Menghormati Eksistensi Tradisi Mudik Lebaran

Menghormati Eksistensi Tradisi Mudik Lebaran

Oleh: Budi Eko Prasetiya
Manager Griya Quran Al Hafidz Jember

Terlepas adanya kebijakan pemerintah yang melarang Mudik Lebaran karena untuk mencegah penyebaran virus Covid 19 dan melindungi kesehatan masyarakat. Menarik kiranya diulas eksistensi Mudik yang menjadi tradisi Muslim yang menjadi penduduk mayoritas negeri ini.

Mudik sebuah istilah unik yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang kembali ke kampung halaman pada saat Idul Fitri.

Mengutip dari kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), definisi kata mudik adalah “berlayar” atau “pergi ke udik” atau secara bahasa bisa diartikan “pulang ke kampung.”

Ada juga yang mengatakan kata mudik merupakan singkatan yang berasal dari Bahasa Jawa Ngoko yakni ‘mulih dilik’  yang artinya adalah pulang sebentar. Yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan momen lebaran.

Istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an.
Saat itu, Jakarta sebagai ibukota Indonesia merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Bagi penduduk lain yang berdomisili di daerah, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan untuk mengubah nasib. Lebih dari 80% orang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Oleh karena itu, momen lebaran menjadi hal yang sangat ditunggu bagi warga pendatang untuk pulang ke kampungnya.

Fenomena mudik bukan hanya milik masyarakat Muslim Indonesia. Bahkan bila dicermati muslim negara juga melakukannya. Berapa banyak TKI-TKW dan mahasiswa yang kembali ke Indonesia pada masa-masa jelang lebaran. Begitu juga dengan orang-orang Maghrib (Marokko), Tunisia dan Al Jazair yang bekerja di negara-negara lain di Eropa, Amerika dan di negara-negara Timur Tengah sendiri, mereka juga pulang kampung atau mudik pada hari-hari baik, khususnya pada menjelang lebaran Idul Fitri.

Pertanyaannya, bagaimana perspektif syariat Islam dalam hal mudik? Adakah anjuran atau larangan soal pulang kampung tersebut?

Jika mencermati salah satu firman Allah ta’ala berikut:

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu persekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)

Dalam ayat tersebut di atas, Allah Subhanahu wa ta’ala dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karib kerabat, tetangga, teman sejawat dan seterusnya. Hal ini menjadi satu kewajiban bagi semua hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah.

Mudik adalah salah contoh merealisasikan perbuatan baik dalam ayat di atas. Dengan saling bertemu, bersalaman dan saling memaafkan serta bersilaturahim melepas kerinduan dengan sanak kerabat.
Bahkan para pemudik pun biasanya membawa pulang sejumlah uang dan barang sebagai hasil jerih payahnya selama di perantauan untuk berbagi kepada saudara, tetangga dan teman sejawat dan masyarakat sekitarnya. Semua itu menjadi rasa syukur dan kebanggaan sendiri bagi pemudik, keluarga dan lingkungannya.

Dari perspektif sosial, mudik merupakan upaya menyambung dan mempererat hubungan silaturrahim. Setelah sekian lama mereka tidak bertemu, tidak berkumpul dan tidak melakukan tukar informasi, maka dengan mudik tali silaturrahim akan tersambung. Terlebih lagi bagi mereka yang memahami akan pentingnya fadhilah bersilaturrahim. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkaan umurnya, maka hendaklah ia suka bersilaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mudik merupakan tradisi baik yang memiliki eksistensi dalam kehidupan umat islam di Indonesia. Dalam perpektif syari’at, Mudik memiliki hubungan yang erat dengan prinsip ukhuwah dan berbuat kebaikan yang dianjurkan dalam syariat Islam. Dengan mudik seseorang dapat mengaplikasi bentuk pengabdian dan berbuat baik kepada orang tua, anggota keluarga, dan kerabat lainnya. Dengan mudik pula, hubungan silaturrahmi yang pernah renggang atau terputus, dapat terajut kembali dengan baik. Wallahu A’lam bish-shawab

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.