Para Ulama yang Dizalimi dan Wafat di Penjara

Para Ulama yang Dizalimi dan Wafat di Penjara

(Jurnalislam.com)–Menengok kepada sejarah, sebenarnya sudah tidak asing lagi mendengar perlakuan penguasa yang sangat ironi terhadap ulama-ulama, dalam hal ini ulama yang dimaksud adalah ulama-ulama yang berani menyuarakan kebenaran. Mengapa dikatakan ironi? Karena, bagi muslim meskipun ia seorang penguasa maka sepatutnyalah ia menjalankan pesan nabiyullah Muhammad SAW :

أكرموا العلماء فإنهم عند

الله كرماء مكرمون

Artinya:

“Hendaknya kamu semua memuliakan ulama, karena mereka itu orang-orang yang mulia menurut Allah dan dimuliakan.” (Kitab Lubabul Hadits)

Kritisnya ulama, teguran ulama, kemuliaan yang diberikan masyarakat pembelajar kepada ulama seolah menjadi api dalam sekam bagi penguasa, yang dengan cepat bisa menghanguskan keberlangsungan penguasa. Rupanya ini seperti sebuah ancaman besar bagi penguasa, kecuali bagi penguasa yang bijaksana, cerdas, berpikiran terbuka, lembut hatinya dan takut pada Allah yang akhirnya akan sejalan dengan ulama.

Tulisan saya yang lalu berjudul ‘Ulama-ulama Yang Diburu Penguasa’ sedikit menceritakan tentang ulama-ulama terdahulu yang ditangkap dan disiksa bahkan dibunuh oleh penguasa, berawal dari fitnah atau tuduhan yang dibuat-buat untuk memenjarakan ulama-ulama.

Seperti halnya yang terjadi pada Imam Syafi’i, beliau pernah dirantai besi dan digiring dari Yaman hingga Raqqah (Baghdad) tempat penguasa tinggal saat itu, karena fitnahan yang menuduh beliau bergabung dengan Syi’ah Rafidhah dan merencanakan perlawanan kepada penguasa.

Syukurlah penguasa saat itu adalah seorang yang bijaksana, cerdas dan lembut hatinya yaitu Harun al-Rasyid, sehingga saat segala tuduhan tidak terbukti, Imam Syafi’i pun dibebaskan. Berbeda dengan Imam Hambali, beliau menghadapi penguasa yang memperturutkan hawa nafsu, memaksa ulama-ulama untuk menyetujui pemahamannya bahwa Al-Quran adalah makhluk, tentu Imam Hambali menolak ini, alhasil Imam Hambali dipenjara dan disiksa, beliau dicambuk hingga hampir pakaiannya terlucut. Imam Hambali baru bebas dari penjara setelah berganti penguasa.

Berbeda dari Imam Syafi’i dan Imam Hambali meski keduanya pun menerima siksaan berat yang tidak patut diterima oleh seorang ulama, ada yang lebih menyayat hati yaitu ulama-ulama yang disiksa dipenjara hingga menghilangkan nyawanya, memadamkan cahaya sehingga sang ulama tak dapat lagi menyebarkan keberkahan ilmu yang hakikatnya dapat menyelamatkan manusia.

Berikut daftar ulama-ulama terdahulu yang wafat dipenjara :

  1. IMAM AL-BUWAYTHI

Imam Al-Buwaythi adalah murid andalan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i pernah memujinya dengan mengatakan “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak menggantikanku dalam majlisku ini dari Abu Ya’qub (Al-Buwaythiy). Dan tak ada seorang pun dari sahabatku yang lebih pandai dari dia.”

Kepandaian dan kemuliaan Imam Al-Buwaythi membuat cemburu petinggi-petinggi negara, dimana kala itu penguasa dan petinggi negara sedang digandrungi pemahaman Muktazilah yang salah satu pemahamannya adalah ‘Al-Quran merupakan makhluk’. Pemahaman Muktazilah banyak ditentang ulama-ulama dan ini kerap dimanfaatkan oleh petinggi-petinggi negara untuk kepentingan politik, salah satunya adalah menyingkirkan ulama yang dicemburuinya.

Imam Al-Buwaythi yang dicemburui oleh Muhammad bin Abi Laits seorang qadlil qudlat (kepala kehakiman) Mesir menjadi sasaran untuk disingkirkan melalui pemahaman Muktazilah ini. Tentu, Imam Al-Buwaythi dengan tegas menolak pemahaman bahwa Al-Quran adalah makhluk, beliau pun dipenjara dengan tangan tetap diborgol.

Didalam penjara, setiap menjelang hari Jum’at Imam Al-Buwaythi mencuci bajunya, membersihkan dirinya, mandi dan memakai wewangian. Tatkala mendengar adzan berkumandang sebagai panggilan untuk sholat Jum’at maka beliau menuju ke pintu penjara.

Sipir pun bertanya, “Hendak kemana engkau?”

Imam Al-Buwaythi menjawab, “Aku hendak memenuhi panggilan Allah.”

Sang sipir pun berkata, “Kembalilah (ke selmu), semoga engkau dirahmati Allah.” Imam Al-Buwaythi kemudian menyahuti, “Ya Allah, sesungguhnya aku hendak memenuhi panggilanmu. Tapi mereka menghalangiku.”

Imam Al-Buwaythi meninggal dipenjara dalam keadaan tetap terborgol.

 

  1. IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Sejak kecil beliau begitu sibuk memperdalam ilmu agama sehingga keilmuan beliau pun sangat mumpuni dengan dibuktikan oleh buku-buku karyanya yang luar biasa. Imam Syafi’i pun memberi pujian pada Imam Abu Hanifah,

“Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fiqih” (Imam Syafi’i)

Kecerdasan Imam Abu Hanifah atau biasa dipanggil Imam Hanafi terdengar oleh salah seorang menteri Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur yang sedang menjabat kala itu. Menteri pun mengusulkan nama Imam Hanafi saat sang khalifah sedang mencari orang untuk didudukan sebagai hakim di kekhalifannya.

Sebagai Khalifah yang sedang berkuasa, tentu Abu Ja’far Al-Mansur merasa percaya diri bahwa tidak akan ada yang menolak permintaannya. Beliau pun mengutus utusan untuk menemui Imam Hanafi agar menghadap khalifah. Namun diluar perkiraan, ternyata Imam Hanafi tidak langsung menerima panggilan khalifah, Imam Hanafi menjawab panggilan khalifah dengan jawaban “Aku akan istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk kepada Allah. Jika hatiku dibuka maka akan aku terima. Jika tidak, maka masih banyak ahli fiqih lain yang dapat dipilih oleh Amirul Mukminin (khalifah)”.

Waktu pun berlalu lama, namun Imam Hanafi tak kunjung juga memenuhi panggilan khalifah. Khalifah pun mengutus kembali utusan agar Imam Hanafi menghadap khalifah. Imam Hanafi pun memenuhi panggilan khalifah untuk menghadap namun rupanya untuk menyampaikan penolakannya dijadikan hakim. Khalifah tidak putus asa membujuk Imam Hanafi agar mau menjadi hakim, mereka terlibat diskusi dan debat yang cukup lama namun Imam Hanafi tetap menolak tawaran khalifah, alasannya adalah jika seorang ulama masuk kejajaran pemerintahan dibawah penguasa, maka ia akan kesulitan untuk menyampaikan kebenaran.

Atas penolakan Imam Hanafi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur pun tersinggung sekali, ia memerintahkan pengawalnya mencambuk Imam Hanafi dengan seratus cambukkan dan menjebloskannya ke penjara.

Beberapa hari kemudian kerabat khalifah menegur khalifah atas perlakuannya terhadap Imam Hanafi. Khalifah pun memerintahkan pegawainya untuk memberi 30 dirham sebagai ‘ganti derita dan membebaskan Imam Hanafi. Namun diluar dugaan kembali, Imam Hanafi menolak ‘ganti derita’.  Hal ini menimbulkan kemarahan khalifah dan menjebloskan kembali Imam Hanafi kepenjara. Namun para menteri mengusulkan agar Imam Hanafi dijadikan tahanan rumah saja, tidak boleh bergabung dan duduk bersama masyarakat, tidak boleh pula keluar rumah.

Dalam masa tahanan rumah, Imam Hanafi jatuh sakit yang makin lama makin parah sakitnya yang akhirnya membuat Imam Hanafi wafat dalam tahanan rumah. Dalam riwayat lain, Imam Hanafi wafat dipenjara setelah memakan makanan yang telah diracun, dan riwayat yang lain lagi Imam Hanafi wafat karena disiksa terus menerus di penjara.

Berita kematian Imam Hanafi menghadirkan duka yang dalam bagi ummat Islam kala itu, sehingga ulama Kuffah berkata “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaliber dia selamanya”.

Imam Hanafi dishalatkan lebih dari 50.000 orang, dalam 6 kali putaran yang ditutup oleh shalat anaknya Hammad.

 

 

  1. IBNU TAIMIYAH

Ibnu Taimiyah selama hidupnya ia berpindah dari penjara ke penjara karena tuduhan yang dibuat-buat dan kedengkian padanya.

Kemuliaan dan pujian yang diberikan kepada beliau dari ulama-ulama terkenal pada masanya membuat hati-hati yang kotor menjadi cemburu kepadanya.

Salah satu pujian itu seperti yang diungkapkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzy “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah … dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”

Penjara itu berawal dari seorang Nasrani bernama Assaf yang menghina Nabi Muhammad SAW dan disaksikan kaum muslimin. Mendengar kabar penghinaan itu Ibnu Taimiyah segera menemui Zainuddin Al-Fariqi seorang guru di Darul Hadits pada masanya. Mereka sepakat untuk mengangkat penghinaan itu kepada pejabat pemerintah di Damaskus, Izzuddin Ubaik.

Assaf bersama kuasa hukumnya yang sekaligus menyewa dirinya untuk menghina Nabi Muhammad SAW didatangkan dalam persidangan, namun dalam persidangan Ibnu Taimiyah dan Syaikh Zainuddin kalah dan mereka berdua yang melaporkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW malah justru mendapatkan hukuman.

Assaf pun mengaku telah masuk Islam. namun kemudian ia dibunuh oleh keponakannya sendiri. Peristiwa ini menginspirasi Ibnu Taimiyah dan menghasilkan sebuah karya buku berjudul “Ash-Sharimul Maslul ala Syatimir Rasul (Pedang Terhunus atas Penghina Rasul SAW)” yang menjadi rujukan umat muslim dalam menghadapi penghina Nabi Muhammad SAW.

Penjara selanjutnya di Kairo. Di Kairo dari penjara Burj Ibnu Taimiyah dipindah ke penjara Qal’atul Jabal.

Setelah bebas dari penjara Kairo, Ibnu Taimiyah kembali dipenjara di Mesir. Ditahan selama dua pekan, karena Ibnu Taimiyah menulis sebuah buku tentang istighatsah yang dikenal dengan bantahan atas pemikiran para pengikut Abu Bakar Al-Arabi yang merupakan tokoh sufi.

Kemudian penjara yang terakhir adalah penjara Qal’ah Dymasiq, beliau dipenjara bersama murid setianya yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah.

Selama di penjara, Ibnu Taimiyah mendapatkan waktu yang banyak untuk membaca dan menulis sejumlah buku yang kemudian dikirim ke luar penjara.

Sampai-sampai penguasa saat itu meminta agar kitab, kertas, tinta dan pena yang digunakan Ibnu Taimiyah dikeluarkan dari dalam penjara agar Ibnu Taimiyah tidak dapat menulis karya lagi.  Ibnu Taimiyah pun dilarang membaca. Namun tak putus asa, Ibnu Taimiyah tetap menulis dengan arang.

Beliau berada di penjara terakhir selama dua tahun tiga bulan, mengalami sakit dua puluh hari lebih dan wafat didalam penjara dihadapan muridnya yang setia Ibnu Qayyim Al Jauziyah.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Dari kisah-kisah ulama terdahulu. Mungkin dapat direnungi, adakah kesamaan dengan nasib ulama-ulama kini. Dari tuduhan yang dibuat-buat, kecemburuan terhadap ulama yang diberi kemuliaan oleh masyarakat, kemudian wafatnya ulama di dalam penjara belum lama ini. Wallahu a’lam.

 

Penulis : Jumi Yanti Sutisna

 

 

 

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.