Anak-anak Gaza Bertanya-tanya, “Apakah Ini Perang Lagi, Ayah?”

Anak-anak Gaza Bertanya-tanya, “Apakah Ini Perang Lagi, Ayah?”

DEIR EL-BALAH, JALUR GAZA (jurnalislam.com)- Setelah sepekan senyap dalam gencatan senjata, sayangnya serangan udara Israel kembali menggema. Masa tujuh hari yang sementara menghamparkan ketenangan telah usai.

Dan kini, dentuman-dentuman familiar merajai lagi, bukan hanya sebagai suara, melainkan simfoni kehancuran: gemuruh pemboman, ledakan yang memilukan, sayap pesawat yang menari di angkasa, dentuman artileri sebagai langkah-langkah perang, ombak laut yang menjadi saksi bisu di depan kapal perang, dan peluru tajam yang kembali berbisik di antara keheningan kota yang minggu lalu sempat terhenti.

Ini adalah pengalaman kami sehari-hari selama tujuh minggu sebelum gencatan senjata, dan kami sudah mahir membedakannya, seperti dentuman khas roket dari Gaza dan deru pemboman Israel.

Pagi ini Jum’at (01/12/2023), ketika jarum jam menunjukkan pukul 07.00, seruan kekerasan dari darat, langit, dan ombak laut kembali mengisi udara, membangkitkan kenangan kesedihan baru di wajah keluarga saya.

Dengan gemetar, kakak saya membuka jendela, mata yang mencari tahu memandang ke luar. “Pengeboman merajalela di segala penjuru,” ucapnya, suaranya menyiratkan kegelisahan yang mendalam.

Dalam usianya yang delapan tahun, Banias memandang ayahnya dengan mata yang penuh tanya, “Apakah ini perang lagi, Ayah?”. Kemudian Ayahnya, dengan bijaksana, menjelaskan bahwa hari-hari tenang yang baru saja mereka nikmati hanyalah sebatas gencatan senjata sementara, dan perang belum berakhir. Pikiran anak-anak Banias berusaha merangkai makna di balik siklus aneh ini: perang, jeda, dan kembali perang.

Lima puluh enam hari pertempuran telah berlalu, namun, tampaknya tidak cukup untuk menjamin gencatan senjata.

Kemarin, di antara tenda-tenda yang melambai di bawah bayangan Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Jalur Gaza, suara-suara dari para pengungsi menggema. Kesusahan, ketakutan, dan keputusasaan melintas di wajah-wajah yang haus akan perdamaian. Mereka tidak menginginkan gencatan senjata sementara; mereka merindukan gencatan senjata abadi agar bisa kembali ke rumah mereka, meski rumah-rumah mereka telah dilanda kerusakan.

Ketakutan mereka bahwa dimulainya kembali perang akan berarti Israel akan melakukan pengeboman di wilayah selatan. Pagi ini, kekhawatiran mereka menjadi kenyataan ketika pasukan Israel menyebarkan selebaran, memaksa masyarakat dari Khan Younis timur untuk meninggalkan tanah itu dan bergegas ke Rafah, di tepi selatan Gaza.

Dalam bayang-bayang serangan udara yang terus berkecamuk dari Gaza utara ke selatan, refleksi mendalam menyelinap ke dalam pikiran saya. Masyarakat Gaza menghadapi deretan peperangan: pengungsian yang menyedihkan, pemandangan kehancuran yang menyayat hati, penghinaan yang tak terhitung, kehidupan di tenda-tenda yang rapuh, kehausan, kelaparan, dan rasa cemas yang menyergap saat jeda sementara, yang diikuti dengan pemboman yang kembali terjadi.

Apa yang harus dilakukan masyarakat Gaza agar dunia merasakan simpati mereka?, Bagaimana dunia bisa membiarkan genosida terus berlanjut?, Bagaimana kita bisa kembali ke pertumpahan darah dan khawatir kehilangan orang yang kita cintai? Bagaimana, bagaimana dan bagaimana?

Pertanyaan-pertanyaan ini, saya sadari, tidak akan menemukan jawaban. 56 hari terakhir telah mengajarkan saya, seperti yang telah mereka tunjukkan kepada seluruh masyarakat Gaza, menjadi pengingat bahwa ketakutan, kehidupan, rasa sakit, harapan, dan impian kita, tidak termasuk dalam perhitungan dunia ini.

Sumber: Al Jazeera

Reporter: Bahri

Bagikan