Hal hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 2)

Hal hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 2)

ramadan1JURNALISLAM.COM – Dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan sering kali kita mendengar di masyarakat tentang berbagai perkara yang dapat membatalkan puasa, beredar di tengah kita dari mulut ke mulut secara turun menurun dan di yakini begitu saja tanpa perlu mengkaji kembali tentang permasalahan perkara tersebut.

Maka pada kesempatan kajian ramadhan kali ini kami akan membahas secara tuntas anggapan keliru tentang perbuatan yang dianggap mampu membatalkan puasa bagian ke dua.

Anggapan bahwa tidak boleh mandi dan berenang atau menyelam dalam air

Anggapan tersebut adalah anggapan yang salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan wudhu sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk kedalam tenggorokannya.

Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357 : “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan”.

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya kedalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca:ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari”.

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.

Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 6/225-226 dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.

Anggapan menelan ludah membatalkan puasa

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja dimulut kemudian menelannya.

Berkata Ibnu Hazm : “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq”.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317 : “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ‘ulama)”.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473 : “Dan Apa-apa yang terkumpul dimulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya …”.

Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.

Lihat : Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.

Anggapan tidak boleh mencium bau-bauan yang mengenakkan

Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.107: “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa”.

Tidak berniat dari malam hari

Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syari’at bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya”. Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Gholil karya Syaikh Al-Albany no.914.

Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa arab artinya adalah waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.

Anggapan tidak sahnya puasa orang yang junub atau yang semakna dengannya bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi

Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah umum apakah itu junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri.

Dan yang semakna dengannya seperti perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qodho` (mengganti) puasanya”.

Mengakhirkan buka puasa

Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka”.

Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menegaskan :

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya”. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh Abu Daud no.2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/253 no.2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhid 20/23.

والله اعلم بالصواب

Bersambung…

Sumber : Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan,
Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam karya Ibnu Taimiyah.

Baca juga:

Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 1)

Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 3)

 

Editor: Deddy | Jurnalislam

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.