Berita Terkini

Pegadaian dan MUI Percepat Pengembangan Ekonomi Syariah

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Potensi ekonomi syariah dinilai masih sangat besar untuk bisa dimanfaatkan, termasuk oleh pemain di industri gadai. Oleh karena itu, PT Pegadaian makin gencar mensosialisasikan soal ekonomi syariah ini.

Direktur Utama Pegadaian Sunarso menilai pengembangan ekonomi dan keuangan syariah perlu disegerakan. Pasalnya, produk keuangan syariah secara nyata dapat meningkatkan kesejahteraan, tidak hanya umat muslim, tetapi juga seluruh kalangan masyarakat.

Pengembangan produk keuangan syariah dan tren industri halal di beberapa kota pun mampu menggerakkan roda ekonomi, meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja, termasuk memberdayakan UMKM. Sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Untuk itu Pegadaian segera mengkonversi beberapa outletnya menjadi syariah untuk menjawab kebutuhan masyatakat, utamanya di Jawa Timur,” kata Sunarso dalam keterangan tertulis, Minggu (1/7/2018).

Untuk meningkatkan sosialisasi ini, Pegadaian bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI) menggelar Halaqah Pengasuh Pesantren dengan menggandeng Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia (MP3i) yang mengambil tema “Urgensi Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Ekonomi Ummat” di Jombang, Jawa Timur.

Menurut Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, pengembangan ekonomi syariah itu dapat mendorong percepatan pengembangan sektor keuangan syariah. Selama ini, pemerintah dan stakeholder lebih fokus mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah, tetapi pemberdayaan ekonomi syariah belum banyak disentuh.

Karena itu pihaknya terus bekerja sama dengan berbagai pihak supaya masyarakat makin paham dengan keberadaan produk-produk syariah, yang bisa dijadikan sumber pembiayaan, menggantikan pembiayaan konvensional dan pemberdayaan ekonomi umat.

“Sebagai negara dengan mayoritas muslim, kondisi Indonesia sangat ketinggalan dalam penyerapan dana dari keuangan syariah. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat meningkat lebih besar lagi,” kata Kyai Ma’ruf. (kontan.co.id)

Ulama dan Tokoh Soloraya Deklarasikan Relawan #2019GantiPresiden

SOLO (Jurnalislam.com) – Sejumlah Tokoh dan ulama se-Soloraya mendeklarasikan relawan #2019GantiPresiden dalam acara ‘Silaturahmi dan Sarasehan Takmir Masjid dan Taklim Ummahat se-Soloraya’ di Gedung Ar-Rahman Pajang, Solo, Ahad, (1/7/2018) malam.

Dalam deklarasi yang dihadiri sekitar ribuan umat Islam itu juga nampak hadir para inisiator gerakan #2019GantiPresiden yakni Mardani Ali Sera, Neno Warisman dan pencipta lagu #2019GantiPresiden John Sang Alang.

“Kami umat Islam Surakarta disertai tim relawan Jakarta mendeklarasikan diri sebagai relawan untuk menyukseskan tahun 2019 Ganti Presiden Yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, menempatkan syariat Islam, mengantarkan Indonesia sebagai negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr,” kata Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Dr. Muinudinillah Basri yang diikuti para peserta.

Sementara itu, Mardani Ali Sera mengatakan, selain di Solo pihaknya juga akan mendeklarasikan relawan #2019GantiPresiden di beberapa kota lainnya.

“Nanti 22 Juli di Sumatera utara, 28 Juli di Sukabumi dan nanti terus muter, insya Allah,” kata Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kepada Jurnalislam.com

Selain deklarasi, relawan #2019GantiPresiden, dalam kegiatan itu juga disampaikan imbauan untuk menjadikan menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan umat dan bangsa Indonesia.

Berkaos #2019GantiPresiden, Ribuan Warga Solo Ikuti Jalan Sehat

SOLO (Jurnalislam.com) – Ribuan masyarakat Soloraya mengiktui jalan sehat dengan mengenakan kaos bertulislan #2019GantiPresiden di Kotabarat, Solo, Ahad (1/7/2018) pagi.

Acara bertajuk Merajut Ukhuwah, Menyongsong Kepemimpinan Ummat ini diinsiasi Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) bersama elemen masyarakat Soloraya lainnya. Hadir dalam acara tersebut relawan Neno Warisman dan penyanyi dan pencipta lagu #2019GantiPresiden, Sang Alang.

Dalam sambutannya, Neno Warisman menegaskan gerakan #2019GantiPresiden bukan gerakan politik akan tetapi gerakan sosial untuk mendorong masyarakat lebih mencintai negeri ini.

“Masyarakat harus mengerti akan negeri ini, masyarakat harus tahu, dia harus memilih pemimpin yang mencintai negeri, yang mau melakukan hal yang terbaik, dan solusinya adalah ganti presiden 2019,” tegasnya di hadapan ribuan peserta Jalan Sehat.

Sementara, Humas DSKS Endro Sudarsono mengatakan gerakan #2019GantiPresiden ini murni gerakan moral untuk mengedukasi masyarakat tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini.

“Di 2019 kami mencoba mengedukasi masyarakat dengan adanya gerakan ganti presiden dengan sebuah alasan bahwa masyarakat kecewa terhadap situasi saat ini atas kondisi masyarakat baik ekomomi, keadilan, dan stabilitas negara. Makanya kami menginginkan ganti presiden lebih baik,” ungkapnya.

Acara ditutup dengan deklarasi Relawan Nasional 2019 Ganti Presiden. Para relawan ini akan mengawal berjalannya proses pergantian presiden secara konstitusional pada tahun 2019 nanti.

Reporter: Ridho Asfari

DSKS Desak Kapolri Cabut SP3 Sukmawati

SOLO (Jurnalislam.com) – Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Dr. Muinudinillah Basri mendesak Presiden dan Kapolri untuk melanjutkan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Sukmawati Soekarnoputri. Jika kasus tersebut dihentikan, ia khawatir penistaan terhadap agama Islam akan terus terulang.

“Dikhawatirkan kasus penistaan agama semakin meningkat jika kasus seperti ini tidak diproses,” kata Ustaz Muin kepada Jurnalislam.com, Ahad (1/7/2018)

Ustaz Muin menilai, kasus penistaan agama yang dilakukan Soekmawati dalam puisinya merupakan kasus yang serius. Terbukti sudah 30 ormas telah melaporkan Soekmawati.

“Untuk itu DSKS mendesak presiden dan Kapolri untuk tidak pandang bulu dalam proses hukum Sukmawati Soekarno Putri,Jelasnya kepada Jurnalislam pada Ju’mat,(22/6/2018) di Solo.

DSKS menegaskan, akan melakukan praperadilan jika kasus Sukmawati dihentikan. “Jika ternyata SP3 Sukmawati Soekarno putri tidak di cabut maka DSKS akan pertimbangkan langkah praperadilan,” tegasnya.

Kasus dugaan penistaan agama oleh putri proklamator Indonesia itu dihentikan 17 Juni lalu. Melalui Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal, polisi beralasan tidak menemukan perbuatan pidana dari puisi Sukmawati.

Kasus ini berawal saat Sukmawati membacakan puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ karyanya sendiri, di ajang Indonesia Fashion Week 2018 di JCC. Puisi yang di dalamnya menyinggung tentang azan dan cadar dipersoalkan hingga berujung laporan polisi.

Reporter: Ridho Asfari

Sepakbola, Politik, dan Sujud Sukur

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Penikmat Sepakbola

JURNALISLAM.COM – Segera setelah mencetak gol, ia menyilangkan kedua tangan dengan kedua ibu jari saling mengunci. Keduanya seolah membentuk simbol elang berkepala ganda, elang pada bendera Albania. (Agung Putranto Wibowo: 2018) Selebrasi kemenangan Swiss atas Serbia dalam perhelatan Piala Dunia di Rusia tersebut berbuntut panjang. Pemain Swiss, Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka dianggap menyeret politik ke dalam sepakbola.

Menanggapi aksi kedua pemainnya, pelatih Swiss, Vladimir Petkovic berkata, ” “Kamu tidak seharusnya mencampur politik dengan sepakbola. Kamu seharusnya selalu memperlihatkan rasa hormat. Atmosfer pertandingan tadi sungguh luar biasa dan jadi pengalaman positif. Sepakbola memang seharusnya seperti itu,” seperti dikutip Pandit Football dari ESPN.

Namun benarkah sepakbola tak bisa dicampurkan dengan politik? Meski terkesan idealis, nyatanya sepakbola sejak lama telah bercampur baur dengan politik. Belum hilang dari ingatan kita ketika para suporter Al-Ahli terlibat kericuhan di Stadion Port Said pada 1 Februari 2012. Pada akhir pertandingan Al-Masry melawan Al-Ahli, suporter Al-Ahli kemudian dipersekusi. Orang-orang membawa pisau di stadion, memburu para suporter Al-Ahli. Alhasil puluhan supoter Al-Ahli tewas.

Kericuhan ini bukan kericuhan biasa, di balik insiden tersebut tersimpan bara politik. Para pendukung Hosni Mubarak dituding menjadi dalang pembantaian tersebut. Penyebabnya karena para ultras Al-Ahli menjadi pasukan terdepan penyokong kuat demonstrasi terhadap Hosni Mobarak, khususnya di Tahrir Square. Para ultras Al-Ahli menjadi garda terdepan dalam demonstrasi tersebut.

Suporter klub sepakbola Al-Ahly, penentang utama mantan presiden Mesir, Hosni Mubarak.

Suporter Al-Ahli menurut Dag Tuastad dalam From Football Riot to Revolution. The Political Role of Football in The Arab World,sudah lama dikenal sebagai pendukung berbasis kaum marjinal secara ekonomi. Mereka adalah para penentang rezim Hosni Mubarak. (Dag Tuastad : 2013)

Bukan hanya sekali itu para suporter Al-Ahli terlibat aksi politik. Pada 2009, ketika berhadapan dengan Zamalek, suporter Al-Ahli membawa spanduk dukungan untuk Palestina. Pemain bintang Al-Ahli, Mohammad Aboutrika, membuka seragamnya dan menunjukkan kaosnya yang bersmpati pada Gaza. Pesan tersebut ditunjukkan pada siaran langsung pertandingan. (Dag Tuastad : 2013) Menyampaikan pesan-pesan politis dalam rezim diktator Hosni Mobarak kala itu menjadi sangat berbahaya.

Bukan hanya suporter atau pemain yang melibatkan sepakbola ke pusaran politik. Tetapi bisa jadi lebih keji jika para penguasa menyeret-nyeret sepak bola tanpa ampun ke pusaran politik. Di rezim komunis Soviet, sepakbola amat melekat dengan politik. Bagi rezim komunis, olahraga adalah latihan pra-militer untuk meraih kebugaran nasional yang relatif tinggi dan faktor pertahanan. Klub sepak bola CSKA Moskow adalah klub tertua yang menjadi tim resmi tentara merah Soviet. Sedangkan Dinamo Moscow muncul dari bagian kementerian dalam negeri dan dinas rahasia yang terkenal kejam, Cheka. (Deepti Patwardhan: 2018)

Bagi diktator komunis macam Stalin sepak bola tak terlalu menarik baginya. Namun ketika dalam Piala Dunia 1952 Soviet kalah 2-5 dari Yugoslavia, hal ini mencoreng muka Stalin, membuatnya murka dan membubarkan CSKA Moscow. Bukan apa-apa, Josep Broz Tito, pemimpin Yugoslavia, di mata Stalin adalah pengkhianat komunisme. Kekalahan ini pasti membuatnya malu. (Deepti Patwardhan: 2018)

Joseph Stalin bersama pemain Dynamo Kyiv

Rezim komunis Soviet juga memakai sepakbola sebagai jalan untuk berdiplomasi dengan Jerman Barat. Pertandingan persahabatan Soviet melawan Jerman Barat digelar. Pertandingan di Jerman Barat tersebut ditonton oleh 80 ribu orang menjadi pembuka jalan diplomasi politik yang berujung pembebasan sepuluh ribu tahanan Jerman. (Deepti Patwardhan: 2018)

Di Italia, rezim fasis menunggangi sepak bola tanpa ampun. Benito Mussolini memaksa klub memakai nama lokal meninggalkan nama-nama berbau asing. Football Club Internazionale Milano atau yang sekarang dikenal dengan nama Inter Milan, diganti namanya dengan Ambrosiana. Kata ‘internazionale’ disingkirkan karena berbau kiri. Asal tahu saja, Inter Milan muncul dari rahim AC Milan, setelah mereka menolak kebijakan yang memaksa hanya memakai pemain Italia saja. (Christos Kassimeris: 2011)

Tim Nasional Italia tak luput diaduk-aduk oleh rezim fasis. Menurut Christos Kassimeris dalam Fascism, Separatism and The Ultras: Discrimination in Italian Football (2011) Pada Piala Dunia 1938, rezim fasis Mussolini mengeluarkan poster tim nasional Italia dengan figur Hercules melakukan salut ala fasis dengan bola di kakinya. Mussolini memang menggemari sepakbola. Pertandingan persahabatan dijadikan alat propaganda ekspansi fasisme. Hal itu dilakukan dengan bertanding di wilayah-wilayah bekas kerajaan Austria-Hongaria yang menjadi ketertarikan geopolitik rezim fasis italia. Mereka Sehari sebelum bertanding di Piala Dunia, tim nasional Italia diberi pesan oleh Mussolini: “Menang atau Mati.” (Christos Kassimeris: 2011)

Saat berhadapan dengan Perancis di perempat final Piala Dunia 1938, para pemain Italia melakukan salam ala fasis sebelum bertanding. Seragam yang mereka kenakan pun warna hitam, Maglia nera, warna kebesaran rezim. Seragam hitam adalah pertama dan terakhir kalinya mereka kenakan. Aksi pemain italia ini disambut dengan caci maki penonton. (Evans Edgar Simon: 2018) Wajar, karena Perancis adalah negara pelarian para penolak fasisme di Italia. Meski demikian Mussolini pasti tersenyum puas. Italia menang melawan Perancis dan terus melaju hingga menjadi juara.

Pemain Timnas Italia melakukan salam fasis dalam pertandingan Piala Dunia 1938 melawan Perancis.

Ketika pada 13 Mei 1990, Yugoslavia diambang perpecahan, karena Slovenia dan Kroasia yang hendak memerdekakan diri, satu pertandingan sepak bola digelar di Zagreb, Yugoslavia (kemudian Kroasia). Dynamo Zagreb melawan Red Star Belgrade. Dynamo mewakili etnik kroasia, dan Red Star mewakili etnis serbia. Suasana sudah panas di dalam dan di luar stadion. Di dalam para suporter Red Star sudah menyanyikan lagu-lagu kebangsaan seraya mengejek suporter Dynamo Zagreb. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000)

Kerusuhan akhirnya tercipta. Pertandingan dibatalkan dan polisi memasuki lapangan. Satu momen penting terjadi ketika Kapten Dynamo Zagreb, Zvonimir Boban menendang dan memukul polisi karena dianggap tidak melindungi Bad Blue Boys, suporter Dynamo. Sejak itu Boban, yang nantinya menjadi bintang AC Milan, dianggap pahlawan Kroasia. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000)

Pihak serbia menuding Bad Blue Boys sengaja menciptakan kerusuhan dan terkait dengan organisasi paramiliter. Di pihak Serbia, satu hal yang pasti, saat pertandingan berlangsung, di samping pelatih Red Star, terdapat Zeljko Raznatovic alias Arkan. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000) Arkan adalah seorang pemimpin paramiliter brutal saat perang Serbia – Kroasia, membantai muslim Bosnia dan Kosovo. Ia di dakwa melakukan kejahatan kemanusiaan kepada Muslim Bosnia oleh International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia.

Sepakbola yang membakar nasionalisme atau nasionalisme yang membakar sepakbola? Sulit dijawab. Satu hal yang pasti, sepakbola mampu menyatukan berbagai identitas. Tetapi di bawah bendera nasionalisme pula, ia mampu menyekat-nyekat manusia. Nasionalisme adalah garis pembatas diantara kami dan mereka. Lagu-lagu kebangsaan, seragam tim, satu kumpulan manusia dengan latar belakang yang sama mampu membakar semangat identitas tertentu.

Ørnuff Seippel dalam Sports and Nationalism in a Globalized World (2017) menyebutkan bahwa olahraga (termasuk sepakbola) menjadi simbol sentral untuk nasionalisme masyarakat modern, dengan memproduksi dan mungkin yang paling penting, mengaktifkan kisah tentang siapa kita sebagai satu anggota dari sebuah negara. Kebanggaan nasional yang dihasilkan dari olah raga adalah satu cara untuk mengonseptualisasikan proses tersebut.

Batas-batas negara bangsa yang mulai cair oleh globalisasi dan “mendatarnya dunia” bisa jadi tumbuh kembali lewat “nasionalisme” sepakbola. Hal ini bisa terlihat misalnya di Eropa. Bangkitnya kaum sayap kanan juga hadir lewat nasionalisme-rasialisme dan Islamophobia di sepakbola. Menariknya di tengah maraknya rasialisme dan Islamophobia di Eropa muncul pemain-pemain muslim di klub-klub Eropa.

Yaya Toure, Sadio Mane, dan khususnya Mohammad Salah menjadi pemain-pemain Muslim yang bukan saja bermain apik tetapi juga menonjolkan identitasnya sebagai Muslim. Selebrasi sujud syukur di tengah liga Eropa yang dihinggapi islamophobia menjadi satu “aksi” yang menonjol dan menarik. “Pertunjukan di muka publik akan sebuah keyakinan agama dari seorang bintang sepak bola kelahiran Mesir ini bukanlah hal kecil di Inggris, di mana kebijakan imigrasi yang bermusuhan bertepatan dengan meningkatnya Islamophobia,” demikian menurut Yasmin Serhan dalam artikelnya di The Atlantic (2018)

Yasmin Serhan benar. Islamophobia justru berkembang pesat di Utara Inggris. Tempat Liverpool FC, klub Mohammad Salah saat ini. Bagi Fans Liverpool mereka bukan saja menerima aksi sujud Salah, tetapi bahkan mendukungnya. Fans The Reds menyanyikan lirik seperti ini untuk Salah;

Mo Salah-la-la-la-la-la-la-la-la-la / If he’s good enough for you, he’s good enough for me / If he scores another few, then I’ll be Muslim too / If he’s good enough for you, he’s good enough for me / Sitting in the mosque, that’s where I wanna be.”(Yasmin Serhan: 2018)

Selebrasi sujud sukur pemain Liverpool Mohamed Salah dan Sadio Mane

Nyanyian dukungan itu memang satu hal yang luar biasa untuk wilayah yang sedang terjangkit virus Islamophobia. Namun apakah seorang Salah dapat membalikkan keadaan di sana? Apakah Islamphobia menjadi lenyap? Atau jangan-jangan akan tumbuh persoalan baru?

Yasmi Serhan dalam The Power of Mo Salah’s Goal-Scoring Ritual mengutip pendapat yang menyatakan satu kekhawatiran: Bisa jadi orang akan menganggap Salah adalah ‘Muslim yang berbeda.’ Salah adalah pengecualian.

Kekhawatiran tersebut bisa saja terjadi. Namun dengan semakin banyaknya pesepakbola Muslim di benua Eropa akan semakin mudah mengikis ‘pengecualian-pengecualian’ tadi. Kehadiran mereka menjadi cermin bukan saja permainan yang memukau tetapi juga akhlak yang memikat.

Di Balik Kekalahan Gus Ipul

Oleh: AB LATIF, Direktur Indo olitik Wacth

Hasil sementara dari pelaksanaan Pilkada Jatim khususnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur yang dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 Juni 2018 kemarin sangat mengejutkan. Pasalnya, pasangan yang dibangga-banggakan PDI-P dan koalisinya (PKB, PKS, Gerindra)yaitu Gus Ipul – Puti dapat dikalahkan pasangan dari Khofifah – Emil yang didukung oleh PPP, Demokrat, Nasdem, Golkar. Berdasarkan hasil quick count yang digelar oleh Lembaga Idikator, Rabu (27 Juni 2018) pukul 17.33 WIB, menyatakan bahwa pasangan Khofifah Indar Parawansa – Emil Dardak lebih unggul 53,63 % dari pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) – Puti Guntur Soekarno yang hanya memperoleh suara 46,37 %. (https://news.detik.com/rad/2018/06/27/125622/4086011/10/quick-count-final-pilgub-jatim-indikator-khofifah-menang)

Jika ditelisik secara detail, empat partai pengungsung Gus Ipul – Puti sebenarnya cukup dominan. Secara kalkulasi suara berdasarkan pada pemilu 2014 seharusnya Gus Ipul – Puti lebih unggul. Lihat saja dari PKB meraih 3.671.911 suara (19,61 %), PDI-P meraih 3.523.434 suara (18,82 %), Gerindra meraih 2.457.966 (13,13 %), PKS meraih 974.000 suara (5,20 %). Artinya, jika digabung dari 4 partai tersebut sudah mencapai 56 % lebih unggul dari pasangan Khofifah – Emil. Lalu mengapa pada faktanya Gus Ipul bisa dikalahkan? Adakah partai yang berkhianat? Ataukah ada sebab lain???

Menang dan kalah merupakan hal yang sudah biasa dan wajar dalam segala aspek permainan. Kita harus senantiasa berlapang dada dalam menerima kemenangan ataupun kekalahan. Begitu juga dalam berpolitik, kita harus legowo menerima konskwensinya. Tapi setidaknya kita harus mampu menganalisa sejauh mana dan apa sebab-sebab kegagalan atau keberhasilan yang kita raih.

Jika kita analisa, ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Gus Ipul bisa dikalahkan oleh Khofifah dalam Pilkada Jatim ini. Diantara faktor kekalahan Gus Ipul – Puti adalah sebagai berikut :

Yang pertama adalah elektabilitas atau ketenaran pasangan.

Secara elektabilitas Gus Ipu sudah tidak diragukan lagi. Semua warga Jawa Timur dari timur sampai barat pasti sudah mengenal siapa Gus Ipul, baik dalam kalangan instansi pemerintahan maupun dalam organisasi kemasyarakatan. Tapi dari sisi pasangannya yaitu Puti tidaklah begitu familiar di tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat tidak mengenalnya dan bahkan kariernya dalam dunia politik juga masih sangat baru. Hal ini sangat berbeda dengan pasangan Khofifah – Emil. Secara elektabilitas Khofifah juga sudah sangat dikenal masyarakat Jatim bahkan seluruh Indonesia. Begitu juga Emil sudah dikenal sebagian masyarakat bahkan sudah dikenal seluruh Bupati se-Jawa Timur serta menjadi kebanggaan masyarakat di daerahnya.

Yang kedua adalah latar belakang organisasi pasangan.

Walau sama-sama dari rahim NU, antara Gus Ipul dan Khofifah ada sedikit perbedaan. Khofifah begitu familier di kalangan fatayat dan muslimat yang dengan itu naluri kewanitaan otomatis lebih kuat pada figure pemimpin wanita. Dari kalangan kiai-kiai NU sendiri sebagian besar juga mendukung Khofifah, pasalnya walau sama dari rahim NU perbedaan pandangan diantara sesepuh NU juga sangat kelihatan. Banyak diantara kiai NU yang tak sefaham dengan pengurus pusat bahkan ada yang menyatakan mufaroqoh (berlepas diri).

Yang ketiga adalah elektabilitas partai pengusungnya.

Elektabilitas partai pengusung utama inilah yang banyak menentukan. Partai pengusung utama Gus Ipul tidak lain adalah PDI-P yang di mata sebagian besar umat Islam sangat antipati. Bahkan ada sebagian umat Islam yang berkomitmen siapapun orangnya jika diusung oleh partai pendukung penista agama akan ditumbangkan. Memang benar antara Pilkada Jatim dan Pilkada Jakarta tidak ada hubungannya, tapi setidaknya itu ada pengaruhnya dan pengaruh ini sangatlah kuat. Belum lag iaksi-aksi PDI-P dan keluarga Megawati yang selama ini banyak menyakiti umat Islam. Ingatlah ketika Megawati mengatakan bahwa kehidupan setelah dunia hanyalah khayalan orang-orang saja. Ingatlah ketika Sukmawati berpuisi yang menyinggung perasaan umat. Ingatlah bagaimana PDI-P mengeruduk kantor Radar dan kantor PKS jatim yang merupakan koalisi mereka. Karena boleh jadi secara struktural menyatakan koalisi tapi anggota secara pribadi yang tersakiti belum tentu akan mendukung koalisi tersebut.

Yang keempat adalah penguasaan media.

Memang benar banyak media televisi, koran dan radio yang mereka kuasai. Media-media itu senantiasa membuat framing yang begitu kuat mendukung mereka. Tapi di balik itu ada media sosial yang begitu kuat pengaruhnya dibandingkan televisi, radio dan koran. Lihatlah bagaimana aksi 212 bisa berjalan dengan begitu kuat tidak lain hanya bermodalkan WhatsApp, Facebook, Twitter dll. Media social inilah yang sebenarnya sangat kuat untuk mempengaruhi masyarakat. Jika seseorang lihat televisi mungkin waktu-waktu tertentu. Tapi kalau lihat ponsel mereka sudah pasti setiap saat. Dan hampir semua orang punya ini dan dibawa kemana saja ia pergi. Artinya, sosial media ini juga turut mempengaruhi kekalahan Gus Ipul – Puti.

Inilah beberapa faktor yang mempengaruhi kekalahan Gus Ipul – Puti. Hendaknya ini menjadi pelajaran berharga bagi PDI-P khususnya dan dan semuapartai pada umumnya. Semua kebijakan partai dan tindak tanduk partai senantiasa dibaca masyarakat. Kita tahu dulu PDI-P begitu dielu-elukan masyarakat dan menjadi harapan masyarakat di awal berdirinya, tapi kini seiring dengan waktu dan kekuasaan yang diraihnya fakta mengungkap hal yang berbeda. Masyarakat menilai PDI-P dulu sangat berbeda dengan PDI-P sekarang. Benarkah hal ini? Wallahu ‘alam.

Musyawarah Tanwir I Hizbul Wathan Usung Tema Pembentukan Karakter Bela Negara

SLEMAN (Jurnalislam.com) – Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan menggelar Musyawarah Tanwir I di Gedung LPMP DIY, Kalasan, Sleman, Kamis (28/6/2018) dengan tema Pembentukan Karakter Bela Negara. Dalam musyawarah yang berlangsung dua hari itu, Mayor Pnb Adhe Irwansyah didaulat sebagai narasumber.

Mayor Pnb Adhe Irwansyah menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan, unsur dasar dan upaya bela negara. Selain itu, berbagai kisah heroic para pahlawan yang membela negara demi merebut kemerdekaan juga dikisahkan.

Salah satunya adalah Marsekal Muda (Anumerta) A. Adisutjipto, yang dengan alat yang memadai berani menerbangkan pesawat. Pada akhirnya beliau saat ingin mendarat di Lanud Maguwo ditembak oleh dua pesawat Belanda. Akhirnya beliau gugur dan nama Lanud Maguwodi diubah menjadi namanya untuk mengabadikan perjuangannya.

“Begitulah karakter bela negara para pahlawan yang akan dididikkan kepada seluruh elemen Hizbul Wathan,” kata Mayor Adhe.

Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan adalah wadah pengembangan karakter. Sesuai namanya, Hizbul Wathan harus senantiasa membela tanah air dari segala macam gangguan. Hizbul Wathan telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar diantaranya adalah Jenderal Besar Soedirman dan Letnan Jenderal M Syarbini.

Bahkan menurut Muchdi Purwaprandjono, Ketua Umum Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Jenderal Soedirman adalah Jenderal termuda di dunia yang dipilih secara demokratis oleh para jenderal di seluruh Indonesia, yakni berumur dua puluh Sembilan tahun ketika diangkat.

Kiriman: Arsyad Arifi

Sampai Pertengahan 2018, Bank Syariah Tumbuh Positif

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Kinerja bank syariah masih mencatatkan pertumbuhan positif sampai dengan April 2018. Statistik Perbankan Syariah yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan sampai dengan April 2018, total pembiayaan bank umum syariah (BUS) tumbuh 7,25% year on year menjadi Rp 191,04 triliun.

Pertumbuhan pembiayaan tersebut juga berhasil mengerek aset bank syariah ke level Rp 290,36 triliun atau naik 13,64% dibanding bulan April 2017 sebesar Rp 255,49 triliun.

Hal serupa juga terjadi pada PT Bank BCA Syariah yang menyebut sampai sejauh ini kineja masih sesuai target alias on the track.

Direktur Utama BCA Syariah John Kosasih mengatakan, sampai dengan 25 Juni 2018 total pembiayaan perseroan sudah menembus Rp 4,7 triliun. Jumlah ini naik 23% bila dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun 2017.

Selain dari segi pembiayaan, total dana pihak ketiga (DPK) BCA Syariah juga melesat 25% per 25 Juni 2018 menjadi Rp 4,9 triliun. Dus, berkat pencapaian tersebut, total aset perseroan ikut terkerek naik menjadi Rp 6,3 triliun atau tumbuh 19% per 25 Juni 2018.

“Kinerja kami sampai 25 Juni 2018 masih on track bahkan di atas RBB (rencana bisnis bank) 2018. Secara umum aset naik 19%, pembiayaan 23% dan DPK 25%,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (26/6/2018).

Lebih lanjut, didorong dari pertumbuhan tersebut, anak usaha PT Bank Central Asia Tbk ini mampu membukukan laba sebelum pajak sebesar Rp 35 miliar pada 25 Juni 2018.

John menjelaskan, secara tahunan capaian tersebut mengalami peningkatan sebesar 25%. Dari sisi kualitas pembiayaan juga masih terjaga. Tercermin dari rasio non-performing financing (NPF) yang dijaga rendah di level 0,6% sampai penghujung semester I 2018.

Dus, BCA Syariah hingga akhir tahun tidak berencana untuk mengubah target. Antara lain, rata-rata pertumbuhan tahun 2018 ini dipatok di kisaran 20% sampai 25%.

Sedangkan PT Bank BRI Syariah Tbk, juga menyebut mencatatkan pertumbuhan positif sampai Mei 2018.

Antara lain laba bersih setelah pajak naik 85,16% menjadi Rp 96,31 miliar dibanding posisi bulan yang sama tahun lalu Rp 52,02 miliar.

Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso menjelaskan, pertumbuhan laba tersebut ditopang kenaikan pembiayaan sebesar 11,5% secara yoy menjadi Rp 20,42 triliun. Sedangkan untuk DPK mengalami peningkatan 13,62% yoy dari Rp 24,5 triliun pada bulan Mei 2017 menjadi sebesar Rp 27,84 triliun.

Dus, aset perseroan tumbuh cukup tinggi mencapai 21,41% pada Mei 2018 menjadi Rp 35,72 triliun dari posisi tahun sebelumnya Rp 29,42 triliun.

Anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk ini menyebut, dari total pembiayaan yang disalurkan sebanyak 34% masuk ke segmen komersial. Sementara sisanya sebanyak 66% masuk ke segmen ritel (konsumer dan UMKM).

Di samping itu, dari sisi rasio permodalan juga masih cukup tebal dengan capital adequacy ratio (CAR) terjaga di posisi 29,93% naik dari bulan Mei 2017 20,68%.

Hadi optimis sampai akhir tahun seluruh target perseroan dapat tercapai. Antara lain, laba bersih dipatok mampu mencapai Rp 250 miliar dan aset diprediksi menembus ke level Rp 36,98 triliun.

Sementara dari sisi pembiayaan, sampai akhir tahun 2018 pihaknya yakin mampu menyalurkan dana sebesar Rp 22,68 triliun. Serta DPK dipatok ke level Rp 28,28 triliun.

“Pertumbuhan tersebut didorong dengan rencana BRI Syariah yang akan fokus dalam pembiayaan di segmen ritel, dan komersial terutama BUMN,” katanya di Jakarta, Selasa (26/6).

Di sisi lain, BRI Syariah juga terus mengembangkan teknologi informasi untuk penguatan digital banking untuk memenuhi kebutuhan nasabah.Hal itu dilakukan dengan peningkatan produk yang sudah ada melalui layanan integrasi internet banking BRI Syariah dan mobile banking (BRIS online).

Secara terpisah, Direktur BRI Syariah Wildan menyebut tahun ini pihaknya belum berencana untuk merubah target dan akan tetap menjaga porsi penyaluran kredit. “Kami akan coba jaga tetap di porsi yang sama sampai akhir tahun. Untuk tahun ini relatif target pembiayaan naik 14% sampai 15%,” katanya.

Meski begitu, dari sisi rasio NPF, perseroan masih mencatatkan NPF tinggi di level 4,32% per Mei 2018. Menurut Wildan, mayoritas NPF tersebut disumbang dari debitur pembiayaan komersial lampau terutama di sektor pertambangan.

Pihaknya juga telah melakukan sejumlah strategi untuk menjaga NPF di bawah 5% pada tahun ini. Salah satunya dengan melakukan restrukturisasi dan penjualan aset bermasalah. Memang, bila dibandingkan dengan posisi kuartal I 2018 posisi NPF perseroan telah mengalami penurunan sebanyak 60 basis poin (bps) dari 4,92%.

“NPF kami targetkan di bawah koridor OJK (di bawah 5%). Saat ini kami masih di bawah dan ditarget turun dari posisi 2017,” tambah Wildan. Adapun, rasio-rasio keuangan lainnya juga tercatat positif. Antara lain, return on asset (ROA) sebesar 0,90%, return on equity (ROE) sebesar 6,5%, net imbalan (NI) 5,16%, sertafinancing to deposit rasio (FDR) masih longgar di 73,05%.

Selain itu, perseroan juga berhasil menjaga efisiensi dengan menurunkan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) sebesar 90,29%, lebih baik dibandingkan posisi bulan Mei 2017 yang sebesar 94,05%. (me/kontan.co.id)

Pengamat : Pilgub 2018 Bukti Buruknya Mesin Politik PDIP

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Kontestasi pemilihan kepala daerah 2018 secara serentak di 171 daerah menjadi pukulan telak bagi partai penguasa, PDIP, setelah mengalami kekalahan di 11 provinsi. Kekalahan itu menurut Direktur pusat studi sosial politik Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun diakibatkan dari buruknya kerja mesin politik partai berlambang kepala Banteng.

Usai menghadiri satu diskusi, di Jakarta Pusat, Ubedilah mengatakan, PDIP dinilai tidak cukup gesit dengan partai politik menengah sekelas Nasdem, ataupun PAN. Yang mana, partai politik kelas menengah itu justru memanfaatkan strategi politik untuk kemenangan di 2019 mendatang.

“Kalau boleh saya sebutkan PDIP dan Gerindra itu mesin politiknya terburuk untuk Provinsi ada yang kerja-kerja mesin politiknya buruk karena presentasinya kan kecil dari perolehan kontestasi provinsi,” ujar Ubedilah, Sabtu (30/6/2018) dilansir Merdeka.com.

Buruknya kerja mesin politik PDIP, menurut Ubedilah, terbukti apabila disandingkan dengan perolehan suara pasangan calon Gubernur Jawa Barat dan Wakilnya, Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Di awal masa deklarasi hingga kampanye, pasangan yang didukung oleh Gerindra, PKS, dan PAN itu tidak cukup diperhitungkan dalam kontestasi Pilgub Jawa Barat.

Namun di akhir, justru pasangan calon nomor urut 3 itu melejit dengan posisi kedua di bawah Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. Faktor tesebut dikatakan Ubedilah berasal dari kerja mesin politik di masa-masa akhir kampanye dan berhasil menempatkan posisi terbaik.

Sementara posisi TB Hasanuddin-Anton Charliyan yang didukung PDIP tak merangkak naik. Atau tetap berada di posisi buncit dari empat pasang calon di Pilgub Jawa Barat.

“Peran tokoh nasional tidak terlalu signifikan. Apa yang paling signifikan di kasus Jawa Barat yang menaikkan elektoral mereka adalah mesin politik dan kami melihat mesin politik bekerja itu justru di akhir-akhir kampanye itu dasar sekali kami meneliti di hampir seluruh Jawa Barat ada kerja kerja mesin partai itu yang muncul di lapangan,” ujarnya.

 

Keoknya PDIP di Pilgub Dinilai Berdampak ke Pilpres 2019

SOLO (Jurnalislam.com) – Banyaknya kader PDIP yang kalah dalam pilkada 2018 di sejumlah daerah dinilai Ketua Majelis Mujahidin (MM) Klaten ustaz Boni Azwar buah dari sikap para kader dan pimpinan PDIP yang selama ini selalu memusuhi dan melecehkan umat Islam di Indonesia.

Selain itu, ustaz Boni juga mengatakan pemerintah juga terkesan membiarkan jika muncul sejumlah kasus dari para kader PDIP yang melecehkan agama Islam. Hal itulah yang membuat PDIP semakin berani memusuhi umat Islam dan akhirnya membuat stigma bahwa PDIP partai yang anti Islam.

“Sudah nampak nyata di masyarakat bahwa PDIP itu seolah-olah bermusuhan dengan umat islam, maka dengan adanya pilkada ini, terkesan juga PDIP itu agak bertumbangan, calon-calon atau kadernya yang dimajukan sebagai kepala pemerintahan daerah,” terangnya kepada Jurnalislam.com di Solo, Kamis,(28/6/2018).

Di satu sisi lagi, kata ustaz Boni, tumbangnya para kader PDIP tersebut menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam di tahun 2019 nanti.

Sebab, bersatunya umat Islam dalam memilih pemimpin, dinilainya sudah cukup bisa membuat partai pengusung presiden Jokowi tersebut mulai agak goyang.

“Maka yang diharapkan umat Islam maka mari masih ada waktu kurang lebih satu tahun, rapatkan shafnya, kembali bersatu yang diharapakan golputnya sedikit karena ini sistuasinya sudah berbeda dengan pemerintahan terdahulu,” paparnya.

Untuk itu, ustaz Boni menghimbau kepada umat Islam agar mengunakan hak pilihnya di tahun 2019 nanti. Ia menegaskan, bahwa sudah seharusnya ada pergantian kepemimpinan karena ketidakadilannya pemerintah kali ini terhadap umat Islam dan bahkan banyak kebijakan yang tidak pro rakyat dan menguntungkan pihak asing.

“Karena pemerintahan kali ini kesannya adalah mereka disamping mendiskriditkan umat Islam, juga memenjarakan para ulama dan melindungi penista agama dan sebagainya,” ujarnya.

“Maka umat islam wajib bersatu, ini kewajiban kita bersama bagaimana tahun 2019 nanti ganti presiden,” tandasnya.