JURNALISLAM.COM – Tidak hanya Syeikh al Maqdisi menjawab permasalahan umat terkait fenoma politik di Suriah, tentang bagaimana Muslim bersikap atas dinamika disana, Syeikh Abu Qatadah al Filistin pun angkat bicara ketika gelombang pertanyaan mengalir pada dirinya, berikut jawaban Syeikh Abu Qatadah yang di muat Channel Al Maqalaat, Selasa (24/10/2017):
“Pertanyaan dari seorang ikhwan, apakah orang yang menahan diri untuk tidak menyatakan kafir terhadap Erdogan dianggap berasal dari mereka yang memiliki pengetahuan Aqidah?
Syaikh Abu Qatadah Al-Filistini:
Ada dua kelompok, yang satu menahan diri mentakfirkan seseorang dan yang lainnya menyatakan Takfir (mengkafirkan) terhadap seseorang. Alasan perbedaan ini bisa dilacak pada dasar vonis (fatwa). Apakah dasar fatwanya?
Pondasi yang pertama adalah mengetahui situasi apa adanya. Dan yang kedua adalah mengetahui hukum yang terhubung dengan situasi ini. Jadi kedua kelompok berbeda dalam menilai situasi terhadap seseorang namun menyetujui dasar hukum yang menilai apakah seseorang itu kafir atau Islam. Artinya kedua kelompok itu sama-sama berasal dari masyarakat Sunnah dan Al-Jamaa’ah (kaum Muslim).
Tanggapan Syaikh Abu Mahmud Al-Filistini Bagi Orang yang Menyamakan HTS dengan IS
Mereka sefaham dalam fondasi ilmiah, tapi berbeda dalam menilai situasi seseorang. Kelompok yang satu melihat dia sebagai orang benar menurut penilaiannya atas apa yang dia lihat. Sementara kelompok yang lain melihatnya sebagai orang yang tidak benar dan bahwa dia adalah seorang kafir. Dan ini terjadi, ketidaksetujuan ini terjadi. Al-Mukhtar ibn Ubayd Al-Thaqafi adalah seorang penjahat, tapi anak Umar menikahkan putrinya dengannya, dan salah satu temannya menghormatinya dan ini adalah Amir ibn Tufail Al-Laythi.
Jadi orang bisa berbeda. Saya misalnya dihubungi oleh seorang siswa yang kita cintai, saya tidak ingin menyebutkan namanya, saya tidak ingin membuatnya marah karena saya harus meminta izin terlebih dahulu. Dan dia mengatakan bahwa mentakfir Erdogan adalah sebuah kesalahan, dia mengatakan bahwa orang-orang yang dekat dengannya mengenal Erdogan, dan bahwa dia memiliki penilaian ini dan penilaian itu. Jadi begitulah, dia menilai dengan apa yang dia ketahui dan saya menilai dengan apa yang saya ketahui mengenai dia.
Walaupun saya setuju dengan Syaikh mulia ini mengenai dasar-dasar ketidakpercayaan dan kepercayaan seseorang, namun kami tidak setuju dalam kasus ini, jadi ya itu bisa terjadi.
Dengan demikian orang dimaafkan dalam kasus Erdogan dari perspektif ini. Seseorang bisa melihatnya sebagai pelayan Islam (bantuan kemanusiaan pada kaum Muslim) dan sebagainya. Bagi saya jika saya tidak melihatnya secara terbuka dan mengklaim sekularisme seperti yang dia lakukan dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera dan bagaimana dia berbeda dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dia secara terbuka mengklaim mematuhi agama sekularisme, yang membuat seorang menjadi kafir, dan seseorang tidak dimaafkan dari hal ini pada zaman kita sekarang. Jika saya tidak melihat ini, saya akan menahan diri dari mengkafirkannya dan saya akan memaafkannya seperti orang lain yang memaafkannya dan mengatakan bahwa dia ingin mendukung agama dan Islam. Jadi ketidaksetujuan ini bisa terjadi, dan kami memaafkan orang di dalamnya tanpa keraguan, dan orang-orang yang sepengetahuan di dalamnya.
Tanggapan Syaikh Abu Qatadah Al Palestini Terhadap Pidato Al Adnani
Subjek kedua adalah ketidaksepakatan dalam ranah ilmiah, ketidaksetujuan ini sesuai dengan mazhab hukum yang Anda ikuti. Seseorang misalnya tidak menjatuh Takfir pada penguasa yang memerintah dengan selain apa yang telah Allah wahyukan, orang ini adalah seorang kalangan Murji. Dalam hal ini kita katakan perbedaannya di dalam fondasi ilmiah dan menurut yayasan Anda adalah seorang Murji. Dan dia bisa menjadi seorang Sunni yang benar dalam fondasi ilmiah, maka kami katakan bahwa Anda adalah seorang Sunni tapi Anda salah dalam menilai dia.
Jadi dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan, ya seseorang bisa dimaafkan. Inilah kasus setiap orang yang Syariah tidak dinilai secara individu sebagai kafir. Jika seseorang misalnya mengatakan bahwa dia menahan diri mentakfir Abu Lahab, orang ini menjadi kafir karena dia bertentangan dengan nash yang diwahyukan Allah tentang Abu Lahab. Tentang siapa yang memiliki konsensus tentang ketidakpercayaannya dan diakui oleh Quran dan Sunnah, jika seseorang bertentangan dengan ini maka dia menentang Allah.
Sedangkan untuk orang dan individu maka penilaian orang bisa berbeda terhadap mereka, dan mereka sangat berbeda. Jadi, mereka dapat membedakan situasi seseorang dan deskripsi serta penilaian mereka, atau bisa juga berbeda dengan nash yang diwahyukan. Orang-orang hanya dimaafkan dalam situasi pertama dan tidak dinilai sebagai inovator atau koruptor karena kesalahan mereka, mereka harus dijelaskan dan diinformasikan dan memperdebatkannya juga diperbolehkan.”