiliki kesamaan yang mencolok, dimana aku telah mengumpulkannya sesuai dengan keinginan dari Yang Mulia Raja Mesir…”

 

Syaikh Sayyid Abdullah at-Tidi, seorang ulama Madzhab Maliki Al Azhar yang lahir pada 1889 dari desa Tida di kota Kafr, Mesir. Syaikh at-Tidi menulis karya dengan judul Muqaranah at-Tasyri’iyah baina al-Qanun al-Faransi wa Madzhab al-Imam Malik Bin Anas (Perbandingan Perundang-Undangan antara Hukum Prancis dan Madzhab Imam Malik Bin Anas) setebal empat jilid. Disana Syaikh at-Tidi melihat para ahli hukum yang tidak memahami syariat Islam, dan menyangka bahwa ia merupakan bentuk perundang-undangan yang kuno yang tidak dipakai. Dan para ahli hukum Prancis dan negara-negara lainnya sepakat untuk tidak menyebutkan bahwa syariat Islam adalah perundang-undangan yang pernah menerangi bumi dengan ilmu dan keadilan.

 

Dalam proses karya Syaikh at-Tidi tidak semulus yang dikira banyak layangan ketidak sepakatan atas kitabnya. Syaih at-Tidi juga merespon pernyataan pihak sekularis yang menulis di surat kabar al-Muqaththam pada 23/7/1943 bahwasannya tidak satu hukum pun dalam hukum Prancis yang bersumber dari fiqih para imam. Syeikh at-Tidi menyatakan, “Kami tidak menjawab mereka dengan satu hukum saja, tapi dengan 9/10 teks hukum Prancis dalam kitab kami. Dan kami berkata di telinganya, fiqih Imam Malik tidak hanya diambil oleh undang-undang yang baru lahir tahun 1805 itu saja, bahkan sejak 200 tahun hijriyah ketika fiqih Imam Malik telah diterapkan sebagai hukum di Eropa dan Andalusia pada waktu itu adalah menara ilmu sedangkan Eropa berada dalam kungkungan kebodohan.”

 

Sejarawan Islam kontemporer Raghib as-Sirjani menukil pendapat orientalis Louis. A. Sédillot tentang kebenaran adanya pengaruh mazhab Maliki dalam huku Prancis. Sédillot mengatakan, “Mazhab Maliki adalah yang menarik perhatian kami secara khusus karena kami memiliki hubungan dengan bangsa Arab-Afrika. Pemerintah Prancis memerintahkan kepada Dr. Birun untuk menerjemahkan kitab al-Mukhtashar fii al-Fiqh karya Khalil bin Ishaq bin Ya’qub (1374).”

 

Hikmah yang terbesit oleh penulis ialah kecenderungan manusia malu untuk mengakui keadilan Islam, yang dimana mereka tidak berani untuk menuliskan referensi pengambilan hukum negara. Kecenderungan dunia hari ini pun tak ubah cara pandangnya, bisa jadi ini inspirasi bagi kaum Muslimin yang berada di Barat menciptakan langkah strategis ialah membungkus nilai syariat Islam kedalam cara pandang, sosial, dan usulan produk hukum yang lebih menitik beratkan pada nilai syariat. Sebagaimana Tariq Ramadhan putra dari Hassan al-Banna yang menginisiasi perlunya kaum Muslimin mengatakan identitasnya sebagai warga Barat yang memeluk agama Islam. Agar Islamisasi bisa bernafas panjang di Barat tanpa adanya pertentangan ras sambil mengambil peran strategis menerapkan maqashid asy-Syar’iyyah.

 

 

Referensi;

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.