Berita Terkini

Akhirnya AS Akui Militer Myanmar Lakukan Pembantaian atas Warga Muslim Rohingya

WASHINGTON (Jurnalislam.com) – Amerika Serikat untuk pertama kalinya menyebut tindakan militer Myanmar terhadap warga Muslim Rohingya sebagai “pembantaian etnis”, dengan mengatakan sedang mempertimbangkan sanksi khusus terhadap mereka yang bertanggung jawab.

Komentar tersebut dibuat pada hari Rabu (22/11/2017) oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, yang mengunjungi Myanmar pekan lalu, di mana sebuah tindakan keras militer yang sengit telah mengirim lebih dari setengah juta Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus.

“Pelanggaran oleh beberapa orang di antara militer Birma ini, juga pasukan keamanan, dan warga setempat telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa dan memaksa ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak untuk meninggalkan rumah mereka di Burma demi mencari perlindungan di Bangladesh,” kata Tillerson dalam sebuah pernyataan, menggunakan nama lain Myanmar (Burma).

Kimberly Halkett dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Washington, DC, mengatakan bahwa penggunaan istilah “pembersihan etnis” oleh Tillerson “muncul dengan konsekuensi hukum, dan juga menempatkan AS pada sisi moralitas yang benar” menurut pandangan banyak pihak.

Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menggambarkan tindakan militer Budha Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya yang teraniaya sebagai sebuah buku teks mengenai “pembersihan etnis.”

Tentara Myanmar memulai tindakan kekerasannya melawan Rohingya pada akhir Agustus, menyusul serangkaian perlawanan yang dituduh dilakukan Arakan Rohingya Salvation Army terhadap pos militer Myanmar di negara bagian Rakhine.

Deplu AS Tolak Pembantaian Muslim Rohingya sebagai Pembersihan Etnis, Ini Alasannya

Pengungsi Rohingya yang melarikan diri melaporkan pasukan Myanmar membalas dengan sebuah operasi pembakaran, pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan dalam upaya memaksa mereka keluar dari Myanmar. Laporan ini didukung oleh kelompok hak asasi manusia yang memantau situasi.

“Mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman ini harus dimintai pertanggungjawabannya,” kata Tillerson tentang kekerasan tersebut.

Legislator AS mengajukan sanksi khusus dan pembatasan perjalanan terhadap pejabat militer pada awal November.

108 Tahun Muhammadiyah, Haedar Nashir Bersyukur Masih Diberi Amanah Jalankan Misi Dakwah

SOLO (Jurnalislam.com) – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Surakarta menggelar Resepsi Milad Muhammadiyah ke 108 Hijiryah bersama Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Haedar Nashir di Gedung Balai Muhammadiyah, Surakarta, Rabu (22/11/2017).

“Kita patut bersyukur karena Muhammadiyah masih diberi misi roda dakwah yang cukup panjang, tidak mudah bagi organisasi Islam untuk tetap untuk dan berkembang dengan baik,” kata Haedar Nashir.

Menurutnya, bukan sesuatu yang mudah untuk sebuah ormas Islam untuk bertahan selama lebih dari satu abad untuk menjalankan misi dakwah Islam.

“Ada organisasi yang dulu berdiri disamping muhammadiyah, namun saat ini berpecah belah menjadi satu, dua, sampai tiga,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua PDM Muhammadiyah Solo Drs Subari mengatakan bahwa Muhammadiyah Solo merupakan salah satu Muhammadiyah tertua yang ada di Indonesia yang berdiri sejak 1918.

“Kita bersyukur perjalanan milad ini sudah berjalan sekitar 1 bulan, diisi dengan lomba dan berbagai hal, dan puncaknya hari ini dengan digelarnya Tasyakuran, dan menghadirkan pak Haedar Nashir,” pungkasnya.

Pasukan Israel Tahan Anggota Legislatif Fatah dan 4 Lainnya karena Mendata Warga Yerusalem

PALESTINA (Jurnalislam.com) – Polisi zionis menahan beberapa warga Palestina, termasuk anggota partai politik Presiden Palestina Mahmoud Abbas Fatah, dan menuduh mereka melakukan sensus penduduk di Yerusalem Timur yang dijajah Israel.

Muhammad Mahmoud, seorang pengacara yang mewakili beberapa tahanan, mengatakan kepada Al Jazeera, Rabu (22/11/2017), bahwa lima anggota Fatah, termasuk Hatem Abdel Qader, seorang anggota Dewan Legislatif Palestina untuk distrik Yerusalem, ditangkap, dan penahanan mereka diperpanjang, karena “pekerjaan ilegal dengan PA [Palestinian Authority-Otoritas Palestina]”.

Seorang hakim Israel memperpanjang penahanan Aseel Hasoneh, Issam Khatib dan Musab Abbas sampai 27 November, kata Mahmoud. Hatem Abdel Qader dan Arafat Musa dikirim ke tahanan rumah, untuk jangka waktu lima hari, dan diperintahkan untuk membayar uang jaminan sebesar $ 570.

Abdel Qader ditahan oleh polisi zionis selama lima hari di bulan Juli dengan alasan “hasutan”.

Pasukan Zionis Tangkap Pemimpin Kelompok Jihad Islam Palestina

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Selasa, polisi Israel mengatakan bahwa pihaknya “menahan dan menangkap 17 tersangka karena dicurigai bekerja dengan PA menyusul penyelidikan tertutup dan rahasia yang dilakukan selama beberapa pekan terakhir yang menargetkan warga Yerusalem yang dicurigai melanggar Perjanjian sementara dan mengambil bagian dalam aktivitas yang berhubungan dengan sensus penduduk oleh PA.”

Khalil Tufakgi, seorang ahli Palestina di Persetujuan Oslo, mengatakan bahwa sesuai dengan Perjanjian Sementara, kegiatan PA tidak diizinkan di Yerusalem Timur.

Kesepakatan Interim antara pemerintah Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (the Palestine Liberation Organisation-PLO), yang biasa dikenal dengan Oslo II Accord, dibuat pada tahun 1995 di Wilayah A, B dan C di Tepi Barat.

PA diberi beberapa wewenang dan tanggung jawab terbatas di Wilayah A dan B dan prospek negosiasi mengenai penyelesaian akhir berdasarkan Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB dan 338.

Oslo II mengikuti kesepakatan Oslo I Accord tahun 1993, yang telah menggambarkan pembentukan pemerintahan sementara Palestina di wilayah Palestina namun gagal memenuhi janji negara Palestina yang merdeka.

Zionis Gusur Warga Palestina dengan Bangun 176 Unit Rumah Baru di Yerusalem Timur

Biro Pusat Statistik Palestina saat ini sedang melakukan sensus penduduk dan diyakini mengikutkan Yerusalem Timur dalam sensus tersebut.

Menurut beberapa laporan, beberapa individu terlihat di Yerusalem Timur dengan kuesioner yang berhubungan dengan sensus penduduk.

Melalui juru bicara, Biro Pusat Statistik Palestina membantah beroperasi di Yerusalem Timur, bertentangan dengan pernyataan polisi Israel.

Berbicara kepada Al Jazeera, Louay Shehadeh mengatakan: “Kami telah mempersiapkan untuk melakukan sensus penduduk di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak bulan Juni namun kami hanya beroperasi di pinggiran kota seperti Abu Dis, al-Ram dan Ezariya.”

Dia mengatakan bahwa “penahanan Israel menargetkan anggota Fatah dan tidak ada hubungannya dengan sensus penduduk”.

Shehade mengatakan bahwa sensus penduduk tahap berikutnya akan dimulai pada 1 Desember dan akan berlangsung hingga 24 Desember.

Amjad Abu Asab, seorang aktivis Palestina untuk urusan narapidana, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penahanan tersebut merupakan “pesan [dari Israel] pada Biro Pusat Statistik Palestina agar tidak beroperasi di Yerusalem Timur dan sebuah pesan kepada PA bahwa mereka dijadikan sasaran.”

Hamas: Deklarasi Balfour Jembatan Kolonial Isreal ke Palestina

Adnan Gheith, anggota Fatah, juga mengatakan bahwa penangkapan tersebut merupakan bagian dari operasi untuk membatasi kegiatan PA di Yerusalem Timur.

“Sejauh ini, kami tidak memiliki informasi alasan penahanan mereka, namun penjajah Israel berupaya mengekang kehadiran dan aktivitas PLO dan PA di dalam Yerusalem,” katanya kepada Al Jazeera.

“Penjajah Israel bekerja untuk lebih menguasai Masjid al-Aqsha.”

Israel menduduki Yerusalem Timur pada tahun 1967 dan kemudian mencaploknya dengan melanggar hukum internasional.

Warga Palestina mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina. Yerusalem Timur merupakan tempat suci bagi Yahudi, Kristen dan Muslim.

Lebih dari setengah juta pemukim Yahudi tinggal di permukiman ilegal di Tepi Barat dan menjajah Yerusalem Timur.

Israel menganggap pemukiman Yerusalem Timur sebagai lingkungan sekitar seperti di kota lain, namun masyarakat internasional tidak mengakui aneksasi wilayah Palestina dan menolak daerah pemukiman Yahudi di sana dan menyebutnya sebagai pemukiman ilegal.

Dikatakan Negara Teroris oleh AS, Korut Semakin Produktif Kembangkan Senjata Nuklir

PYONGYANG (Jurnalislam.com) – Korea Utara menanggapi dengan sangat geram saat Amerika Serikat mencantumkannya kembali negaranya sebagai pendukung terorisme, dan menilai tindakan AS tersebut sebagai sebuah provokasi serius.

Pyongyang juga mengatakan pada hari Rabu (22/11/2017) bahwa menempatkan Korea Utara kembali pada daftar hitam terorisme hanya akan memperkuat tekadnya untuk lebih mengembangkan program senjata nuklir negara komunis tersebut.

“Tentara dan rakyat kita penuh dengan kemarahan dan kegusaran terhadap gangster kejam yang berani memasukkan nama negara suci kita dalam daftar ‘negara terorisme’ yang menyedihkan ini,” Kantor Berita Pusat Korea yang dikelola negara mengutip seorang juru bicara kementerian luar negeri yang disembunyikan namanya, lansir Aljazeera.

Menteri Pertahanan AS Tegang Lihat Kekuatan Nuklir Korea Utara

Beberapa analis mengatakan langkah pemerintah AS Donald Trump pada hari Selasa (21/11/2017) tersebut tidak mungkin dapat menghalangi Korea Utara dalam mengejar kemampuan nuklir, dan hanya akan mendorong dialog potensial mengenai de-nuklearisasi menjauh lagi.

AS menghapus Korea Utara dari daftar tersebut pada tahun 2008 dalam sebuah langkah untuk mencoba dan mempromosikan dialog mengenai program senjatanya.

Juru bicara kementerian luar negeri mengatakan tindakan AS itu “hanya alat untuk otoritarianisme bergaya Amerika yang dapat dilampirkan atau dihapus setiap saat sesuai dengan kepentingannya.”

“AS akan sepenuhnya menanggung akibat atas segala konsekuensi yang diakibatkan oleh provokasinya yang tidak sopan kepada DPRK,” katanya, dengan menggunakan inisial nama resmi negara, Republik Rakyat Demokratik Korea (the Democratic People’s Republic of Korea-DPRK).

Krisis Korut-AS, Sekjen PBB: Ini Ancaman Bahaya Perang Nuklir

Trump pada hari Selasa mengatakan bahwa Korea Utara tidak hanya mengancam dunia dengan “kerusakan nuklir” namun juga bertanggung jawab karena berulang kali mendukung “tindakan terorisme internasional, termasuk pembunuhan di wilayah asing.”

Ketegangan antara AS dan Korea Utara meningkat sejak Trump mulai menjabat pada bulan Januari. Dia mengancam untuk “menghancurkan Korea Utara” jika mengancam AS atau sekutu-sekutunya.

Pyongyang mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan pencegah nuklir untuk mencegah invasi AS.

Pejabat AS mengatakan Pyongyang dekat dengan pengembangan rudal balistik berujung nuklir yang mampu menyerang AS, dan telah bersumpah bahwa kepemilikan senjata nuklir Korea Utara tidak akan ditolerir.

Oposisi Suriah di Arab Saudi: Hapus Bashar Assad dalam Rancangan Resolusi

RIYADH (Jurnalislam.com) – Kelompok oposisi Suriah yang bertemu di Arab Saudi telah memperbarui permintaan mereka untuk menghapus Bashar al-Assad dalam rancangan resolusi yang diperoleh Al Jazeera, Rabu (22/11/2017).

Kelompok tersebut mengatakan bahwa solusi untuk perang di Suriah hanya dapat dicapai dengan tidak menyertakan Assad pada awal masa transisi – sebuah sikap yang dipertahankan oleh oposisi Suriah sejak awal perang, yang sekarang berada di tahun ketujuh.

“Para peserta sepakat bahwa tujuan penyelesaian politik adalah untuk menetapkan sebuah negara berdasarkan asas kewarganegaraan, yang memungkinkan warga Suriah merancang konstitusi mereka tanpa gangguan dan untuk memilih pemimpin mereka melalui pemilihan yang bebas, adil dan transparan di mana rakyat Suriah berpartisipasi di dalam dan di luar Suriah di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” isi rancangan resolusi tersebut.

KTT 140 anggota aliansi oposisi di Riyadh dimulai pada hari Rabu dan diperkirakan berlangsung selama dua hari.

Tuntutan yang dibuat dalam rancangan resolusi tersebut adalah pengulangan komunike 2012 yang dirumuskan pada putaran pertama perundingan di Jenewa, Swiss.

Perundingan Damai Suriah Mencapai Titik Kritis

Komunike tersebut menetapkan bahwa sebuah badan pemerintahan transisi “dapat mencakup anggota pemerintah yang sekarang bersama oposisi dan kelompok lainnya, dan harus dibentuk atas dasar persetujuan bersama”, namun tidak disebutkan secara spesifik mengenai siapa sebenarnya anggota pemerintahan saat ini yang masih boleh tetap menjabat.

Walaupun pemerintah Suriah mengatakan bahwa mereka akan mematuhi semua resolusi PBB yang mengkonfirmasi perlunya sebuah pemerintahan transisi, namun tampak samar-samar bahwa transisi menjadi titik akhir dalam negosiasi.

Mencapai transisi politik di negara ini telah lama dianggap sebagai bagian paling menantang dari upaya diplomatik yang sedang berlangsung untuk mengakhiri perang yang dimulai pada tahun 2011 setelah sebuah aksi damai menuntut turunnya Assad, di tengah pergerakan yang meluas di dunia Arab.

Pemerintah Suriah menolak upaya pengunduran diri Assad.

Arab Saudi, pendukung oposisi Suriah, mengatakan bahwa tujuan konferensi “yang diperluas” adalah untuk menyatukan kelompok-kelompok menjelang perundingan putaran berikutnya di Jenewa pada tanggal 28 November.

High Negotiations Committe (HNC), blok oposisi terbesar, dengan jelas menolak Assad, sedangkan kelompok oposisi lainnya memiliki sikap yang lebih lembut.

Karena perbedaan antara kelompok tersebut, mereka sebelumnya menolak masuk ke dalam negosiasi sebagai satu kesatuan.

Namun menurut rancangan resolusi tersebut, “para peserta sepakat untuk membentuk delegasi negosiasi tunggal dalam strukturnya, bersatu dalam posisi dan rujukannya, dengan tujuan untuk bernegosiasi dengan perwakilan rezim …”

Kepala HNC selama dua tahun terakhir, Riyad Hijab, mengundurkan diri pada hari Senin menjelang pertemuan Riyadh.

Analis politik yang dekat dengan oposisi Suriah mengatakan kepada Al Jazeera bahwa langkah Hijab didorong oleh usaha untuk menyatukan oposisi meskipun ada perselisihan yang mencolok antara mereka dalam perjalanan ke depan.

Perundingan Damai Suriah Mencapai Titik Kritis

ANKARA (Jurnalislam.com) – Upaya diplomatik untuk menemukan solusi politik terhadap perang global tujuh tahun di Suriah telah mencapai titik kritis.

Kegagalan pembicaraan Jenewa baru-baru ini telah mencapai puncaknya, Turki, Rusia dan Iran tetap akan menggelar perundingan yang berlangsung di kota pesisir Sochi, Rusia, Rabu (22/11/2017).

Meski terjadi pelanggaran oleh rezim Nushairiyah Bashar al-Assad, gencatan senjata yang mulai berlaku Desember lalu atas inisiatif Turki dan Rusia, dan dimulai sejak proses Astana, Kazakhstan, tetap membuka jalan bagi perundingan baru di Jenewa, Swiss.

Perwakilan rezim Assad dan oposisi telah empat kali bertemu dengan banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Turki, Rusia, dan Iran di Jenewa tahun ini.

Meskipun proses Astana sebagian besar terkendali namun di sejumlah tempat diserang oleh rezim Syiah Assad dan milisi Syiah Internasional yang didukung Iran, membuat perundingan Jenewa tetap tidak meyakinkan.

Para pihak di Jenewa diperkirakan akan mengadakan pertemuan kedelapan mereka pada 28 November. Menurut sumber dari PBB, mereka berencana untuk fokus pada penyusunan konstitusi dan memerangi kelompok bersenjata Anti-Assad.

Turki, Rusia dan Iran Bahas Perdamaian di Sochi, Rezim Assad Bombardir Zona de Eskalasi

Namun oposisi Suriah menuding operasi militer rezim di wilayah Ghouta Timur, di sebelah timur ibukota Damaskus sebagai pelanggaran.

Oposisi Suriah mengkritik AS dan negara-negara Barat lainnya karena tidak berbuat lebih banyak untuk mengakhiri perang di wilayah tersebut.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pendukung oposisi dan Rusia Vladimir Putin dan rekannya dari Iran Hassan Rouhani pendukung rezim Assad, akan membahas Suriah pada pertemuan puncak trilateral hari Rabu.

Para menteri luar negeri dan komite teknis dari ketiga negara penjamin proses Astana pekan lalu menyelesaikan persiapan awal mereka untuk KTT di provinsi Mediterania Antalya, Turki.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menekankan tidak dapat menerima jika mengundang organisasi teroris PKK / PYD ke Kongres Rakyat Suriah seperti yang direncanakan Rusia.

PYD dan sayap militer YPG adalah cabang PKK Suriah, yang telah berperang melawan Turki selama lebih dari 30 tahun.

Sejak PKK meluncurkan operasi teror di Turki pada tahun 1984, puluhan ribu orang telah terbunuh.

AS dan koalisi sebagian besar mengabaikan hubungan PYD / PYG dengan PKK, yang oleh EU, dan Turki dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.

Menurut informasi yang diterima oleh Anadolu Agency dari pihak-pihak yang akan menghadiri pertemuan di Sochi, sebuah deklarasi bersama diperkirakan akan dirilis dalam KTT.

Perundingan Astana: Oposisi Suriah Tolak Seruan Rusia untuk Kongres di Laut Hitam

KTT tersebut akan fokus pada persiapan untuk pertemuan berikutnya, yang diperkirakan akan berlangsung pada 3 Desember, dan Rusia telah mengubah namanya dari Kongres Rakyat Suriah menjadi Kongres Dialog Nasional Suriah atas permintaan rezim Assad.

Jika kondisi Turki tidak terkait dengan keterlibatan PKK / PYD, akan lebih mudah bagi Ankara untuk mendukung Kongres Dialog Nasional Suriah, sebuah lanjutan dari periode Astana.

Dukungan Ankara untuk Kongres Dialog Nasional Suriah hanya akan mungkin dilakukan jika profil peserta terdiri dari kelompok oposisi yang mendukung kesatuan dan integritas Suriah.

Iran, seperti juga Turki, percaya bahwa ketiga negara penjamin harus menentukan peserta kongres secara bersama-sama.

Kongres tersebut kemungkinan juga bertepatan dengan hari-hari terakhir perundingan yang dijadwalkan dimulai di Jenewa pada 28 November.

Oposisi, yang berusaha untuk bergabung dalam perundingan internasional sebagai satu kesatuan, mencapai aliansi yang luas di Riyadh pada Februari lalu dan membentuk Komite Negosiasi Tinggi.

Inilah Pernyataan Sikap Hayat Tahrir Sham atas Kesepakatan Astana

Komite Negosiasi Tinggi berpartisipasi dalam perundingan tersebut sebagai perwakilan sah oposisi setelah mendapatkan dukungan dari kelompok oposisi militer.

Akhirnya, sebuah pertemuan di ibukota Saudi Riyadh direncanakan pada 22-24 November bagi anggota Koalisi Nasional untuk Pasukan Perlawanan dan Oposisi Suriah, bersama dengan kelompok-kelompok yang dikenal sebagai platform Kairo dan Moskow, beberapa kelompok oposisi militer, dan juga beberapa tokoh independen.

Tapi setelah pengunduran diri Riyad Hijab, ketua Komite Negosiasi Tinggi, pertemuan tersebut ditunda.

Sumber oposisi percaya bahwa Hijab mengundurkan diri karena tekanan Saudi/Uni Emirat Arab.

Selama negosiasi menteri luar negeri negara penjamin di Antalya pada hari Ahad, pejabat Saudi di Riyadh bertemu dengan utusan khusus Presiden Rusia Vladimir Putin untuk Suriah, Alexander Lavrentiev.

Hasil Investigasi Amnesty Internasional: Begini Apartheid di Rakhine, Rohingya

MYANMAR (Jurnalislam.com) – Sebuah laporan terobosan baru oleh Amnesty International, Selasa (21/11/2017), menggambarkan situasi Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine sebagai salah satu “apartheid”.

Laporan tersebut, yang berjudul “Dikurung tanpa atap: Apartheid di Negara Rakhine Myanmar”, membatasi dua tahun penelitian ekstensif dan investigasi mengenai status hukum dan kondisi minoritas Muslim Rohingya.

“Mereka hidup di bawah sistem penindasan yang ditegakkan melalui jaringan hukum, kebijakan dan tindakan yang rumit, yang diberlakukan oleh pejabat negara Myanmar di semua tingkat – kota, distrik, negara bagian dan nasional,” kata Laura Heigh, peneliti Myanmar Amnesty International.

Olof Blomqvist, juru bicara Amnesty International, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa laporan tersebut memasukkan konteks apa yang telah terjadi pada warga Muslim Rohingya dalam beberapa bulan terakhir.

“Kami telah mendokumentasikan pelanggaran berat kemanusian dan cerita mengerikan yang dilakukan oleh militer Myanmar dalam beberapa bulan terakhir,” katanya, “tapi yang tidak diketahui secara luas adalah bahwa ini tidak terjadi dalam ruang hampa.”

Kebijakan diskriminatif tersebut, menurut laporan itu, dilembagakan oleh “rezim pelaku penindasan sistematis dan dominasi kelompok rasial” sejak tahun 1982, ketika pihak berwenang menolak kewarganegaraan Muslim Rohingya dan hak-hak yang terkait dengannya.

Inilah Hasil Penyidikan Kekerasan Seksual atas Muslimah Rohingya oleh Pasukan Myanmar

Pemerintah Myanmar telah mengeluarkan Rohingya dari daftar 135 kelompok etnis yang diakui.

Salah satu praktik apartheid utama adalah pembatasan keras terhadap kebebasan bergerak.

Di seberang Negara Bagian Rakhine, Rohingya berada di bawah aturan penguncian di rumah mereka setiap malam, dan menghadapi risiko penangkapan dan memerlukan izin perjalanan khusus untuk berpindah dari satu kota ke kota lain.

Laporan tersebut juga merinci pengecualian sosial dan politik sistematis komunitas Muslim. Di bagian utara negara, pertemuan lebih dari empat orang di satu tempat dilarang, hingga menghalangi hak Rohingya untuk beribadah dan untuk secara politis menganjurkan hak mereka.

Akses kesehatan juga dibatasi, dan rumah sakit utama di ibukota Sittwe telah memisahkan bangsal untuk Rohingya.

“Kami tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan dan pendidikan, dan kami dibatasi dalam melakukan perjalanan,” kata seorang warga Rohingya yang diwawancarai oleh kelompok hak asasi manusia. “Kami tidak bisa pergi ke mana-mana di jalan karena ada pos pemeriksaan di sepanjang jalan. Kami berjuang untuk bertahan hidup, anak-anak kita berjuang untuk masa depan mereka”

“Membongkar sistem apartheid ini sangat penting untuk memastikan kembalinya ribuan warga Rohingya yang telah mengungsi menghindari kematian, perusakan dan kemiskinan di Myanmar, sekaligus juga ratusan ribu orang yang terus tinggal di Negara Bagian Rakhine dan yang tetap tunduk pada rezim yang mengerikan ini,” kata Amnesty International.

Amnesty: Militer dan Gerombolan Preman Budha Myanmar Jalankan Kebijakan Bumi Hangus (data satelit)

Laporan tersebut mendesak pihak berwenang Myanmar untuk “segera mengadopsi sebuah rencana tindakan komprehensif untuk memerangi diskriminasi dan pemisahan”. Laporan ini juga menyerukan inisiatif pemerintah untuk membongkar sistem apartheid dan untuk menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia.

“Kami berharap dengan mendokumentasikan ini masyarakat internasional dan Myanmar akan terbangun dan menyadari bahwa ini bukan solusi jangka pendek untuk kekerasan dalam beberapa bulan terakhir tapi tentang penanganan apartheid yang disponsori negara,” kata Blomqvist.

Sejak Agustus, militer Myanmar telah mengusir sekitar 600.000 Rohingya dari Negara Bagian Rakhine ke negara tetangga Bangladesh. Pihak militer menuduh bahwa mereka melakukan tindakan keras terhadap Rohingya setelah pangkalan militer mereka diserang.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dikritik karena hanya diam menghadapi kekejaman tentaranya terhadap warga Muslim Rohingya.

Aktivis Rohingya melaporkan San Suu Kyi telah “menolak keberadaan mereka” karena dia gagal mengkritik operasi militer yang oleh kepala hak asasi manusia PBB disebut “kasus utama pembantaian etnis”.

“Aung San Suu Kyi hari ini menunjukkan bahwa dia dan pemerintahnya masih mengubur kepala mereka di pasir menghadapi kengerian yang terjadi di Negara Bagian Rakhine,” kata Amnesty.

Sekitar satu juta warga Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak aksi brutal militer Budha Myanmar pertama di tahun 1977.

Turki, Rusia dan Iran Bahas Perdamaian di Sochi, Rezim Assad Bombardir Zona de Eskalasi

SOCHI (Jurnalislam.com) – Kepala Angkatan Darat Turki, Iran dan Rusia membahas masalah regional di kota pesisir Rusia Sochi pada hari Selasa (21/11/2017), menurut Staf Umum Turki.

Kepala Staf Umum Turki Jenderal Hulusi Akar bertemu rekan-rekannya dari Rusia dan Iran untuk membahas masalah keamanan, kerja sama dalam memerangi kelompok bersenjata serta pengurangan kekerasan di wilayah Suriah dan de-eskalasi, yang didirikan setelah perundingan Astana, kata pernyataan itu, Anadolu Agency melaporkan.

Pertemuan tersebut terjadi saat pasukan rezim Suriah mengintensifkan serangan udara mereka di Ghouta timur, sebelah timur Damaskus, meskipun telah ditunjuk sebagai zona de-eskalasi.

Ghouta Timur berada dalam jaringan zona de-eskalasi. Zona de-eskalasi didirikan di Suriah oleh Turki, Rusia dan Iran, dimana tindakan agresi dilarang secara eksplisit. Pasukan rezim telah berulang kali menyerang distrik tersebut pekan ini, menyebabkan puluhan warga sipil tewas atau terluka.

61 Warga Tewas di Zona Eskalasi oleh Serangan Udara Assad, HTS: Tidak Ada Solusi Selain Perang

Pertemuan dengan Kepala Staf Umum Rusia Jenderal Valery Gerasimov dan Mayor Jenderal Iran Mohammad Bagheri hadir menjelang pertemuan puncak trilateral hari Rabu di Suriah dengan partisipasi Recep Tayyip Erdogan dari Turki, Vladimir Putin dari Rusia dan Presiden Iran Hassan Rouhani.

“Para pihak sepakat untuk meningkatkan koordinasi di zona de-eskalasi di Idlib, dan benar-benar menghilangkan anggota organisasi IS dan Al-Nusra yang tersisa di Suriah,” demikian sebuah pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Rusia yang dikeluarkan pada hari Selasa.

Pada hari Rabu, presiden tiga negara penjamin diharapkan akan membahas kemajuan dalam mengurangi kekerasan di wilayah Suriah dan de-eskalasi.

Turki dan Rusia, bersama dengan Iran, adalah negara penjamin yang bertindak sebagai perantara gencatan senjata di Suriah pada bulan Desember 2016, yang menghasilkan perundingan Astana. Perundingan Astana berjalan paralel dengan diskusi yang didukung oleh PBB di Jenewa demi menemukan solusi politik untuk perang di Suriah.

Laporan Terbaru: Kelompok Islamic State di Irak Telah Berakhir

BAGHDAD (Jurnalislam.com) – Kehadiran kelompok Islamic State (IS) di Irak secara “militer” telah berakhir dan semua kota sudah direbut kembali, perdana menteri Irak mengatakan pada hari Selasa (21/11/2017).

Berbicara di sebuah briefing berita pekanan di Baghdad, Haider al-Abadi mengatakan bahwa kehadiran IS di daerah gurun di sebelah barat kota Anbar akan segera berakhir.

“Kemudian, ini akan menjadi kemenangan penuh,” kata al-Abadi menambahkan bahwa hari ini akan dinyatakan sebagai “hari nasional” di Irak, lansir Anadolu Agency.

Irak: Milisi IS Sogok Pasukan Peshmerga untuk Bisa Kabur dari Hawija

Mengenai keputusan Mahkamah Agung pada hari Senin yang mengumumkan bahwa referendum bulan September tentang pemisahan wilayah Kurdi Irak utara “tidak konstitusional”, al-Abadi memperingatkan warga Kurdi untuk menghindari konflik.

“Saya memperingatkan warga Kurdi kita untuk menghindari segala jenis konflik dan meminta mereka untuk mematuhi undang-undang tersebut,” Al-Abadi mengatakan sambil menekankan perlunya keamanan dan menambahkan bahwa pemerintah pusat Irak akan membayar gaji pegawai negeri sipil setelah penyelidikan yang diperlukan.

Semakin Terjepit di Markas Terakhir di Anbar, Pasukan Irak Desak IS Menyerah

IS baru-baru ini mengalami serangkaian kekalahan total di Irak dan Suriah setelah sebelumnya menguasai sejumlah luas wilayah di kedua negara pada pertengahan 2014.

Pada 17 November, Menteri Dalam Negeri Qasim al-Araji menyatakan bahwa kehadiran kelompok IS di Irak telah berakhir secara efektif menyusul “pembebasan” kota Rawa di provinsi Anbar barat.

Jelang Konferensi di Arab, Ketua Oposisi Utama Anti Assad Undur Diri dari HNC

SURIAH (Jurnalislam.com) – Riyad Hijab, kepala blok oposisi utama Suriah, mengundurkan diri menjelang sebuah konferensi yang dijadwalkan di Arab Saudi yang bertujuan untuk “mempersatukan” berbagai kelompok yang menentang rezim Syiah Suriah Bashar al-Assad.

Hijab adalah mantan perdana menteri di bawah Assad yang membelot setelah pergerakan tahun 2011, dan telah menjadi tokoh Komite Negosiasi Tinggi (High Negotiations Committee-HNC) yang didukung Saudi sejak Desember 2015.

Dia mengumumkan keputusannya untuk mundur pada hari Senin (20/11/2017), tanpa menjelaskan alasan kepindahannya.

“Setelah hampir dua tahun bekerja keras untuk melestarikan prinsip mulia revolusi Suriah […] saya menemukan diri saya dipaksa untuk mengumumkan pengunduran diri saya dari HNC, sambil berharap semoga sukses, dan menginginkan kedamaian dan keamanan bagi negara saya tercinta, Suriah,” kata Hijab dalam sebuah pernyataan yang diposkan di media sosial.

Perundingan Astana: Oposisi Suriah Tolak Seruan Rusia untuk Kongres di Laut Hitam

Pengunduran dirinya terjadi dua hari sebelum sebuah konferensi oposisi Suriah di ibukota Saudi, Riyadh, dan diumumkan dalam sebuah pernyataan di Badan Pers Saudi (Saudi Press Agency-SPA).

Riyad Hijab
Riyad Hijab

Tujuan pertemuan tersebut, menurut SPA, adalah untuk “membawa platform dan faksi-faksi oposisi Suriah menjadi lebih dekat” satu sama lain, dan untuk “menyatukan delegasi oposisi” dalam putaran perundingan berikutnya yang disponsori PBB di Jenewa.

Perpecahan di dalam oposisi telah lama menjadi perdebatan. Staffan de Mistura, utusan PBB untuk Suriah, sebelumnya bersikeras bahwa kelompok tersebut harus bersatu dalam negosiasi dengan pemerintah Suriah.

Meskipun pernyataan SPA tidak menentukan kelompok oposisi mana yang akan ambil bagian dalam perundingan tersebut, perpecahan utama di dalam oposisi adalah antara HNC dan dua kelompok lain, yang berplatform Moskow dan Kairo.

Kelompok Moskow dan Kairo memiliki hubungan dekat dengan Rusia dan ditoleransi oleh pemerintah Assad karena sikap mereka yang lebih lembut terhadapnya.

Posisi mereka dalam perang di Suriah membuat mereka sangat berbeda dari HNC, yang menyerukan mundurnya Assad sebagai dasar penyelesaian konflik.

Meskipun tidak jelas apakah pengunduran diri oleh Hijab dikaitkan dengan konferensi yang direncanakan oleh Arab Saudi, Omar Kouch, seorang analis Suriah yang memiliki hubungan dekat dengan oposisi, berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah “penolakan terhadap apa yang akan terjadi di Riyadh dan pemindahtanganan HNC.”

Inilah Pernyataan Sikap Hayat Tahrir Sham atas Kesepakatan Astana

“Mereka menegakkan agenda internasional – khususnya Rusia – bagi oposisi, jadi bagaimana mereka bisa menerima ini?” Kouch mengatakan kepada Al Jazeera dari kota Istanbul di Turki.

“Mereka mencoba menciptakan sebuah platform oposisi baru dengan menambahkan kelompok Moskow dan Kairo – Hijab seharusnya mengundurkan diri sepekan yang lalu saat pertemuan tersebut diumumkan,” tambahnya.

Sejak masuk ke dalam perang Suriah di sisi Assad pada bulan September 2015, Rusia secara bersamaan mendominasi di arena diplomatik dan mengarahkan negosiasi untuk menemukan solusi atas konflik tersebut.

Seiring dengan Iran, yang juga mendukung Assad, dan Turki, pendukung oposisi, pihak Rusia telah memimpin pembicaraan di Kazakhstan sejak akhir tahun lalu.

Cape-cape ke Arab Gelar Pertemuan Oposisi Suriah, Akhirnya Ditolak Moskow

Kouch percaya bahwa setelah perang Suriah usai, dengan bantuan Rusia dan Iran, masyarakat internasional dibuat untuk berusaha memaksa oposisi agar menerima sebuah kesepakatan tanpa mundurnya Assad atau masa transisi.

Sejak dimulainya perang pada tahun 2011, rezim Suriah secara sistematis menolak untuk mendukung setiap proses transisi yang berakhir dengan mundurnya Assad, sementara bagi oposisi, mundurnya Assad tetap menjadi satu-satunya syarat untuk perdamaian.