Hukum Memakan Hidangan Dalam Acara-acara Bid’ah

Hukum Memakan Hidangan Dalam Acara-acara Bid’ah

Sahabatku yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala. Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallam.

Sering kali kita mendengar pertanyaan seperti ini, bolehkah seorang muslim memakan makanan yang disajikan pada acara-acara bidah. Seperti pada acara kenduri haul kematian, selamatan perempuan hamil tujuh bulan dan lain sebagainya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi dahulu apakah acara bid’ah tersebut termasuk bid’ah diniyyah atau bid’ah dunyawiyyah. Bidah diniyyah adalah segala sesuatu yang diada-adakan dalam urusan agama. Sedangkan bid’ah dunyawiyah adalah sesuatu yang baru dalam urusan dunia. Dan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallam tidak melarang hal-hal baru dalam urusan dunia, seperti kemajuan teknologi dan lain-lain selama itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i.
Pengertian Bid’ah

Bid’ah menurut bahasa (etimologi) yaitu mengada ngada, masdhar dari kata bada’a sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya atau sesuatu yang baru tidak ada contohnya (tidak didahului oleh contoh).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ…..“

Allah Pencipta langit dan bumi, ….”, (Qs. Al-Baqoroh (2) : 117)

Maksudnya : Allah menciptakan langit dan bumi tidak ada contoh yang mendahuluinya (tanpa contoh) .

Jadi bid’ah menurut bahasa mempunyai pengertian yang luas, bisa apa saja yang sifatnya mengada ngada. Tetapi bukan bid’ah menurut bahasa (etimologi) inilah yang dimaksud oleh Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassallam sebagai sesuatu kesesatan, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassallam di berbagai hadist hadist beliau.

Misalnya : naik motor, Hp, pesawat, mic, memakai jaket, jam tangan, TV dan lain-lain . Itu semua tidak ada di jaman Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassallam tapi itu semua bukan perkara Ad Dien (milah, manhaj & syariat) semuanya itu hanya perkara ke duniaan. Sebagaimana hadist Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassallam.

وَشَرَُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“… sejelek-jeleknya urusan adalah yang muhdats (perkara baru dalam urusan agama) yang muhdats adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka”. (HR. Muslim No: 2042)

Pengertian bid’ah secara istilah (terminologi)

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Definisi bid’ah khusus Ibadah adalah: Suatu istilah untuk suatu jalan dalam urusan agama (dien) yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, contoh / tuntunan dari Al qur’an & hadist). yang menyerupai syari’at, yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk menambah dalam beribadah kepada Allah Ta’ala tetapi tidak ada contoh atau tuntunan dari Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassallam (al-I’tishom I/ 26).

Dalam perkara ini bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan agama bukan bid’ah dalam urusan dunia. Bid’ah Diniyyah adalah segala sesutu yang diada-adakan dalam urusan agama (aqidah, ibadah & syariat), inilah yang dilarang atau diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tiap-tiap bid’ah dalam urusan agama itu adalah sesat. Sebagaimana disampaikan dalam Hadits Rasulullah diatas, yaitu: “Sejelek-jeleknya perkara / urusan adalah yang diada-adakan atau dibuat-buat (tidak di contohkan oleh Rasulullah) dalam agama (dien), setiap yang diada-adakan dalam agama (dien) adalah bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya di Neraka.”

Dan dalam pengertian secara istilah ini para ulama memberikan ta’rif (pengertian) lagi, bahwa bid’ah diniyyah (agama) ini terbagi atas dua bagian, yaitu:

  1. Bid’ah Haqiqiyah adalah bid’ah yang tidak memiliki indikasi sama sekali dari syar’i . Baik dari Al-Quran maupun Sunnah. Atau Rasulullah sama sekali tidak pernah melakukan ibadah tersebut (tidak dicontohkan oleh Rasulullah). Bid’ah ini adalah benar-benar bid’ah, seperti meminta berkah kepada orang mati, memperingati tiga hari sampai seribu harian kematian seseorang, memberikan sesajen kepada sesuatu yang gaib dan lain sebagainya. Bid’ah haqiqiyyah ini dibagi lagi menjadi dua yaitu : Al- Bid’ah al-Mukkafirah dan Al-Bid’ah al-Muharramah (ghoiru mukafirah). Walaupun dibagi lagi menjadi dua tapi tetap bid’ah (sesat), bahkan bisa menyebabkan kekafiran jika pelanggarannya sampai pada tingkat merusak Ashul Iman (iman yang pokok).
  2. Bida’ah Idhafiyyah adalah bid’ah yang terjadi karena adanya penyimpangan pada Hadits (Sunnah) Rasulullah dalam melakukan tata cara dalam beribadah. Contoh; Perintah agar melembutkan suara ketika berdzikir (lihat Qs 7 : 205), tetapi saat ini dzikir justru dilakukan secara berjamaah dan menggunakan pengeras suara. Itulah yang disebut bid’ah secara idhafiyyah. Bidah Idhafiyyah ini dibagi lagi menjadi dua yaitu: Al-Bid’ah al Makruhah Tahrim dan Al-Bid’ah al-Makruhah Tanzih walaupun dibagi lagi menjadi dua, tetap bid’ah itu sesat. Tapi bid’ah ini tidak menyebabkan kekafiran kecuali istihlal/istihza/tadzib terhadap nash.

Hukum memakan makanan yang dihidangkan pada acara bid’ah

Makanan yang dibuat dan disajikan pada acara bidah kufriyah diklasifikasikan menjadi dua: sembelihan dan bukan sembelihan.

Para ulama menyatakan, binatang yang disembelih untuk acara bidah kufriyah haram dimakan. Yang demikian itu karena menyembelih untuk acara itu mengandung unsur pengagungan terhadap selain Allah dan dekat dengan larangan menyembelih untuk selain Allah. Meskipun saat menyembelih binatang membaca basmalah.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Al-Baqarah: 173)

Sedangkan makanan selain sembelihan seperti buah-buahan, kue, gula-gula dan lain sebagainya, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat hukumnya sama dengan hukum binatang sembelihan. Sebagian yang lain berpendapat hukumnya tetap halal. Hanya saja, jika menerima atau mengkonsumsinya akan dianggap sebagai persetujuan terhadap acara bidah tersebut. Karena itu, tidak boleh menerima atau mengkonsumsinya.

Alasan kebolehannya sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ Shiratal Mustaqim. Beliau menyebut beberapa atsar (perkataan) para sahabat. Diantaranya Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah menerima pemberian orang kafir para hari raya Nairuz.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan menemui Aisyah Radhiyallahu ‘anha untuk menanyakan bolehkan menerima makanan dari orang Majusi pada hari raya mereka. Aisyah menjawab, “Apa saja yang disembelih untuk hari itu, jangan kalian makan. Makanlah yang merupakan hasil bumi.”

Abu Barzah juga pernah berpesan kepada keluarganya terkait dengan perayaan Mahrajan dan Nairuz yang dirayakan oleh orang Majusi. Beliau berkata, “Buah-buahannya boleh kalian makan. Tetapi, selainnya (sembelihan) tolaklah!”

Adapun makanan pada acara bid’ah ghoiru kufriyah, baik yang berupa sembelihan atau bukan sembelihan, hukumnya sama dengan makanan yang bukan sembelihan pada acara bidah kufriyah. Hukum asalnya halal. Namun, jika berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, tidak boleh dikonsumsi.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (di dalam Al Qur’an), akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. 33 : 36)

Rosulullah holallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan Dien kami ini (milah, manhaj & syari’at termasuk aqidah serta ibadah) maka ia tertolak (tidak diterima). (HR Muslim – 1718)

Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1: 219, Asy Syamilah)

Jadi bid’ah yang menyesatkan adalah bid’ah dalam urusan dien (agama) menurut istilah syar’i, suatu amalan ibadah yang tidak ada perintah dan tidak ada contohnya dari Allah dan RasulNya atau tidak ada tuntunan di dalam syariah. Maka dengan ketentuan seperti itu kita harus mengidentifikasi perayaan atau acara tersebut terlebih dahulu sebelum kita masuk di dalamnya ; apakah perayaan atau acara tersebut ada dalam tuntunan syariat, apakah perayaan atau acara tersebut menyangkut urusan yang berkaitan dengan dien (milah, manhaj dan syariat)? Dengan demikian ketika kita mampu mengidentifikan hal tersebut, secara langsung kita akan mengetahui hal-hal yang berhubungan pada perayaan dan acara tersebut sesuai tuntunankah, diperbolehkankah atau justru dilarang.

Sahabatku, sudah sepatutnya kita berhati-hati dalam melakukan suatu amalan seperti permasalahan diatas agar kita senantiasa terjaga dari hal-hal yang menyelisihi syariat. Begitu juga terhadap perkara-perkara amalan ibadah lainnya. Insya Allah penjelasan yang singkat ini mampu menjawab atas pertanyaan diatas.

Wallohu a’lam

Sumber: Al I’tisham, Imam Asy-Syathibi

Bagikan