Oleh: Jumi Yanti Sutisna
(Jurnalislam.com)–Sebuah ungkapan “Salah satu guru terbaik adalah pengalaman orang lain” ini sempat trend diliterasi-literasi motivasi tentang kesuksesan. Salah satunya diliterasi-literasi sukses menjadi pengusaha, sukses didunia kerja, relationship dan lainnya. Bagaimana dengan pendidikan dan pengasuhan anak? Apakah masih berlaku ungkapan ini?
Mari kita melihat kisah imam besar Asy-Syafi’i dan muridnya yang juga kemudian menjadi imam besar yaitu imam Ahmad Hambali.
Siapa yang tidak kenal dengan imam besar Asy-Syafi’i seorang anak yang dibesarkan oleh seorang ibu single parent, hingga menghasilkan karya yang menjadi rujukan jutaan muslim di dunia hingga kini. Ia memiliki murid bernama Ahmad Hambali yang juga dibesarkan oleh seorang ibu single parent.
Salah satu referensi menceritakan bahwa ibunda Ahmad Hambali mengagumi ibunda imam Syafi’i, karena merasa senasib dan mengharapkan kesuksesan yang sama seperti yang telah diraih ibunda imam Syafi’i yaitu menjadikan anaknya ulama besar yang ilmunya bermanfaat bagi agama, ibunda Ahmad Hambali pun mengikuti jejak langkah cara mendidik ibunda imam Syafi’i. Dan terbukti, Ahmad Hambali pun menjadi ulama besar, tidak jauh berbeda dengan imam Syafi’i karya-karya imam Ahmad Hambali pun menjadi rujukan muslim di dunia hingga kini.
Bagaimana?
Sepakat jika ungkapan “Salah satu guru terbaik adalah pengalaman orang lain” pun berlaku untuk pendidikan dan pengasuhan anak?
Allah SWT melalui firman-firman-Nya dalam Al-Quran pun banyak bercerita tentang kisah-kisah para orang tua dalam mendidik, baik kisah sukses mendidik maupun sebaliknya. Kisah Nabiyullah Ibrahim yang sukses mendidik anaknya menjadi seorang yang sabar dan santun. Kisah keluarga Imran yang sukses menghasilkan anak keturunan yang suci dan mentauhidkan Allah. Kisah Lukmanul Hakim yang sukses mendidik anaknya dari yang sebelumnya kafir menjadi beriman kepada Allah. Bukankah ini pun sebuah kode dari Allah bahwa Allah ingin kita orang tua belajar dari pengalaman orang lain dalam mendidik. Belajar dari orang-orang yang sukses dalam mendidik agar bisa meraih kesuksesan yang sama, dan belajar pula dari orang-orang yang gagal dalam mendidik agar tidak mengalami kegagalan yang sama.
Bagaimana?
Dapatkah kita menangkap kode dari Allah ini bahwa “Salah satu guru terbaik adalah pengalaman orang lain”?
Mari kita merenungi firman Allah SWT dibawah ini :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al- Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Yusuf : 111)
Kemudian, kepada pengalaman siapa kita belajar? Kepada siapa kita menentukan role model? Apakah pada para orang tua yang menghasilkan anak-anak ilmuwan Barat? Bukankah tidak sedikit diantara mereka berakhir bunuh diri?
Ya, itupun sebuah pelajaran penting untuk kita orangtua, bahwa pendidikan dan pengasuhan tanpa penanaman keyakinan pada Tuhannya meski ia menghasilkan karya yang luar biasa pada akhirnya akan membuat duka orang tua, adakah orangtua yang bangga dan bahagia anak kesayangannya mati bunuh diri? Bahkan lebih menyedihkannya lagi, ia tidak dapat menjadi penolong di kehidupan abadi. Sungguh sedih dan menyayat hati.
Lantas, kepada pengalaman orangtua siapa kita belajar dan menjadikannya role model ?
Surah Yusuf ayat 111 diatas telah dijelaskan bahwa kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Quran adalah kisah-kisah yang mengandung pelajaran. Dan tentunya pun, kisah tokoh-tokoh muslim yang prestasi mereka mampu mengangkat izzah agama dan kematiannya menjadi penolong dikehidupan abadi orang tua serta sarat akan pelajaran pula.
Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad Hambali, Imam Bukhari, Muhammad Al-Fatih, Shalahuddin Al-Ayubi, Sultan Al-Qonuni dan masih banyak lagi.
Lalu, bagaimana caranya kita orang tua agar dapat belajar dari pengalaman mendidik orang tua-orang tua mereka?
Tidak ada lagi jawabannya selain mencari tahu bagaimana para orang tua mereka mendidik dan mengasuh.
Mencari tahu bukanlah diam, bukan pula sekedar tahu, namun mencari tahu adalah menggali hingga menemukan langkah-langkah penyebab kesuksesan diraih.
Mencari tahu atau menggali informasi ini dengan cara apa diperoleh jika tidak dengan ‘belajar’. Ya, be-la-jar. Belajar dengan cara menghadiri taklim-taklim parenting, belajar dengan cara mencari literasi-literasi kisah mereka. Dan yang sangat perlu digaris bawahi disini adalah belajar dengan menggali informasi untuk mengetahui jejak langkah mendidik, bukan sekedar mengetahui keberhasilan-keberhasilan tokoh yang diidolakan lalu mem-push anak agar memperoleh capaian itu tanpa mengikuti jejak langkah mendidiknya. Misal, menginginkan anak menjadi layaknya imam Syafi’i yang telah hafal Al-Quran diusianya 7 tahun, kemudian orangtua mem-push anak untuk hafal Quran diusia tersebut tanpa memperhatikan bagaimana jejak orangtua imam Syafi’i dalam mendidik. Jika begini, bisa jadi ada faktor penting yang tidak terpenuhi yang kemudian kita bertanya, koq hasilnya begini? Ini perlu direnungi.
Kemudian cukupkah orangtua yang belajar itu adalah suami saja atau sebaliknya istri saja? Dengan alasan jika suami ia cukup sibuk mencari nafkah dan sibuk urusan ke-umatan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu lah kita memahami pengertian kata ‘orang tua’, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) orang tua adalah terdiri dari ayah dan ibu. Bukan ayah saja, bukan ibu saja, kecuali single parent. Dan utamanya adalah sang ayah karena jika rumah adalah madrasah bagi anak-anak maka sang ayah adalah kepala sekolah dan ibu adalah guru yang mendidik langsung anak-anak. Ayah seharusnya lebih berpengetahuan tentang pendidikan dan pengasuhan anak untuk kemudian disharingkan dan didiskusikan dengan ibu, sang guru untuk anak-anak di rumah. Singkatnya seorang ayah harus belajar mendidik dan mengasuh, begitu pun ibu.
Jika sang ayah belajar ilmu mendidik dan mengasuh, ia bisa menjalankan fungsinya dengan baik sebagai kepala sekolah keluarga, tempat konsultasi dan diskusi ibu sang gurunya anak-anak meski sang ayah tidak sering berada di rumah, kemudian menentukan siapa-siapa orang tua hebat untuk dijadikan role model dan menjadikannya sebagai impian keluarga. Bagaimana? Apakah Anda punya impian dalam pendidikan anak-anak? Mau dijadikan apa anak-anak?
Ayah, bunda, ayo belajar mendidik dari pengalaman orang lain.