MUI Diharap Jadi Teladan di Era Disrupsi

MUI Diharap Jadi Teladan di Era Disrupsi

JAKARTA(Jurnalislam.com)— Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan bahwa milad (ulang tahun) merupakan momentum yang penting untuk melakukan konsolidasi organisasi, serta konsolidasi ide dan pemikiran.

Untuk hal demikian diperlukan tumbuhnya gagasan ataupun pemikiran yang dapat merefleksikan semangat untuk mengatasi fenomena-fenomena aktual, yang dapat dinilai sebagai tantangan zaman.

“MUI harus terus berkhidmah menyampaikan pesan-pesan mulia, ajaran luhur kepada umat melalui jalan dakwah dan tarbiyah sehingga maqasyidus-syariah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Wamenag pada peringatan Milad MUI ke 45 yang digelar secara virtual, di Jakarta, Jumat (07/08).

Menurutnya, milad juga berarti mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt atas segala limpahan karunia-Nya hingga MUI saat ini tetap eksis dan terus dapat memberikan manfaat kepada umat.

“Ini juga sekaligus sebagai wadah untuk bermuhasabah dan refleksi terhadap perjalanan MUI hingga saat ini. Semoga MUI terus eksis dan milad MUI ini menjadi momentum bagi kita bersama untuk meneguhkan kembali komitmen dan jati diri diri MUI sebagai wadah ulama, zuamah dan cedikiawan muslim, untuk meneguhkan peran dan fungsinya melakukan himayatul ummah, takwiyatul ummah dan tauhidul ummah,” tambahnya.

Wamenag menilai bahwa tantangan MUI ke depan tidaklah ringan, terlebih saat ini kita hidup di tengah revolusi industri 4.0 dan era disrupsi.

“Salah satu tantangan era disrupsi sekarang ini adalah munculnya fenomena semakin banyak orang yang belajar dan memperoleh informasi keagamaan lewat internet dan media sosial. Namun boleh jadi sumber informasi keagamaan tersebut tidak mempunyai sumber informasi keagamaan yang otoritas tepat atau tidak memiliki jalur sanad yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Wamenag

Dulu, lanjutnya, relasi antara umat dan ulama hadir dalam peristiwa temu muka pada ruang dan waktu, sehingga relasi tersebut sangat bersifat personal, terbatas, khusuk dan khidmat. Persoalan dapat diselesaikan pada ruang-ruang yang khusus dengan etika keilmuan dan keulamaan yang luhur.

“Kita sekarang ini sering menjadi saksi bahwa disrupsi hadir seiring dengan peralihan komunikasi antara manusia, yang biasanya bersifat personal dan bertemu tatap muka tergantikan dengan media sosial,” tambahnya.

Wamenag melhat, bahwa interaksi manusia pada media sosial bersifat artifisial atau malah sebaliknya, begitu fulgar dan mengabaikan kesopanan yang berlaku di dunia nyata. Namun, di tengah arus media sosial tersebut, MUI harus terus dapat memberikan teladan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa seperti penggunaan media sosial dan tertuang menjadi panduan bagi masyarakat sebagaimana terangkum dalam hasil Munas MUI ke9 tahun 2015 di Surabaya.

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.