Sepakbola, Politik, dan Sujud Sukur

Sepakbola, Politik, dan Sujud Sukur

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Penikmat Sepakbola

JURNALISLAM.COM – Segera setelah mencetak gol, ia menyilangkan kedua tangan dengan kedua ibu jari saling mengunci. Keduanya seolah membentuk simbol elang berkepala ganda, elang pada bendera Albania. (Agung Putranto Wibowo: 2018) Selebrasi kemenangan Swiss atas Serbia dalam perhelatan Piala Dunia di Rusia tersebut berbuntut panjang. Pemain Swiss, Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka dianggap menyeret politik ke dalam sepakbola.

Menanggapi aksi kedua pemainnya, pelatih Swiss, Vladimir Petkovic berkata, ” “Kamu tidak seharusnya mencampur politik dengan sepakbola. Kamu seharusnya selalu memperlihatkan rasa hormat. Atmosfer pertandingan tadi sungguh luar biasa dan jadi pengalaman positif. Sepakbola memang seharusnya seperti itu,” seperti dikutip Pandit Football dari ESPN.

Namun benarkah sepakbola tak bisa dicampurkan dengan politik? Meski terkesan idealis, nyatanya sepakbola sejak lama telah bercampur baur dengan politik. Belum hilang dari ingatan kita ketika para suporter Al-Ahli terlibat kericuhan di Stadion Port Said pada 1 Februari 2012. Pada akhir pertandingan Al-Masry melawan Al-Ahli, suporter Al-Ahli kemudian dipersekusi. Orang-orang membawa pisau di stadion, memburu para suporter Al-Ahli. Alhasil puluhan supoter Al-Ahli tewas.

Kericuhan ini bukan kericuhan biasa, di balik insiden tersebut tersimpan bara politik. Para pendukung Hosni Mubarak dituding menjadi dalang pembantaian tersebut. Penyebabnya karena para ultras Al-Ahli menjadi pasukan terdepan penyokong kuat demonstrasi terhadap Hosni Mobarak, khususnya di Tahrir Square. Para ultras Al-Ahli menjadi garda terdepan dalam demonstrasi tersebut.

Suporter klub sepakbola Al-Ahly, penentang utama mantan presiden Mesir, Hosni Mubarak.

Suporter Al-Ahli menurut Dag Tuastad dalam From Football Riot to Revolution. The Political Role of Football in The Arab World,sudah lama dikenal sebagai pendukung berbasis kaum marjinal secara ekonomi. Mereka adalah para penentang rezim Hosni Mubarak. (Dag Tuastad : 2013)

Bukan hanya sekali itu para suporter Al-Ahli terlibat aksi politik. Pada 2009, ketika berhadapan dengan Zamalek, suporter Al-Ahli membawa spanduk dukungan untuk Palestina. Pemain bintang Al-Ahli, Mohammad Aboutrika, membuka seragamnya dan menunjukkan kaosnya yang bersmpati pada Gaza. Pesan tersebut ditunjukkan pada siaran langsung pertandingan. (Dag Tuastad : 2013) Menyampaikan pesan-pesan politis dalam rezim diktator Hosni Mobarak kala itu menjadi sangat berbahaya.

Bukan hanya suporter atau pemain yang melibatkan sepakbola ke pusaran politik. Tetapi bisa jadi lebih keji jika para penguasa menyeret-nyeret sepak bola tanpa ampun ke pusaran politik. Di rezim komunis Soviet, sepakbola amat melekat dengan politik. Bagi rezim komunis, olahraga adalah latihan pra-militer untuk meraih kebugaran nasional yang relatif tinggi dan faktor pertahanan. Klub sepak bola CSKA Moskow adalah klub tertua yang menjadi tim resmi tentara merah Soviet. Sedangkan Dinamo Moscow muncul dari bagian kementerian dalam negeri dan dinas rahasia yang terkenal kejam, Cheka. (Deepti Patwardhan: 2018)

Bagi diktator komunis macam Stalin sepak bola tak terlalu menarik baginya. Namun ketika dalam Piala Dunia 1952 Soviet kalah 2-5 dari Yugoslavia, hal ini mencoreng muka Stalin, membuatnya murka dan membubarkan CSKA Moscow. Bukan apa-apa, Josep Broz Tito, pemimpin Yugoslavia, di mata Stalin adalah pengkhianat komunisme. Kekalahan ini pasti membuatnya malu. (Deepti Patwardhan: 2018)

Joseph Stalin bersama pemain Dynamo Kyiv

Rezim komunis Soviet juga memakai sepakbola sebagai jalan untuk berdiplomasi dengan Jerman Barat. Pertandingan persahabatan Soviet melawan Jerman Barat digelar. Pertandingan di Jerman Barat tersebut ditonton oleh 80 ribu orang menjadi pembuka jalan diplomasi politik yang berujung pembebasan sepuluh ribu tahanan Jerman. (Deepti Patwardhan: 2018)

Di Italia, rezim fasis menunggangi sepak bola tanpa ampun. Benito Mussolini memaksa klub memakai nama lokal meninggalkan nama-nama berbau asing. Football Club Internazionale Milano atau yang sekarang dikenal dengan nama Inter Milan, diganti namanya dengan Ambrosiana. Kata ‘internazionale’ disingkirkan karena berbau kiri. Asal tahu saja, Inter Milan muncul dari rahim AC Milan, setelah mereka menolak kebijakan yang memaksa hanya memakai pemain Italia saja. (Christos Kassimeris: 2011)

Tim Nasional Italia tak luput diaduk-aduk oleh rezim fasis. Menurut Christos Kassimeris dalam Fascism, Separatism and The Ultras: Discrimination in Italian Football (2011) Pada Piala Dunia 1938, rezim fasis Mussolini mengeluarkan poster tim nasional Italia dengan figur Hercules melakukan salut ala fasis dengan bola di kakinya. Mussolini memang menggemari sepakbola. Pertandingan persahabatan dijadikan alat propaganda ekspansi fasisme. Hal itu dilakukan dengan bertanding di wilayah-wilayah bekas kerajaan Austria-Hongaria yang menjadi ketertarikan geopolitik rezim fasis italia. Mereka Sehari sebelum bertanding di Piala Dunia, tim nasional Italia diberi pesan oleh Mussolini: “Menang atau Mati.” (Christos Kassimeris: 2011)

Saat berhadapan dengan Perancis di perempat final Piala Dunia 1938, para pemain Italia melakukan salam ala fasis sebelum bertanding. Seragam yang mereka kenakan pun warna hitam, Maglia nera, warna kebesaran rezim. Seragam hitam adalah pertama dan terakhir kalinya mereka kenakan. Aksi pemain italia ini disambut dengan caci maki penonton. (Evans Edgar Simon: 2018) Wajar, karena Perancis adalah negara pelarian para penolak fasisme di Italia. Meski demikian Mussolini pasti tersenyum puas. Italia menang melawan Perancis dan terus melaju hingga menjadi juara.

Pemain Timnas Italia melakukan salam fasis dalam pertandingan Piala Dunia 1938 melawan Perancis.

Ketika pada 13 Mei 1990, Yugoslavia diambang perpecahan, karena Slovenia dan Kroasia yang hendak memerdekakan diri, satu pertandingan sepak bola digelar di Zagreb, Yugoslavia (kemudian Kroasia). Dynamo Zagreb melawan Red Star Belgrade. Dynamo mewakili etnik kroasia, dan Red Star mewakili etnis serbia. Suasana sudah panas di dalam dan di luar stadion. Di dalam para suporter Red Star sudah menyanyikan lagu-lagu kebangsaan seraya mengejek suporter Dynamo Zagreb. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000)

Kerusuhan akhirnya tercipta. Pertandingan dibatalkan dan polisi memasuki lapangan. Satu momen penting terjadi ketika Kapten Dynamo Zagreb, Zvonimir Boban menendang dan memukul polisi karena dianggap tidak melindungi Bad Blue Boys, suporter Dynamo. Sejak itu Boban, yang nantinya menjadi bintang AC Milan, dianggap pahlawan Kroasia. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000)

Pihak serbia menuding Bad Blue Boys sengaja menciptakan kerusuhan dan terkait dengan organisasi paramiliter. Di pihak Serbia, satu hal yang pasti, saat pertandingan berlangsung, di samping pelatih Red Star, terdapat Zeljko Raznatovic alias Arkan. (Allen L. Sack & Zeljan Suster: 2000) Arkan adalah seorang pemimpin paramiliter brutal saat perang Serbia – Kroasia, membantai muslim Bosnia dan Kosovo. Ia di dakwa melakukan kejahatan kemanusiaan kepada Muslim Bosnia oleh International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia.

Sepakbola yang membakar nasionalisme atau nasionalisme yang membakar sepakbola? Sulit dijawab. Satu hal yang pasti, sepakbola mampu menyatukan berbagai identitas. Tetapi di bawah bendera nasionalisme pula, ia mampu menyekat-nyekat manusia. Nasionalisme adalah garis pembatas diantara kami dan mereka. Lagu-lagu kebangsaan, seragam tim, satu kumpulan manusia dengan latar belakang yang sama mampu membakar semangat identitas tertentu.

Ørnuff Seippel dalam Sports and Nationalism in a Globalized World (2017) menyebutkan bahwa olahraga (termasuk sepakbola) menjadi simbol sentral untuk nasionalisme masyarakat modern, dengan memproduksi dan mungkin yang paling penting, mengaktifkan kisah tentang siapa kita sebagai satu anggota dari sebuah negara. Kebanggaan nasional yang dihasilkan dari olah raga adalah satu cara untuk mengonseptualisasikan proses tersebut.

Batas-batas negara bangsa yang mulai cair oleh globalisasi dan “mendatarnya dunia” bisa jadi tumbuh kembali lewat “nasionalisme” sepakbola. Hal ini bisa terlihat misalnya di Eropa. Bangkitnya kaum sayap kanan juga hadir lewat nasionalisme-rasialisme dan Islamophobia di sepakbola. Menariknya di tengah maraknya rasialisme dan Islamophobia di Eropa muncul pemain-pemain muslim di klub-klub Eropa.

Yaya Toure, Sadio Mane, dan khususnya Mohammad Salah menjadi pemain-pemain Muslim yang bukan saja bermain apik tetapi juga menonjolkan identitasnya sebagai Muslim. Selebrasi sujud syukur di tengah liga Eropa yang dihinggapi islamophobia menjadi satu “aksi” yang menonjol dan menarik. “Pertunjukan di muka publik akan sebuah keyakinan agama dari seorang bintang sepak bola kelahiran Mesir ini bukanlah hal kecil di Inggris, di mana kebijakan imigrasi yang bermusuhan bertepatan dengan meningkatnya Islamophobia,” demikian menurut Yasmin Serhan dalam artikelnya di The Atlantic (2018)

Yasmin Serhan benar. Islamophobia justru berkembang pesat di Utara Inggris. Tempat Liverpool FC, klub Mohammad Salah saat ini. Bagi Fans Liverpool mereka bukan saja menerima aksi sujud Salah, tetapi bahkan mendukungnya. Fans The Reds menyanyikan lirik seperti ini untuk Salah;

Mo Salah-la-la-la-la-la-la-la-la-la / If he’s good enough for you, he’s good enough for me / If he scores another few, then I’ll be Muslim too / If he’s good enough for you, he’s good enough for me / Sitting in the mosque, that’s where I wanna be.”(Yasmin Serhan: 2018)

Selebrasi sujud sukur pemain Liverpool Mohamed Salah dan Sadio Mane

Nyanyian dukungan itu memang satu hal yang luar biasa untuk wilayah yang sedang terjangkit virus Islamophobia. Namun apakah seorang Salah dapat membalikkan keadaan di sana? Apakah Islamphobia menjadi lenyap? Atau jangan-jangan akan tumbuh persoalan baru?

Yasmi Serhan dalam The Power of Mo Salah’s Goal-Scoring Ritual mengutip pendapat yang menyatakan satu kekhawatiran: Bisa jadi orang akan menganggap Salah adalah ‘Muslim yang berbeda.’ Salah adalah pengecualian.

Kekhawatiran tersebut bisa saja terjadi. Namun dengan semakin banyaknya pesepakbola Muslim di benua Eropa akan semakin mudah mengikis ‘pengecualian-pengecualian’ tadi. Kehadiran mereka menjadi cermin bukan saja permainan yang memukau tetapi juga akhlak yang memikat.

Bagikan