JAKARTA(Jurnalislam.com) — Kinerja kepolisian dalam menangani kasus dugaan ujaran kebencian yang menjerat Habib Bahar bin Smith disorot. Bukan soal substansi perkaranya, tetapi terkait respons polisi dalam menangani kasusnya yang dinilai berbeda dengan penanganan kasus yang melibatkan pegiat sosial Denny Siregar.
Di media sosial (medsos), publik membandingkan penanganan kasus yang menjerat Bahar Smith dengan kasus Denny Siregar yang juga dilaporkan terkait dugaan ujaran kebencian. Kasus ujaran kebencian yang diduga dilakukan Denny Siregar dilaporkan oleh pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya, Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani, ke Polresta Tasikmalaya pada 2 Juli 2020. Artinya, sudah satu tahun setengah sejak dilaporkan, kasus tersebut belum ada perkembangan signifikan.
Sementara, Bahar Smith dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 17 Desember 2021 terkait ceramahnya pada 11 Desember 2021 di Bandung, Jawa Barat. ‘Hanya’ berselang kurang lebih dua pekan sejak dilaporkan, Bahar Smith kini telah ditetapkan tersangka dan ditahan oleh Polda Jabar.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso pun meminta Polda Jabar tidak tebang pilih dalam menangani kasus ujaran kebencian. Jangan sampai polisi hanya tegas kepada mereka yang dianggap oposisi, namun orang yang disebut pendukung pemerintah malah kebal hukum. “Polda Jabar harus profesional dan adil dalam memproses kasus-kasus pidana yang ditangani penyidik Polda,” tegas Sugeng di Jakarta, Selasa (4/1).
Menurut Sugeng, IPW juga mencatat ada dua laporan warga Bogor yang dianiaya oleh personel Brimob DD alias Nando. Menurut dia, sampai saat ini tidak jelas perkembangan kasusnya, padahal sudah berjalan hampir dua tahun. Belum lagi, kasus ujaran kebencian yang diduga dilakukan oleh Denny Siregar, juga tidak ada kejelasan sampai sekarang.
“Karena itu kapolda (Jabar) harus memberi atensi dan sikap transparan pada kasus-kasus yang dipertanyakan publik bahkan kalau perlu mencopot penyidik kasus-kasus yang mangkrak,” kata Sugeng.
Selain itu, Sugeng menegaskan, agar tidak timbul ketidakpercayaan pelapor kasus-kasus pidana maka penyidik wajib bersikap transparan. Di antaranya dengan mengirimkan SP2HP atau surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan atau penyidikan pada pelapor. Jika tidak ada tebang pilih penanganan kasus maka masyarakat akan menilai penegakan hukum dilakukan adil, tidak memihak golongan tertentu.
Tidak ada perkembangan
Kasus yang menimpa Bahar bin Smith dan Denny Siregar sama-sama dugaan ujaran kebencian. Namun, sasaran ujaran kebencian yang dilakukan kedua orang itu berbeda. Bahar Smith diduga melakukannya kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, meski polisi membantah keterlibatan KSAD dalam kasus itu. Sementara Denny Siregar diduga melakukannya kepada para santri di Tasikmalaya.
Pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya, Ustaz Ahmad Ruslan Abdul Gani yang melaporkan Denny Siregar ke Polresta Tasikmalaya menyatakan penanganannya tak jelas hingga saat ini. “Pertama, sebagai pelapor, saya kecewa dengan kasus Denny Siregar yang tidak diproses, bahkan tidak ada kabar dari Polda,” kata dia , Ahad (2/12).
Ia mengaku, terakhir kali mendapat kabar dari kepolisian, kasus itu telah dilimpahkan ke Mabes Polri. Namun, menurut dia, hingga saat ini tak ada laporan terkait perkembangan kasus itu. “Terakhir dapat dari Polda (Jabar). Biasanya kan ada surat perkembangan penyelidikan,” kata dia.
Ihwal perbedaan penanganan antara kasus Denny Siregar dan Bahar bin Smith, Ustaz Ruslan menilai, itu menunjukkan aparat penegak hukum memiliki standar ganda. Menurut dia, dua kasus kasus itu sama-sama ujaran kebencian. Namun, penanganan yang dilakukan jauh berbeda. “Ini menunjukkan ketidakadilan dalam proses hukum,” kata dia.
Kasus dugaan ujaran kebencian itu bermula dari tulisan singkat Denny Siregar melalui akun Facebook miliknya. Denny Siregar menulis tulisan dengan judul “ADEK2KU CALON TERORIS YG ABANG SAYANG” disertai unggahan foto santri yang memakai atribut tauhid. Belakangan diketahui, foto itu menampilkan santri Pesantren Tahfidz Quran Daarul Ilmi Tasikmalaya yang sedang membaca Alquran saat aksi 313 di Jakarta pada 2017 silam.
Pada Maret 2021, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri dan Polda Jawa Barat saling lempar penanganan kasus pegiat sosial Denny Siregar. Pada Senin (15/3), Bareskrim Polri menyatakan belum ada pelimpahan kasus dugaan penghinaan dan ujaran kebencian terhadap santri Tasilkmalaya tersebut dari Polda Jabar. Hal itu membantah pernyataan Polda Jabar pekan sebelumnya.
“Belum (dilimpahkan) kasusnya, masih di Polda Jawa Barat,” ujar Karopenmas Divisi Humas Polri saat itu, Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri, saat itu.
Di tingkat Polres, penanganannya bahkan telah memeriksa semua saksi dari pihak korban hingga dinyatakan lengkap. Namun, bukannya memeriksa Denny, Polres saat itu melimpahkan kasus ke Polda Jabar dengan alasan memudahkan pemeriksaan terlapor.
Di Polda Jabar, kasus itu kembali menjadi perhatian karena Polda urung memeriksa Denny. Polda bahkan kembali memeriksa para saksi korban. Belakangan, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Yaved Duma Parembang mengeklaim kasus itu telah dilimpahkan ke Bareskrim Polri.
“Kasusnya sudah dilimpahkan ke Bareskrim karena locus-nya (locus delicti/atau tempat diduga tindakan pidana) di luar wilayah hukum Polda Jabar,’’ kata Yaved, Senin (8/3/2021).
Habib Bahar Smith ditahan
Penyidik Polda Jabar menetapkan Habib Bahar bin Smith sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian melalui media sosial. Penetapan tersangka dilakukan penyidik setelah melakukan pemeriksaan terhadap Bahar sejak Senin (3/1) siang hingga tengah malam.
Selain Bahar, polisi juga menetapkan TR sebagai tersangka dan juga ditahan. TR berperan sebagai penyebar informasi ujaran kebencian. Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Jabar, Kombes Arif Rachman, dalam keterangannya mengatakan, keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak Senin (3/1) malam.
Keduanya dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Junto Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Junto Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 28 Ayat 2 Junto 45 a UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Junto Pasal 55 KUHP.
Menurut Arif, penetapan tersangka terhadap keduanya dilakukan setelah penyidik memeriksa sebanyak 55 saksi, antara lain 33 orang saksi dan saksi 19 ahli serta menyita sebanyak 12 item barang bukti. Penyidik kemudian melakukan gelar perkara dan setidak- tidaknya mendapatkan dua alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHP serta didukung dengan alat bukti yang bisa menjadi dasar seseorang menjadi tersangka.
Atas dasar itulah, sambung Arif, penyidik meningkatkan status hukum BS dan TR sebagai tersangka. Penyidik kemudian melakukan penangkapan serta penahanan terhadap para tersangka. Penahanan terhadap keduanya dilakukan penyidik berdasarkan alasan subjektif dan objektif.
‘’Alasan subjektif adalah dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Selain itu dikhawatirkan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Alasan objektif bahwa ancaman hukuman yang dipersangkakan terhadap kedua tersangka di atas lima tahun penjara,’’ tutur dia di Mapolda, Senin (3/1) tengah malam.
Sebagaimana diketahui, kasus ini berawal dari ceramah Habib Bahar yang diduga berisi berita bohong dan ujaran kebencian di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, pada 11 Desember 2021. Isi ceramah yang diduga berisi ujaran kebencian tersebut itu kemudian diunggah oleh TR di akun YouTube hingga viral. Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Polda Matro Jaya bernomor B 6354/12/2021 SPKT PMJ 2021. Namun karena tempat kejadian perkaranya berada di wilayah hukum Polda Jabar, pihak Polda Metro kemudian melimpahkan berkas laporan tersebut.
Sumber: republika.co.id