Menhan Sudan Tolak Usulan Gencatan Senjata AS, Tegaskan Perang Lawan RSF Akan Dilanjutkan

Menhan Sudan Tolak Usulan Gencatan Senjata AS, Tegaskan Perang Lawan RSF Akan Dilanjutkan

KHARTUM (jurnalislam.com)– Menteri Pertahanan Sudan, Hassan Kabroun, menegaskan bahwa militer Sudan akan terus memerangi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) meskipun Amerika Serikat mengajukan proposal gencatan senjata baru. Pernyataan itu disampaikan pada Selasa (4/11), setelah Dewan Keamanan dan Pertahanan Sudan menggelar pertemuan di Khartum.

“Kami berterima kasih kepada pemerintahan Trump atas upaya dan proposalnya untuk mencapai perdamaian,” kata Kabroun dalam pidato yang disiarkan televisi pemerintah.
Namun ia menegaskan, “Persiapan kami untuk perang adalah hak nasional yang sah. Rakyat Sudan sedang mempersiapkan pertempuran untuk membela negaranya.”

Pemerintah Sudan belum mengungkapkan rincian proposal gencatan senjata dari AS.

Perang antara militer dan RSF telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan warga mengungsi selama dua tahun terakhir. Dalam beberapa hari terakhir, konflik semakin meluas ke wilayah-wilayah baru, meningkatkan kekhawatiran akan bencana kemanusiaan yang lebih besar.

𝗔𝗦 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗸𝘂𝘁𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗗𝗼𝗿𝗼𝗻𝗴 𝗚𝗲𝗻𝗰𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝘁𝗮

Pemerintahan Donald Trump kini berupaya menengahi konflik Sudan setelah sebelumnya terlibat dalam diplomasi di Afrika dan Timur Tengah. Namun, otoritas yang berafiliasi dengan militer Sudan menolak proposal gencatan senjata sebelumnya karena menganggapnya mengecualikan militer dan RSF dari proses politik transisi.

Diskusi terbaru ini muncul setelah RSF merebut kota strategis Al-Fasher, benteng terakhir tentara di wilayah Darfur.
Paramiliter pimpinan Hamdan Daglo (Hemeti) kini dilaporkan tengah mempersiapkan serangan ke wilayah Kordofan di bagian tengah Sudan.

Para pengungsi dari Al-Fasher menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh RSF.
Seorang warga, Mohamed Abdullah (56), mengatakan kepada AFP bahwa ia dan keluarganya dihadang RSF saat melarikan diri dari kota tersebut.

“Mereka meminta ponsel, uang, dan semua barang kami. Mereka menggeledah kami dengan brutal,” ujarnya.

Abdullah juga menyebut melihat “sesosok mayat di jalan yang tampak dimakan anjing” dalam perjalanan menuju Tawila, sekitar 70 kilometer dari Al-Fasher.

𝗟𝗶𝗴𝗮 𝗔𝗿𝗮𝗯 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗕𝗕 𝗦𝗲𝗿𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗲𝗻𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻

Utusan khusus Presiden Trump untuk Afrika, Massad Boulos, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty dan pejabat Liga Arab di Kairo. Dalam pertemuan itu, Abdelatty menekankan pentingnya “upaya bersama untuk mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan dan membuka jalan bagi proses politik yang komprehensif.”

Liga Arab menyebut Boulos telah melaporkan kepada Sekjen Ahmed Aboul-Gheit tentang upaya diplomasi AS untuk menghentikan perang, mempercepat bantuan kemanusiaan, dan memulai proses politik.

Sebelumnya, kelompok Quad yang terdiri dari AS, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi telah menawarkan gencatan senjata tiga bulan pada September lalu, disusul rencana transisi sembilan bulan menuju pemerintahan sipil. Namun, rencana itu ditolak oleh pihak militer Sudan.

𝗗𝘂𝗴𝗮𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗷𝗮𝗵𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝗔𝗹-𝗙𝗮𝘀𝗵𝗲𝗿

Sejak jatuhnya Al-Fasher ke tangan RSF, berbagai laporan muncul tentang pembunuhan massal, kekerasan seksual, penjarahan, dan penculikan.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Senin (3/11) menyampaikan “keprihatinan mendalam” atas laporan tersebut dan menyebut tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam forum di Qatar, menyerukan kepada kedua pihak untuk segera “mengakhiri mimpi buruk kekerasan ini.”

“Krisis mengerikan di Sudan semakin di luar kendali,” ujar Guterres.

Di ibu kota Khartum, yang berada di bawah kendali militer Sudan, ratusan warga menggelar aksi protes pada Senin (3/11) menentang kekejaman RSF. Sejumlah anak-anak terlihat membawa spanduk bertuliskan:
“Jangan bunuh anak-anak, jangan bunuh perempuan.”

Spanduk lain berbunyi: “Milisi membunuh perempuan Al-Fasher tanpa ampun.”

UEA sebelumnya dituduh oleh PBB memasok senjata kepada RSF, tuduhan yang berulang kali dibantah.
Sementara itu, militer Sudan diketahui mendapat dukungan dari Mesir, Arab Saudi, Turki, dan Iran, menurut para pengamat.

Kejatuhan Al-Fasher menandai dominasi penuh RSF atas lima ibu kota wilayah Darfur, memperkuat kekhawatiran bahwa Sudan kini terbelah dua secara de facto:
RSF menguasai Darfur dan bagian selatan, sementara tentara mengendalikan wilayah utara, timur, dan tengah di sepanjang Sungai Nil serta Laut Merah. (Bahry)

Sumber: TNA

Bagikan