Demokrasi adalah …

Demokrasi adalah …

JURNALISLAM.COM – Istilah demokrasi (Inggris: Democracy) ini secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni DEMOCRATIE. Kata majemuk Demokrasi secara bahasa terdiri dari 2 kata yaitu Demos artinya rakyat (people) dan Cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule).

Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan/hukum tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja, presiden, imam/khalifah atau kaum bangsawan bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun di tiadakan, dengan kata lain “bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala” yang memegang kekuasaan dan hukum atas manusia (rakyat) tetapi rakyat itu sendiri yang menentukan hukum dan kekuasaannya.

Kekuasaan berada di tangan rakyat, Hukum berada di tangan rakyat, bukan di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan yang lebih sesat menyesatkan lagi adalah Aqidah /substansi dari ajaran demokrasi itu sendiri yaitu “VOX POPULI VOX DEI” (suara rakyat adalah suara tuhan),“ sejak kapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengumumkan dirinya sebagai rakyat! ”.

Jadi bisa dianalogikan, kalau seandainya ada sebuah negara berpenduduk yang kebanyakan rakyatnya penjahat (koruptor, perampok, pencuri, penipu, pemeras, pejinah, pemabuk, penjudi, muysrik, munafik, ahli maksiat, ahli bid’ah, ingkar terhadap hukum/ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan lain lain.) maka bisa dikatakan suara penjahat lah suara tuhan, sebagaimana yang telah dikatakan tadi “Suara Rakyat Suara Tuhan”.

Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).

Dan hal itu telah terjadi hampir di setiap negara negara yang mayoritas berpenduduk yang mengaku muslim pada saat ini.. “ajaran yang aneh”. Jadi bukan Allah Swt sebagai pemegang hukum, pemegang aturan hidup dan undang undang, pemegang kekuasaan atas segalanya, melainkan rakyat lah/manusia lah yang mengatur semua, membuat hukum/aturan hidup manusia, baik untuk aktivitas pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah dan yang ditaati – dalam hal perundang-undangan – adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah :

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (Qs. Yusuf:40)

“Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan”. (Qs. Al-Kahfi : 26)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”. (Qs. Asy-Syura : 21)

“Dan jika kamu mentaati mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Qs. Al-An’am : 121)

Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.

Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan.

Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.

Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”.

Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat”. (HR. Bukhari dan Muslim)

“Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata disembah dan tidak disekutukan”.

Kesyirikan dan kekafiran demokrasi sungguh kejam sekali, tidak membedakan dalam memangsa korbannya, mau orang-orang yang pintar maupun orang-orang bodoh semuanya bisa terperangkap dan terjaring masuk ke dalam kekafiran dan kesyirikan demokrasi, bahkan yang lebih hebatnya lagi dari kesyirikan demokrasi mampu menyeret orang masuk ke dalam kesyirikan tanpa menyadari dan merasa kalalu mereka sesungguhnya telah kafir dan musyrik. Tidak banyak orang yang tahu hingga setingkat ulama sekalipun, kecuali orang-orang yang muwahid yang selalu istiqomah dan berpegang teguh dan bersandar kepada Al-Qur’an dan Sunnah, insya Allah selamat.

Memahami dan mengetahui hakekat perbedaan antara kebenaran Islam yang mutlak yang datang dari Dzat Yang Maha Haq dan Maha Mengetahui dan kesyirikan serta kekafiran demokrasi yang datang dari orang-orang kafir yang terkutuk adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin ditinggalkan. Sebab tanpa mengetahui perbedaan antara hakekat keduanya maka sulitlah orang akan selamat dan terbebas dari kesyirikan dan kekafiran demokrasi.

Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”. (Qs. Al-Hujurat :1-2)

Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi Shallallahu ‘alaihi waallam saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya diatas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. (Qs. Al-Ahzab :36)

Tetapi demokrasi akan mengatakan : “kita harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah” .

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Qs. An-Nisa’: 65)

Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :

“Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.” (Al Bidayah wan Nihayah XIII/128).

bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridhainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.

Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar’iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadnaya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.

Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyebut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar’i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.

Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakana : Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari’ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.

Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kezhaliman. Tentang mereka itu kami katakana : Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta’wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar’iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.

Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari’ah atau bahkan tidak mempedulikan syari’ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani’ (penghalang) takfir pada dirinya, sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a’lam.

Oleh: Deddy Purwanto/Al Tsaurah Institute

Bagikan