Mengajar Al Qur’an Selaras Dengan Perkembangan Anak

Orang tua mana yang tidak bangga jika memiliki anak di usia dini (seusia anak SD) sudah pintar membaca Al Qur’an. Terlebih lagi yang mampu hafal Al Qur’an 30 Juz. Mungkin, tidak hanya orangtuanya yang bangga, tapi orang lain pun akan sangat kagum dengan kehebatan anak kita.

Sayangnya, pada zaman kita saat ini munculnya seorang anak yang masih kecil hafal Al Qur’an, menjadi barang yang sangat langka, hal ini tentu bertolak belakang dengan anak-anak jaman sekarang,  umumnya mereka tidak bisa membaca Al Qur’an.

Begitu semangatnya para orang tua yang ingin anaknya menguasai dan hafal Al Qur’an 30 Juz di usia dini, telah mendorong para orang tua melakukan usaha dengan berbagai cara. Entah cara tersebut selaras atau tidak dengan perkembangan jiwa anak, entah sesuai atau tidak dengan hak-hak anak, yang penting anak bisa hafal Al Qur’an.

Akhirnya, keinginan dan harapan untuk bisa hafal Al Qur’an di usia dini bukan merupakan kesadaran seorang anak yang ditanamkannya sejak dini. Tetapi lebih pada keinginan para orang tua yang cenderung dipaksakan. Lucunya lagi, orang tuanya justru banyak yang tidak bisa atau tidak punya kemampuan dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Jika kita mengamati perjalanan proses belajar mengajar di lembaga semacam pondok pesantren yang menampung anak-anak kecil seusia SD, untuk dididik menjadi penghafal Al-Qur’an 30 Juz. Mereka tinggal di pondok selama 24 jam dan jauh dari orang tua. Padahal sebenarnya anak seusia SD masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian orang tuanya.

Masa kecil adalah masa di mana seorang anak ingin dekat dengan orang tuanya dan ingin mendapatkan bimbingan langsung dari orang tua. Hanya karena idealisme orang tualah, akhirnya mereka harus rela terpisah dengan orang tua. Jika pun mereka dapat bertemu hanya sesaat semata, kalaupun ingin memberikan perhatian pada sang buah hati biasanya uang saja yang datang.

Jika saja seorang anak bisa berargumen, mungkin dirinya akan mencoba meluruskan idealisme orang tuanya. Akan tetapi bagaimana mungkin anak sekecil itu mampu menolak. Bahkan, dia menangis meronta pun orangtua akan tetap bersikukuh meninggalkannya di pesantren bersama sang ustadz. Karena orang tua, senantiasa memberikan nasehat, bahwa semua yang dilakukannya demi masa depan dirinya.

Keinginan orang tua untuk memiliki anak yang hafal Al Qur’an 30 juz dengan cara seperti ini,  jelas tidak realitis dengan kondisinya. Dirinya berkeinginan anaknya bisa hafal Al Qur’an 30 juz, bagaikan sosok Imam Syafi’i yang mampu hafal Al Qur’an 30 Juz di usia dini, yakni 7 tahun. Tetapi perangkat dan kemampuan yang dimiliki para orang tua tidak cukup memberikan dukungan terhadap cita-cita tersebut. Beberapa perbedaan nyata antara kita dan Imam Syafii antara lain:

  1. Silsilah atau garis keluarga, kebanyakan kita tidak memiliki sisilah keluarga yang paham Islam ataupun hafal Al Qur’an, beda jauh dari silsilah imam Syafii bukan?
  2. Lingkungan dimana kita tinggal, tidak sebagaimana lingkungan zaman Imam Syafi’i, yang begitu menghargai pendalaman ilmu Al-Quran.
  3. Dari sisi bahasa, bukankah membaca buku dalam bahasa Indonesia jauh lebih mudah dibanding bahasa lain? Lalu kira-kira, orang mana yang lebih mudah memahami sekaligus menghafal Al Quran?.

Saya tidak bermaksud untuk menghalangi Anda mendidik anak usia dini bisa hafal Al Qur’an, asal keinginan tersebut memang selaras dengan perkembangan anak dan tidak perlu harus ditarget untuk hafal 30 Juz di usia dini (yang terpenting bisa hafal Al Qur’an, mungkin di usia SLTA baru hafal Al Qur’an, atau syukur-syukur di usia SLTP sudah hafal Al Qur’an 30 Juz),  terlebih lagi jika keinginan tersebut harus memisahkan anak anda dari diri anda selaku orang tua.

Biarkan anak Anda menikmati masa kanak-kanaknya dengan nyaman berserta Anda disampingnya. Penuhilah hak anak dengan sempurna,  agar dia kelak nanti ketika tumbuh besar atau dewasa tidak menuntut haknya kembali pada Anda selaku orang tua. Berikan kasih sayang dengan tulus dengan baik, selagi mereka bersama-sama Anda. Ajarkan Al Qur’an pada anak kita dengan semampunya dan alamiyah saja, tanpa harus menghilangkan hak anak kita bermain, tanpa harus memisahkan anak kita dari kita selaku orang tua.

Mengajarkan Al-Qur’an selaras dengan perkembangan anak, sebagaimana yang saya sampaikan di atas akan terwujud dengan baik, jika pengajaran Al-Qur’an tersebut langsung dipegang oleh para orang tua atau bisa juga Anda titipkan pada seorang guru qiroah, namun anak Anda setiap hari masih bisa ketemu dengan Anda.

Kalau kita melihat hikmah pengajaran shalat untuk anak. Rasulullah n memberikan tuntunan pada usia 7 tahun anak diajak dan disadarkan untuk sholat, jadi tanpa diberikan sanksi, tetapi jika anak sudah mencapai usia 10 tahun anak tetap tidak sholat, ia baru diseri sanksi. Jika seorang anak sudah baligh maka ia tidak boleh meninggalkan sholat sampai akhir hayat.

Jika untuk shalat yang merupakan kewajiban yang paling utama saja, Islam sangat menghormati perkembangan dan kepribadian anak, sampai benar-benar siap dan mampu menjalankan amanah dengan benar. Tapi, mengapa dalam bersoalan membaca Al Qur’an kita seringkali mengabaikan perkembangan dan kepribadian anak.

Saya punya pengalaman yang menarik terkait tema di atas, tepatnya pada saat saya dulu mengajar tahfizh shighor (anak-anak usia SD) di salah satu pondok pesantren. Pada waktu itu, anak-anak yang saya bimbing berumur 6 hingga 9 tahun, proses bimbingan tahfizh yang lakukan tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan target dan kualitas hafalan pun sangat buruk sekali, saya sediri waktu itu heran dan bertanya-tanya.

Setelah saya selidiki, ternyata banyak dari mereka yang sering menangis tanpa sebab, ketika ditanya, mereka menjawab,  ”Kangen sama Umi”. Saat saya membimbing mereka, mereka umumnya mengalami kegoncangan kepribadian, tidak seperti anak-anak yang tumbuh bersama orang tuanya.

Bahkan belum lama ini saya mendengar dari seorang teman lama, bahwa anaknya si A yang dulu –pada saat mondok- berumur 6 tahun itu, sekarang telah telah berumur 20 tahun. Saat ini anaknya sudah tidak mau mondok dengan alasan bosan, tidak mau sekolah dan juga tidak mau bekerja. Aktivitasnya di rumah hanya bersama Uminya, santai, bermain-main dan berjalan-jalan saja.

Dia juga tidak mau merampungkan menghafalnya Seakan anak ini ingin mengganti masa kecil dulu yang takkan pernah kembali, padahal sekaranglah seharusnya dirinya siap untuk ke luar untuk beramal dan mencari pengalaman hidup. Cerita yang saya sampaikan ini mungkin saja mewakili sekian banyak anak yang terampas hak-haknya oleh para orang tuannya sendiri.

Sebagai akhir tulisan, semestinyalah pendidikan Al Qur’an anak-anak kita kembali kepada diri kita selaku orang tua. Sebagai ibu yang amanah, wajib bagi kita membekali diri kita dngan Al Qur’an, sehingga tidak perlu kita renggut kebebasan masa kecil anak kita dari bermain dan dekat bersama kita. Allahummarhamnaa bil Quran..

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.