Upaya Menegarakan Islam

Islam adalah agama bimbingan, pemerintahan, politik dan hukum, sebab apa yang dibawa Islam atau missi Islam ialah memperbaiki umat manusia dalam segala aspek kehidupannya (seperti ideology, politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan militer, pen.)  Oleh karena itu sudah barang tentu memerlukan pemerintahan, pegangan, hukum yang adil dan tegaknya kebenaran, juga memerlukan perlengkapan untuk mempertahankan agama dan Negara.[1]

Alloh telah memerintahkan agar tindakan hendaklah bersifat social (  kejama’ahan atau dalam konteks gerakan disebut dengan amal jama’i ).  Dia memerintahkan agar orang muslim berbuat kebajikan secara bersama sebagai satu ummat.  PerintahNya: “Hendaklah ada di antara kamu satu umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan berbuat ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran.  Mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. 3/ 104).  Tak pelak lagi, bahwa ketentuan Islam mesti dilaksanakan oleh kaum muslimin secara bersama sebagai satu ummat.  Quran berbicara tentang kaum muslimin hampir senantiasa berbentuk jamak.   Maka jelaslah bahwa Islam memerlukan Negara dan tak dapat berbuat tanpa itu.  Seperti dikatakan oleh Muhammad iqbal, Negara merupakan pernyataan spiritualitas Islam, perwujudan spiritualitas itu dalam ruang dan waktu.  Segi terpenting hijrah ialah terciptanya Negara Islami.  Negara adalah tujuan hijrah, dan hijrah merupakan puncak persiapan dan pengislaman laki-laki dan perempuan serta perjanjian aqobah.[2]

Syaikh Ibnu Taymiyah rohimahullah berkata: “Bahwa sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling utama bagi agama adalah mengatur masyarakat, akan tetapi missi ini tidak akan tegak tanpa adanya Negara.  Oleh sebab itu, Allah memerintahkan amar makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebajikan dan melarang segala bentuk kemungkaran, menolong orang-orang yang tertindas dan teraniaya, termasuk juga kewajiban yang tak kalah pentingnya adalah menjunjung tinggi kebenaran dan menegakkan keadilan dengan memberikan sangsi-sangsi hukum terhadap pelaku tindak pidana dan kriminalitas.  Semuanya itu tak mungkin terlaksana dengan baik dan terarah tanpa adanya kekuasaan yang diatur dalam bentuk pemerintahan.”  Dengan demikian mendirikan Negara Islam merupakan perkara penting demi tegaknya hukum-hukum (syari’at) Islam di bumi ini.[3]

Contoh praktis dari hal ini adalah daulah ilmaniyah (Negara sekuler) yang didirikan Mustapha Kamal at Taturk di Turki (selepas dihancurkannya Khilafah Utsmaniyyah tahun 1924, pen.) yang dipaksakan dengan tangan besi, api dan darah terhadap semua rakyat turki yang beragama Islam, setelah membungkam Khilafah Utsmaniyah, yang notabenenya adalah benteng politik terakhir bagi dunia Islam setelah sekian lama bergelut melawan salibisme dan zionisme internasional.

Jalal Al Alam menyatkan dalam bukunya “ Dammirul Islam wa ‘Abidu Ahlahu “ bahwa strategi untuk menghancurkan Islam adalah menghancurkan pemerintahan Islam dengan cara meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan Khilafah Turki Utsmany . Maka perjanjian yang dibuat di Lausanne pada 20 Nopember 1922 antara Mustafa Kemal At taturk dengan pihak Inggris berisi antar lain adalah komitmen untuk menghancurkan Kekhalifahan Utsmany dan memutuskan hubungan dalam hal apapun antara Turki dengan Islam . Dua tahun kemudian Khilafah Utsmani diberangus dan sampai hari ini Turki tetap menjadi Negara Sekuler dan selalu memusuhi apapun yang berbau Islam .

Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru dengan kadar yang berbeda-beda, sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan perundang-undangan mengenai masalah tindak pidana, perdata dan lain-lainnya.  Islam dibatasi pada kondisi individual. Islam tidak boleh ikut campur dan mempengaruhi dunia pengajaran dan pendidikan, serta masalah-masalah sosial kecuali masalah-masalah yang remeh.  Sebaliknya, untuk tuntunan dari dunia barat dibukakan pintu selebar-lebarnya.[4]

Bahkan Pakistan yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinah, para pemimpinnya walaupun sering kali meneriakkan Negara Islam, tetapi karena pendidikan dan jiwa mereka telah berkarat dengan pengaruh kebudayaan barat, maka gambaran yang tertanam dalam benak mereka tentang Negara hanyalah Negara yang bertumpu atas dasar kebangsaan saja (nasionalistik)[5]  Artinya, bahwa pengaruh barat dalam paradigma kenegaraan terhadap kaum muslimin sudah sedemikian kuatnya.  Kita tahu, Pakistan atau india adalah sama-sama bekas tanah jajahan inggris.  Konon sampai hari ini loyalitas Negara-negara mantan jajahan inggris terhadap Britania raya (The Great Britain) terus dilestarikan dalam wadah Commonwealth (Persemakmuran).

Di Indonesia, pertarungan Islam dengan nasionalisme sudah dimulai sejak era pergerakan.  Serikat Islam (yang lahir tahun 1905 dengan nama Serikat Dagang Islam) dan menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia adalah gerakan ummat Islam pertama yang menghasung ideology Islam (atau Pan Islamiet sebagaimana yang disebut oleh HOS Tjokroaminoto, pen.).  Di kalangan nasionalis lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan terlebih dahulu lahir kelompok-kelompok kesukuan/ etnik sentrik seperti Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lainnya.  Serta tak kalah pentingnya peran Budi Utomo (lahir 1908), yang mewariskan ajaran kejawen.  Pertarungan ideologis ini semakin mengental pada masa-masa menjelang kemerdekaan.

Pada tanggal 9 april 1945, Badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUUPK) atau Dokuitsu Zyunbi Tyoosakai dibentuk, untuk kemudian dilantik oleh pemerintahan militer pendudukan jepang pada tanggal 28 mei 1945.  Hal ini adalah tindak lanjut dari janji Perdana Mentri Jepang, Koiso, yang disampaikan dalam sebuah pidatonya pada bulan September 1944 di Jepang.  Janjinya adalah akan memerdekakan Indonesia di kemudian hari.  Ketua BPUUPK adalah Dr. Rajiman Widyaningrat, seorang tokoh penganut kejawen.  Anggota-anggota BPUUPK semula 60 orang, kemudian menjadi 68 orang, dilihat dari sudut perimbangan ideology politik, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya sekitar 20% saja dari jumlah tersebut yang benar-benar mewakili aspirasi politik kelompok Islam.  Sedangkan 80% mewakili aspirasi nasionalisme yang dalam hal ini adalah kelompok yang tidak mau membawa ideologi Islam dalam urusan kenegaraan.  Sedangkan yang dimaksud dengan aspirasi politik kelompok Islam adalah diusulkannya Islam sebagai dasar filsofis Negara yang hendak didirikan.  Bagi mereka Islam itu serba lengkap, meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.[6]

Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik berhasil diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu.  Sintesis ini yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter).  Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar Negara dengan perubahan letak.  Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama) juga diberi anak kalimat pengiring: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  “ Kompromi politik ini hanya mampu bertahan selama 57 hari, karena demi ‘persatuan bangsa’ anak kalimat itu dicoret pada tanggal 18 agustus 1945.[7]

Inilah pengkhianatan pertama kaum nasionalis terhadap ummat Islam di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya marginalisasi, intimidasi, dan tak jarang dilakukan pembrangusan setiap potensi-potensi kekuatan Islam.  Mulai dari pembantaian gerakan DI/ TII – NII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan serta penangkapan pemimpin-pemimpin partai masyumi oleh rezim Sukarno.  Kasus Tanjung Priok, Talangsari-Lampung, Haur Koneng, Sampang dan banyak kasus penculikan dan pembunuhan para ustadz di Banyuwangi, penangkapan aktivitas Usroh, kasus Imron, Operasi Khusus Ali Murtopo bagi mantan tokoh-tokoh DI, penerapan daerah operasi militer di Aceh serta banyak lagi lainnya yang terjadi selama rezim ‘kejawen’ Suharto.  Pemerintahan nasionalis selanjutnya (rezim Habibie dan Abdurrahman Wahid) atas nama demokrasi pun tidak mampu melindungi darah dan jiwa umat Islam di Aceh, Kupang, Timor-timur, Ambon, Tual, Halmahera, Sambas, Poso, Sampit kemudian Kapuas; entah mana lagi nanti.

Jelaslah, kaum muslimin tidak akan dapat hidup tentram selama pemerintahan Islam belum tegak.  Selain muslim tidak ada yang dapat dipercaya untuk memelihara kebebasan aqidah, keadilan, hak dan kemaslahatan.  Karena itu, keIslaman seorang muslim selalu terus menerus terancam bahaya bila berada di bawah pemerintahan kafir.  Dan hidupnya terpaksa harus taat kepada pemerintahan kafir tersebut sampai pada masalah kemaksiatan sekalipun.[8]

Namun ada fenomena ganjil yang menyimpang, yakni adanya kelompok yang berpendapat  bahwa perpecahan ummat yang terjadi diakibatkan pada pemilihan tataran politik sebagai lahan perjuangan . Kemudian mengambil sikap apriori terhadap segala sesuatu yang berbau politik .

Ummat tak boleh berjuang dan bergerak untuk mencita-citakan Negara Islam karena negri seperti Indonesia hari ini adalah Darul Islam maka pemerintahnya adalah Ulil Amri yang wajib dita’ati setiap orang beriman sehingga mengkritisi apalagi melawannya adalah tindakan kelompok Takfiry dan Khawarij . Kita sulit memahami kebengkokan jalan berfikir mereka , padahal di negri ini pernah ada gerakan DI / TII ( 1949 – 1962 ) yang konon memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia tapi diperangi habis-habisan oleh pemerintahan yang menganut ideologi  sama dengan pemerintahan sekarang ini . Pun dengan wadah yang sama yaitu NKRI ! Artinya , sangat mustahil pemerintahan ini mau diidentikkan dengan Negara Islam , tapi kenapa kita sibuk mencari – cari pembenaran syar’i dan menyimpangkan dalil Qur-an dan Sunnah bahwa Indonesia termasuk Negara Islam ? Astaghfirullah . . . !

Mestinya , kita berusaha meluruskan pemerintahan yang ada dengan Al Qur-an dan As Sunnah dan bukan malah membengkokkan dalil untuk mendapatkan kesukaan pemerintah . Karena pada hakekatnya dengan sikap menjilat seperti itu , justru kita tidak memiliki belas kasihan kepada diri kita dan orang – orang di pemerintahan . Kalau kita mengibaratkan negara seperti perahu besar bangsa ini maka nakhkoda dan para mualimnya harus segera diingatkan akan kesesatan jalan yang ditempuh . Dengan pengetahuan kita akan dalil , jelas tergambar akibat buruk yang akan diterima bangsa ini . Wajar kalau kita bodoh dan awam yang tidak mengerti dalil tapi kalau kita mengaku bahagian dari orang ‘alim dalam ulumuddin namun tidak mengingatkan mereka , bukankah ini sikap pengkhianatan terhadap ilmu yang Alloh turunkan ?

Imam Bukhari rohimahulloh meriwayatkan dari Ubadah bin As Shamit rodhiyallohu ‘anhu tentang baiat kepada pimpinan kaum muslimin :
“Dan agar kami tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak, Rasulullah saw.
bersabda: Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian memiliki bukti yang kuat di sisi Allah”.

Dengan demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara dengan asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi, sosialisme, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan Islam. Khalifah atau Pemimpin yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib menerapkan syariat Islam sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah memerintahkan hal itu dalam firman-Nya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan“. (QS. An-Nisaa’ [4]: 65)

Juga firman-Nya:
“Dan hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan kepadamu. Dan janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]:49)

Garis pemisah antara orang – orang Islam dengan orang – orang musyrik adalah bahwa kaum musyrikin tidak menentang Rubbubiyatulloh yang mengandung keyakinan Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta , Pemilik , Penguasa atau apapun yang tersimpul dalam makna Ar Rabb namun mereka menentang kalau peribadatan ditegakkan hanya untuk Alloh saja . Dimana hakekat penting peribadatan itu tersimpul dalam dua hal , yakni at Tho’ah wat Tahakum ( kepatuhan dan berhukum ) . At Tho’ah dalam pengertian sebagai sikap setiap individu yang harus mengikatkan diri pada kepasrahan dan kerendahan di hadapan Alloh Azza wa Jalla sedangkan At Tahakum adalah sikap manusia sebagai komunitas social dalam berbagai tingkat dan bagian untuk menjadikan Syari’at Alloh sebagai satu-satunya hukum yang berlaku pada mereka . Intinya , kita ingin menggambarkan bahwa peribadatan tidak bisa hanya dianggap sebagai hubungan kepada Al Kholiq semata namun peribadatan juga mencangkup urusan hidup kebersamaan dalam sebuah masyarakat .

Akal yang waras tidak akan pernah berfikir bahwa manusia dalam kehidupannya bisa dipisahkan jatidirinya sebagai individu yang memiliki kepribadian dengan kebersamaannya dalam sebuah komunitas sosialnya . Walaupun ada perbedaan implikasi hukum pada wilayah privat dan wilayah publiknya .

Disinilah , keberadaan pemikiran sekelompok orang yang menganggap ajaran Islam hanya mengatur wilayah privat dalam aspek hukumnya adalah sebuah penyimpangan dari sebuah kelainan jatidiri . Sebut saja , orang – orang yang terbaratkan ini , selalu ngotot dengan cara apapun agar kaum muslimin tidak mengupayakan wujudnya praktek pengamalan Islam yang komprehensip . Bagi mereka , formalitas apalagi substansi Diinul Islam dalam kehidupan masyarakat adalah bahaya laten yang harus disingkirkan . Ada ungkapan sombong dari kelompok sesat ini , bahwa kalangan yang patuh dalam beragama dan mereka sebut kaum fundamentalis sama sekali tidak memiliki nalar intelektual sehingga mereka selalu meremehkan orang – orang yang ‘fanatik’ dalam beragama .

Jadi, kalau kelompok yang merasa paling tahu Islam ( ashabul ilmi wa ahlul haqq )  menuduh para pejuang Syari’at Islam sebagai kalangan Khawarij dan Ruwaibidhoh ( dangkal dan bodoh dalam memahami Islam ) maka – setali tiga uang – kelompok yang terbaratkan dan merasa paling mengerti peradaban menuduh pejuang Syari’at Islam sebagai kaum Fundamentalis dan tidak intelek ( terpelajar ) . Dua kelompok yang sepertinya bertentangan ini bertemu dalam satu muara kepentingan yakni langgengnya kekuasaan sekuler yang bukan saja menolak masuknya Diinul Islam dalam praktek kenegaraan tapi juga secara aktif selalu memerangi ideology Jihad dan kaum Mujahidin .

Maka tak ada jalan lain , para Pejuang Syari’at harus mengambil jalan untuk menegarakan Islam dengan cara sunnah dan tidak boleh melanggar batas – batas syar’i  serta tidak takut celaan orang – orang yang suka mencela . Jangan karena takut celaan dan tuduhan , akhirnya kita kita mengorbankan prinsip – prinsip Islam demi meraih kursi dan posisi seraya bermimpi sedang mengislamisasi Negara . Dengan cara terakhir ini , Islam hanya nampak pada  aspek kultural tapi sudak kosong dari substansi , yakni tauhid . Akhirnya ummat Islam membesarkan system bernegara yang jahiliyah dengan baju Islam . Wallohu A’lam !


[1] Muhammad Rasyid Ridho, Wahyu Ilahi kepada Muhammad saw, Pustaka Jaya Jakarta, Cet. Ke II/ 1987, hal. 461

[2] Ismail Raji’ Al Faruqi, Hakekat Hijrah, Mizan Bandung, Cet. Ke III / th. 1415/ 1994 , hal. 30-32

[3] DR. Abdul Karim Zaidan, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, PT Bina Ilmu Surabaya, Cet. I/1987, Hal. 126-127

[4] Ibid, hal 20

[5] Syaikh Abul A’la Al Maududi, Proses Pembentukan Negara dalam Islam, Pustaka LSI Yogyakarta, Cet.I/ 1990, hal. 20

[6] Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik – Teori Belah Bambu Gema Insani Press Jakarta, Cet. I/ 1996, hal 26-27

[7] Ibid, hal. 29

[8] Syaikh Said Hawwa, Al Islam 04, Al Ishlahy Press Jakarta, Cet. Ke … tanpa tahun, hal.5

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.