Pelajaran Penting dari Persatuan Umat secara Nasional

Pelajaran Penting dari Persatuan Umat secara Nasional

Oleh: Assoc. Prof H. Mohammad Ghozali, S.H, M.A, P.hD

Pimpinan PP Tahfidz al Quran Imam al Ghazali, Dosen Fakultas syariah dan Pasca Sarjana Universitas Darussalam Gontor, Mubaligh CMM, Dewan Pakar MIUMI Malang, Dewan Pakar Ansharu Syariah, Dewan Pakar ICMI Jatim, Dewan Pakar MPUII

“Maka tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya,” ( QS.Syura : 13 ).

Apabila kita menengok secara historis, kedatangan kaum penjajah Portugis dan Belanda ke bumi Nusantara selain dengan tujuan ekonomi dan perdagangan juga tersirat misi agama sebagaimana diungkapkan oleh DAl Buquerque , komandan perang Portugis sewaktu menaklukkan Melaka di depan pasukannya : “Jasa yang akan kita berikan kepada Tuhan adalah dengan mengusir orang Moor (maksudnya orang Islam ) dari negeri ini, adalah dengan memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan menyebar lagi sesudah ini, saya yakin benar jika kita rampas perdagangan Malaka ini dan mereka (umat Islam ) Kairo dan Mekkah akan hancur”. 

Melihat niat yang tersirat tersebut, maka Raden Fatah penguasa Kerajan Islam Demak pada tahun 1513 mengirim Adipati Yunus, putera sulungnya untuk memimpin pasukan menyerang Portugis di Melaka.

Sejak inilah berawal perlawanan umat Islam nusantara atas penjajah Portugis dan Belanda baik yang dilakukan oleh kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam Mataram, Kerajaan Islam Makassar, Kerajaan Islam Ternate, Kerajaan Islam Madura, Kerajaan Islam Aceh, sehingga sejarah mencatat bahwa pahlawan bangsa merupakan tokoh pemimpin yang mempunyai semangat Islam yang kuat atau ulama yang berpengaruh di zamannya seperti Raden Fatah, Sunan Gunung Jati dari Kerajan Demak, Sultan Khairun dan Pengeran Babullah dari Ternate, Sultan Agung dari Kerajan Islam Mataram, Sultan Hasanuddin dari Kerajan Islam Makasar, Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Tengku Umar, Cik Ditiro, dari Aceh, semuanya mengangkat senjata mempertahankan bumi nusantara dari tangan penjajah.

Setelah ratusan tahun perlawanan terjadi terus menerus dari satu daerah ke daerah yang lain belum juga mendapatkan kemenangan, maka akhirnya para pemimpin dan ulama berusaha untuk melakukan perjuangan dalam bentuk organisasi yang menghimpun segala kekuatan Islam dari seluruh daerah di bumi Nusantara, sehingga tercetuslah organisasi Syarekat Dagang Islam pada 16 oktober 1905 di kota Solo, Jawa Tengah. Syarekat Dagang Islam tersebut merupakan wadah bagi berkumpulnya pemimpin Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dimana anggota organisasi ini terdiri dari ulama dan pemimpin Islam dari seluruh daerah di Indonesia.

Berbeda dengan Budi Utomo yang berdiri pada 1908 dimana angota kumpulannya kebanyakan terdiri dari tokoh masyarakat Jawa sahaja.

Syarikat Dagang Islam kemudian berubah menjadi Syarikat Islam, sehingga perhatian organisasi bukan hanya pada ekonomi umat, juga kepada perjuangan kemerdekaan. Kyai Haji Ahmad Dahlan melihat bahwa kebangkitan bangsa harus dimulai dengan kebangkitan sosial pendidikan, sebab selama ini kelemahan umat terletak pada lemahnya umat Islam dengan adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum, menjadi ilmu sekular, sehingga pada tahun 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.

Kesadaran umat untuk bangkit dengan memperbaiki keadaan sosial dan pendidikan ini terus berlanjut, sehingga tak lama kemudian berdiri pula organisasi Al Irsyad pada tahun 1913 di Jakarta, organisasi Persyarikatan Ulama pada tahun 1915 di Majalengka, Jawa Barat; organisasi Persatuan Islam ( Persis ) pada tahun 1923 di Bandung, organisasi Nahdathul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, organisasi al Washliyah pada tahun 1930 di Medan, dan lain sebagainya.

Dari sejarah terlihat bahwa pada mulanya perlawanan umat islam dilakukan dengan senjata, oleh kerajaan-kerajaan Islam , dilanjutkan dengan melengkapi perjuangan kebangsaan melalui perjuangan sosial dan pendidikan yang dilakukan melalui organisasi sosial kemasyarakatan. Perjuangan tersebut yang dilakukan dengan emosi perlawanan dan organisasi sosial pendidikan semuanya dengan landasan iman kepada Allah.

Landasan iman inilah yang disebut dengan semangat keagamaan, sedangkan perjuangan senjata atau sosial pendidikan merupakan cara berjuang yang dilakukan berasaskan semangat keagamaan berdasarkan agama dan iman.

Berdirinya organisasi keagamaan tersebut membuat penjajah merubah strategi untuk mengalahkan umat Islam. Untuk melawan semangat keagamaan, maka penjajah Belanda mendirikan organisasi politik yang berideologi Marxisme-Komunisme dengan nama Indisceh Social Democratische Vereeniging ( ISDV) yang dipimpin oleh H.J.F.M.Sneevliet dan  A.Baars pada tahun 1914 di Semarang.

Selanjutnya ISDV tersebut berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Disamping itu kaum penjajah berusaha memecah persatuan umat Islam dengan membesar-besarkan perselisihan pandangan agama antar ormas-ormas Islam dengan membangkitkan perbedaan-perbedaan madzhab. Diharapkan dengan demikian ormas Islam tidak akan bersatu untuk menghadapi penjajah, tetapi sibuk dengan pertentangan serta perselisihan antar mereka sendiri.

Melihat keadaan demikian, maka pada suatu hari Kyai Haji Hasyim Asyari pada kongres ulama Nahdatul Ulama tahun 1935 di Banjarmasin berkata dalam pidatonya kepada para ulama : “Wahai ulama-ulama yang telah taassub (fanatic) kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat ulama ! Tinggalkanlah taassubmu dalam soal furu(ranting-ranting) itu ! Dan tidak diridhai oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam apalah lagi jika pendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata taasshub dan berebut-rebutan dan berdengki-dengkian”.

Lebih lanjut beliau menyatakan : “Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar dan bermusuh-musuhan. Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina-menghinakan, pecah-memecahkan, padahal agama kita hanya satu belaka Islam” .

Seruan KH.Hasyim Asyari ini mendapat tanggapan positif dari berbagai tokoh umat Islam, sehingga pada tanggal 21 September 1937, atas inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur dari organisasi Muhammadiyah, KH Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, dan Wondoasmiseno dari Persatuan Syarekat Islam Indonesia terbentuklah Majelis Islam Ala Indonesia ( MIAI ) di Surabaya.

Organisasi Islam yang dipimpin oleh para ulama sadar bahwa ada kemungkinan adanya perpecahan khilafiyah disebabkan perbedaan hukum ranting fikih (furuiyah) atau disebabkan oleh intrik musuh-musuh Islam, maka mereka senantiasa menyatukan diri dalam wadah untuk memudahkan bermusyawarah.

Bagi umat Islam, selama pendapat tersebut masih berpegang kepada nash al Quran dan Hadits, maka mereka akan bersatu, sedangkan masalah khilafiyah adalah suatu yang wajar sebab setiap pendapat imam mempunyai dalil daripada kitab suci al Quran dan Hadist.

Perbedaan tersebut harus dilakukan dengan adab berbeda pendapat sehingga perbedaan tersebut tidak menimbulkan perselisihan dan tidak memecah persatuan umat. Inilah kekuatan umat yang menjadi nilai utama dalam kebangkitan bangsa. Semua sepakat bahwa perhatian yang paling utama adalah menghadapi musuh-musuh Islam yaitu penjajah Belanda dengan budaya barat kristiani, gerakan komunis atheis yang sedang berkembang dengan pesatnya, serta nilai-nilai mistik-kejawen yang berunsurkan syirik yang harus dihadapi secara strategis dan praktis.

Dan tidak kalah pentingnya harus waspada terhadap gerakan penguasaan ekonomi global cina sebagai model penjajahan terbaru.

Ini adalah merupakan pesan al Quran kepada umat Islam yang tersirat pada surat Syura ayat 13 : “Maka tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah”. Persatuan umat meruoakan kunci kebangkitan dan kemenangan umat sebagaimana dinyatakan dalam al Quran surah Al Anfal ayat 46 : “Taatlah kamu kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berpecah belah, sebab itu akan membuatmu gagal dan hilang kekuatan”.

Semoga umat Islam tetap sadar bahwa organisasi dan perbedaan paham bukan menjadi sebab kepada perpecahan, sebab itu menjadi penyebab kekalahan.

Dengan munculnya gerakan 212 merupakan gambaran kesadaran umat terhadap ketidak mapanan dan ketidak adilan merupakan refleksi berulangnya sejarah yang ada di negeri ini. Mari kita tetap bersatu semua anak bangsa jangan rela di adu domba. Fatabiru Ya Ulil albab

Bagikan