Hubungan Jokowi dan AS, Bermula dari Abu Bakar Ba’asyir

Beberapa hari setelah pelantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, saya kebetulan mengikuti sebuah pertemuan. Pertemuan itu, digelar di sebuah Penthouse apartemen mewah senilai Rp 60 miliar di Jakarta. Pemiliknya adalah seorang pejabat pemerintahan yang juga pengusaha kaya raya. Ia tidak menggunakan apartemen ini untuk tempat tinggal, melainkan untuk keperluan meeting tertutup saja.

 

Selain pejabat pemerintahan pemilik apartemen itu, hadir juga beberapa orang dari kelompoknya. Salah satunya orang yang dekat dengan Megawati atau yang biasa dipanggilnya, Yu’tun (nama panggilan Megawati). Kelompok ini, bukan satu partai, tapi gabungan dari berbagai kepentingan.

 

Pembahasan pertemuan itu salah satunya mengenai sang fenomenal Jokowi, mantan Walikota Solo yang sukses menaklukkan DKI Jakarta.

 

Mr. G menanyakan kepada forum, ada fenomena apa Jokowi sampai bisa sekejab menaklukkan DKI Jakarta. Apa peran Amerika Serikat dalam kemenangan Jokowi. Belum sempat forum menjawab, Mr. G melanjutkan dengan sebuah cerita.

 

Penuturan Mr. G, ia pernah bertemu dengan Dubes AS untuk Indonesia Cameron R Hume pada tahun 2007 di sebuah pesta perkenalan. Cameron R Hume diangkat menjadi Dubes AS untuk Indonesia pada 30 Mei 2007. Seperti biasa, digelar pesta perkenalan dengan Dubes AS yang baru menjabat itu dengan para petinggi negara.

 

Dubes AS Cameron mengatakan pada Mr.G, “Kalian punya orang seperti Jokowi, kenapa tidak kalian running jadi Presiden?”

 

Mr. G hanya tersenyum tak menjawab, karena memang ia kurang tahu persis siapa Jokowi. Wajar saja, ketika itu masih tahun 2007, Jokowi tak banyak yang tahu. Mr. G pun meminta anak buahnya mencari tahu siapa Jokowi. Ternyata Jokowi adalah Walikota Solo, dilantik pada 28 Juli 2005.

 

Penuturan Mr. G ketika melihat profil Jokowi hasil pencarian anak buahnya, ia berpikir “Kenapa Dubes AS menyoroti Jokowi?”

 

Dan pertanyaan yang sama ia lontarkan pada pertemuan 2012 di apartemennya itu. Mr. G kembali mengatakan, “Apa benar ada permainan AS di belakang Jokowi sehingga ia bisa dengan mudah menang di DKI?”

 

Lalu ia melontarkan pernyataan lanjutan, “Ini hanya bisa dibuktikan, jika ternyata nanti Jokowi benar menjadi Capres di 2014,” ujar Mr. G.

 

Mr. A, orang dekat Megawati yang juga hadir di pertemuan itu menanggapinya dengan menceritakan sebuah kisah. Kisah itu terjadi pada saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI mulai 23 Juli 2001, menggantikan Gus Dur.

 

Penuturan Mr. A, sepanjang tahun 2002, ia beberapa kali mempertemukan seorang agen CIA bernama Karen Brooke dengan Megawati. Pertemuan Karen Brooke dengan Megawati merupakan permintaan dari Dubes AS untuk Indonesia saat itu, Ralph Leo Boyce. Dubes AS Ralph Leo Boyce yang dilantik pada 1 Oktober 2001 itu meminta pertemuan dengan Megawati atas perintah Menlu AS Colin Powell.

 

Dalam beberapa kali pertemuan itu, Karen Brooke yang berdomilisi di Solo dan Yogyakarta ini menjelaskan data intelijen AS kepada Megawati. Menurut Karen Brooke, Megawati harus mengambil tindakan kepada Abu Bakar Ba’asyir diduga mengepalai jaringan terorisme Asia Tenggara dari Solo.

 

Dubes AS Ralph Leo Boyce yang ikut dalam beberapa kali pertemuan itu, membenarkan Karen Brooke. Data CIA mengatakan, selama pelarian 1985 hingga 1999 di Malaysia dan Singapura, Abu Bakar Ba’asyir membangun Jamaah Islamiyah. Organisasi JI disebut AS bagian dari jaringan terorisme global, Al-Qaeda.

 

Dubes AS Ralph Leo Boyce menjelaskan bahwa sejak serangan 11 September 2001, AS memiliki kebijakan luar negeri yang berbeda. AS mengumandangkan War on Terror kepada seluruh pelaku terorisme dunia. Negara mana pun yang berpartisipasi melindungi terorisme akan diluluhlantakkan.

 

Perlu dicatat, segera setelah tragedi 11 September 2001, selang 3 minggu Menlu AS mengangkat Dubes AS baru untuk Indonesia, Ralph Leo Boyce pada 1 Oktober 2001. AS melakukan invasi ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001.

 

Tentu saja, pengangkatan Dubes AS baru untuk Indonesia berkaitan dengan perubahan kebijakan luar negeri AS pasca 11 September 2001. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, tentu perlu dijaga oleh AS yang tengah melakukan invasi ke Timur Tengah. AS tidak ingin invasinya ke Timur Tengah dihadang solidaritas muslim dari Indonesia ke Timur Tengah. Apalagi AS punya kepentingan menguasai sumber daya alam di Indonesia.

 

Kembali ke cerita Mr. A. Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooke mendesak Megawati menangkap Abu Bakar Ba’asyir sesegera mungkin. Alasannya, pertama, agar kabar akan adanya pemboman oleh Jamaah Islamiyah bisa dicegah. Kedua, agar Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, bisa menunjukkan sikap yang tidak mendukung terorisme.

 

Megawati menolak permintaan itu, karena menurutnya keterlibatan Abu Ba’asyir dalam terorisme Asia Tenggara tidak ada bukti. Megawati menuduh isu terorisme Asia Tenggara oleh Jamaah Islamiyah hanyalah rekayasa AS dalam kebijakan luar negerinya yang baru.

 

Gagal melakukan diplomasi dengan Megawati, AS melobi Singapura agar mendesak Indonesia. Pada 28 Februari 2002, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia terlibat terorisme dengan sarangnya di kota Solo. Kota Solo adalah markas pergerakan Abu Bakar Ba’asyir sejak tahun 1972.

 

Menurut Mr. A, usai pernyataan Lee Kuan Yew yang menjadi perhatian se Asia Tenggara, Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooker kembali menemui Megawati. Kali ini, Megawati didesak menangkap Abu Bakar Ba’asyir karena alasan tambahan, potensi gejolak Asia Tenggara karena Indonesia tidak bekerja sama memberantas terorisme.

 

Mr. A mengatakan, Megawati kembali menolak permintaan itu, juga dengan alasan tidak ada bukti kuat untuk menangkap Abu Bakar Ba’asyir. Lalu terlontar pertanyaan yang mencengangkan, baik bagi Megawati maupun Mr. A.

 

“Jika tersedia bukti-buktinya, anda berjanji akan menangkap Abu Bakar Ba’asyir?” tanya Karen Brooke pada Megawati. Mau tidak mau, Megawati menerima tantangan itu, karena Megawati tidak berpikir negatif.

 

Pada 23 September 2002, majalah TIME melansir artikel bertajuk Confessions of an Al Qaeda Terrorist. Artikel TIME menuduh Abu Bakar Ba’asyir sebagai perencana peledakan Mesjid Istiqlal dan terlibat Al-Qaeda. Ba’asyir juga dituduh TIME berencana melakukan aksi terorisme lain di Indonesia.

 

Penuturan Mr. A, segera setelah berita TIME, Megawati menerima telepon dari Karen Brooke difasilitasi Dubes AS Ralph Leo Boyce.

 

“Anda yakin tidak ingin menangkap Abu Bakar Ba’asyir sekarang?” tanya Karen Brooke. Megawati tetap pada jawabannya, tidak bisa menangkap Abu Bakar Ba’asyir tanpa landasan bukti yang kuat.

 

Lalu pada 12 Oktober 2002, terjadilah aksi peledakan di 3 titik, Paddy’s Pub, Sari Club dan dekat kantor Konsulat AS di Bali. Aksi ini dikenal sebagai Bom Bali I.

 

Tepat tanggal 13 Oktober 2002, Dubes AS Ralph Leo Boyce dan Karen Brooke kembali menemui Megawati dan menagih janjinya. “Anda sudah lihat buktinya, kini tangkaplah Abu Bakar Ba’asyir,” ujar Karen Brooke.

 

Bom Bali I memberikan tekanan kepada Indonesia dari Asia Tenggara, Australia, AS dan Eropa. Menurut Mr. A, Megawati sesungguhnya tidak melihat Bom Bali I sebagai aksi Abu Bakar Ba’asyir melainkan rekayasa AS. Sayangnya, lanjut Mr. A, tekanan dunia internasional, media-media asing seolah sudah menjebak Indonesia dalam kegiatan terorisme.

 

“Megawati pun langsung memerintahkan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir,” ujar Mr. A.

 

Ditangkaplah Abu Bakar Ba’asyir pada 18 Oktober 2002, hanya dalam penyelidikan tak sampai 1 pekan. Dan rupanya, lanjut Mr. A, AS sudah menyiapkan paket untuk Indonesia dalam kaitannya dengan War on Terror.

 

Melalui Diplomatic Security Service (DSS) Kementerian Luar Negeri AS, dikucurkanlah dana US$ 12 juta untuk pembentukan Densus 88. Densus 88 didirikan atas Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003. Densus 88 didirikan pada 23 Juni 2003 dan diresmikan oleh Jenderal Polisi Firman Gani pada 26 Agustus 2004.

 

Pemerintahan Megawati berakhir pada 20 Oktober 2004. Selang 1 bulan, AS mengangkat Dubes AS yang baru, B Lynn Pascoe pada 25 November 2004. Kemudian pada pemerintahan baru AS, Condoleezza Rice diangkat jadi Menlu AS pada 26 Januari 2005.

 

Atas lobi Menlu AS Condoleezza Rice melalui Dubes AS Lynn Pascoe kepada SBY, Abu Bakar Ba’asyir divonis bersalah pada 3 Maret 2005. Setelah penyelidikan panjang (3 tahun), tak ada bukti apapun yang mengaitkan Abu Bakar Ba’asyir dalam aksi Bom Bali I. Tuduhan kepada Ba’asyir hanya turut melakukan tindakan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah, membuat keterangan palsu, dan terbukti keluar dan masuk Indonesia tanpa izin. Tak ada kaitan apa pun antara Abu Bakar Ba’asyir dengan Bom Bali I, karena itu vonis hukumannya hanya 2,6 tahun.

 

Pada 14 Juni 2006, setelah mendapat pengurangan hukuman dari Presiden SBY, Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan. Janggal, Ba’asyir ditangkap atas tuduhan Bom Bali I, divonis tanpa terkait Bom Bali, lalu dibebaskan dalam waktu singkat.

 

Menurut Mr. A, pemenangan Jokowi – FX Rudyatmo sebagai Walikota Solo pada 28 Juli 2005 juga ada peran dari Menlu AS Condoleezza Rice. Solo sebagai bekas markas Abu Bakar Ba’asyir, dalam kacamata AS harus dikawal. Tidak boleh tokoh muslim konservatif yang memimpin kota Solo. Sosok muslim sekular seperti Jokowi didampingi Katolik konservatif FX Rudyatmo diharapkan AS dapat meredam sisa-sisa pergerakan Ba’asyir di Solo.

 

Itu menjelaskan kenapa Dubes AS untuk Indonesia berikutnya Cameron R Hume, yang diangkat Menlu AS Rice pada 30 Mei 2007, begitu menyoroti Jokowi. Selama masa Menlu AS Condoleezza Rice, tidak terlihat adanya terorisme Solo bergerak.

 

Namun situasi berubah ketika Obama menunjuk Hillary Clinton sebagai Menlu AS pada 21 Januari 2009. Mendadak, aksi terorisme Solo kembali muncul secara berkala. Menurut Mr. A, dari sini lah hubungan Jokowi dengan Menlu AS Hillary Clinton mulai dibangun lebih serius. Tidak hanya untuk Solo, Menlu AS Hillary Clinton menyiapkan Jokowi untuk DKI lalu Pilpres 2014. Menlu AS Hillary Clinton  meminta barter berupa pemberantasan gerakan ekstrimis Islam Asia Tenggara yang bermarkas di Solo kepada Jokowi.

 

Lalu dimulailah serangkaian aksi serangan terorisme dan penyergapan terorisme di Solo. Pada 17 September 2009, Densus 88 yang didanai AS, menyergap Noordin M Top Group di Kepuhsari, Solo. Pada 13 Mei 2010, Densus 88 menyergap markas teroris di Dusun Gondang, Solo. Pada 14 Mei 2011, Densus 88 menyergap Sigit Qurdhowi Group di Cemani, Solo. Pada 25 September 2011, terjadi serangan di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo.

 

Pada 17 Agustus 2012, terjadi serangan dari Farhan Group di Pasar Kliwon, Solo. Pada 19 Agustus 2012, Farhan Group menyerang Bunderan Gladag, Solo. Pada 30 Agustus 2012, Farhan Group menyerang Plasa Singosaren, Solo. Pada 31 Agustus 2012, Densus 88 menyergap Farhan Group di Solo. Pada 22 September 2012, Densus 88 menyergap Thoriq Group di Solo.

 

Tentu menjadi pertanyaan, kenapa pada masa Menlu AS Condoleezza Rice tidak ada satu pun aksi terorisme Solo. Namun pada masa Menlu AS Hillary Clinton, mendadak muncul serangkaian aksi teroris dan penyergapan teroris di Solo.

 

Banyak pendapat mengatakan kalau semua aksi terorisme di Indonesia merupakan ulah AS. Dan terbukti, duet Hillary Clinton dengan Jokowi dalam “Memberantas Teroris Solo” telah menaikkan nama Jokowi di mata internasional. Dan kini, Jokowi maju ke pentas Capres 2014 dengan dukungan internasional yang kuat.

 

Benarkah demikian?

 

Mr. F, salah seorang peserta pertemuan yang sama memberikan pendapat dari hasil penelusurannya. Beliau ini orang yang pernah saya ceritakan dalam tulisan saya sebelumnya ketika saya pergi ke Bali akhir 2013. Beliau bekerja untuk George Friedman, pendiri Stratfor (Strategic Forecast).

 

Menurut Mr. F, peristiwa 11 September 2001 telah mengubah kebijakan luar negeri AS secara menyeluruh. Mr. F mengatakan, peristiwa 11 September menjadi tanda dimulainya agenda pembebasan Timur Tengah tahap II. Sebelumnya, pada masa George Walker Bush, ia kategorikan sebagai Pembebasan Timur Tengah tahap I.

 

“Pembebasan Timur Tengah tahap I dimulai dari serangkaian perang teluk oleh Bush senior,” kata Mr. F.

 

Menurutnya, paket pembebasan Timur Tengah tahap I meliputi invasi pada negara-negara penghasil minyak yang berkarakter otoriter, mempertajam konflik Suni dan Syiah, mendiskreditkan sudut pandang Islam yang berkarakter ekstrem dan menggantinya dengan menyebarluaskan ajaran Islam yang demokratis dengan melahirkan para pemikir Orientalisme.

 

Pada Pembebasan Timur Tengah tahap II, dimulai dengan War on Terror untuk menginvasi Afghanistan, Irak, Libya dan sebagainya, kemudian dilanjutkan dengan demokratisasi sejumlah negara atau yang biasa dikenal sebagai Arab Spring.

 

“Paket pembebasan Timur Tengah tahap II dirancang oleh Bush junior yang kemudian dilanjutkan oleh Obama,” ujar Mr. F.

 

Menurut Mr. F, sasaran utamanya adalah penguasaan sumber daya alam. Peperangan berbau perjuangan demokrasi, humanisme atau anti terorisme tidak lain hanya kemasan untuk ke publik. Ada sebuah ironi di dunia Barat, kata Mr. F. Negara-negara barat sukses dengan demokrasi dan modernitas, tapi seluruh sumber daya alam membeli dari pihak luar.

 

“Seperti membeli minyak dan gas dari Timur Tengah, batubara dari Asia, berlian dari Afrika dan sebagainya,” jelasnya.

 

Dan secara kebetulan, lanjutnya, sumber daya alam di planet Bumi terkonsentrasi dari Utara Afrika, Timur Tengah, India hingga Indonesia dan Australia.

 

“Sementara pada tahun 1980-an, negara-negara di Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Indonesia dominan dikuasai pemerintah Islam,” jelas Mr. F.

 

India dan Australia sudah berada dalam pegangan Barat, kata Mr. F. Namun belum untuk area Afrika Utara, Timur Tengah dan Indonesia. Pemerintahan muslim atau penduduk muslim dominan mengambil peranan di area sumber daya alam tersebut.

 

“Bush senior memulai paket Pembebasan Afrika Utara, Timur Tengah hingga Indonesia. Dengan kata lain, Bush Senior, dilanjutkan Clinton, Bush Junior dan Obama akan menggeser dominasi Islam dari tanah sumber daya,” ujar Mr. F.

 

Apabila dilihat saat ini, lanjut Mr. F, sebagian agenda tersebut telah berhasil direalisasikan. Hanya tersisa sedikit area sumber daya alam bagus yang belum berhasil didemokratisasi oleh AS, mulai dari Afrika Utara, Timur Tengah dan Indonesia.

 

“Perang Teluk, Invasi Afghanistan, Irak, Libya, perang sipil Mesir, Suriah, kemudian Arab Spring di Tunisia dan sebagainya, berhasil dengan baik,” ujar Mr. F.

 

Menurutnya, penanganan AS atas upaya memenangkan kekuasaan di negara-negara sumber daya bermacam-macam. Jika dia bersifat otoriter, maka solusinya perang sipil, perang membela demokrasi atau invasi. Jika dia bisa diajak kerjasama, maka solusinya demokratisasi.

 

“Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang sangat banyak, sehingga AS tidak menginginkan solusi perang. Perang akan menghancurkan infrastruktur. AS menginginkan penguasaan politik dan ekonomi untuk Indonesia,” jelasnya.

 

Setelah kesuksesan perang Teluk, lanjut Mr. F, Komisi Trilateral bersepakat tidak boleh ada perang di Indonesia. Apalagi sampai menjatuhkan Nuklir di Indonesia, karena membangun kembali infrastruktur akan memakan waktu dan investasi besar.

 

“Komisi Trilateral bersepakat Indonesia akan menjadi sasaran damai dari Eropa, Asia dan AS (Trilateral) dalam kompetisi memenangkan politik dan ekonomi,” ujar Mr. F.

 

Mr. F mengatakan, boleh jadi karena alasan yang sama pula AS menekan pemerintahan Megawati untuk meredam gerakan Islam ekstrimis di Indonesia. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak harus dijauhkan dari solidaritas dengan gejolak Timur Tengah.

 

Pendapat saya, mungkin itu sebabnya tren pemberitaan dari Timur Tengah di Indonesia cenderung bernuansa negatif, agar masyarakat tidak mendukung suara Timur Tengah. Contohnya kasus pemerkosaan TKW di Arab Saudi. Apa hanya itu aktivitas TKW di Arab Saudi yang bisa jadi berita? Tapi dominan hanya soal itu. Dampaknya adalah, masyarakat Indonesia benci kepada orang-orang Arab sehingga memperkecil kemungkinan solidaritas muslim ke Timur Tengah. Kemudian juga dengan karakter pemberitaan soal terorisme, seolah mutlak benar semua itu adalah aksi terorisme. Apa tidak terbuka kemungkinan beberapa dari yang digolongkan sebagai teroris sebenarnya adalah perjuangan kelompok muslim saja? Tapi kebanyakan langsung dijustifikasi itu adalah terorisme.

 

Seperti contoh kasus Abubakar Ba’asyir. Tidak ada bukti langsung yang mengaitkan ia dengan aksi terorisme. Kebanyakan hanya berdasarkan asumsi. Tentu targetnya adalah agar masyarakat Indonesia menilai setiap gerakan muslim adalah terorisme dan menjauhi itu.

 

Pertanyaan saya adalah, apakah Jokowi menyadari ini ketika melihat fakta bahwa terorisme Solo bangkit kembali pada era Hillary Clinton?

 

Beberaa waktu lalu, saya menghubungi Mr. A (orang dekat Megawati yang saya ceritakan tadi). Saya tanyakan bagaimana sikap Megawati terhadap asing di belakang Jokowi.

 

“Yu’tun (panggilan Megawati) sangat concern terhadap ini. Makanya ia sekarang selalu mengawal pertemuan Jokowi dengan para perwakilan asing. Yu’tun mulai mengkhawatirkan dominasi kekuatan asing yang mencoba menunggangi Jokowi. Jokowi kelihatannya tidak sadar pada hal ini, karena beliau masih hijau sekali di perpolitikan global,” ujar Mr. A.

 

Dari jauh, saya berharap Jokowi mampu membaca gejala tersebut, seperti yang menjadi kekhawatiran Megawati. Jokowi jangan mau ditunggangi kepentingan asing untuk penguasaan sumber daya alam di  Indonesia. (Ratu Adil)

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.