Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 3)

Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 3)

menyambut-ramadhan-ala-rasulullahJURNALISLAM.COM – Dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan sering kali kita mendengar di masyarakat tentang berbagai perkara yang dapat membatalkan puasa, beredar di tengah kita dari mulut ke mulut secara turun menurun dan di yakini begitu saja tanpa perlu mengkaji kembali tentang permasalahan perkara tersebut.

Maka pada kesempatan kajian ramadhan kali ini kami akan membahas secara tuntas anggapan keliru tentang perbuatan yang dianggap mampu membatalkan puasa bagian ke tiga (selesai) .

Menjadikan tanda imsak sebagai batasan sahur

Sering kita mendengar tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah (2) : 187 :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.

Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”.

Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali, adzan pertama dan adzan kedua.

Pada adzan pertama seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.

Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata Hattaa (حَتَّى) (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna “ghoyah” yakni akhir batasan waktu.

Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur

Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyari’atkan karena beberapa hal :

* Satu : Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.

* Dua : Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.

* Tiga : Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.

* Empat : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.

* Lima : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana lalu saya mengambil makanan kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang.

Demikianlah melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Abu Robi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain. Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya .

Meninggalkan makan sahur

Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.

Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.

Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam di antaranya :

* Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah. * Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab. sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.

* Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa. * Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul. * Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.

Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.

Mempercepat makan sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dimana selang waktu antara waktu selesainya beliau makan sahur dengan waktu mulai shalat subuh, adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim :

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ

“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ia (Zaid bin Tsabit) menjawab : “Lima puluh ayat”.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/169) : “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur”. Lihat : Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiqil ‘Ied 3/334, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/192-193 dan Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/128.

Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 186:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa”.

Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا

“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”.

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab :

“Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka”. Lihat Subulus Salam 2/242.

Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : “Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas”. Lihat : Subulus Salam 2/242.

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

“Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)”.

Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga)

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa”.

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)”.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : ”…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-…”.

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : “Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…“.

Berkata Imam An-Nawawy : “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah”. Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa.

والله اعلم بالصواب

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini.

Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala , amiinn.

Selesai.

Sumber : Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan,
Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam karya Ibnu Taimiyah.

Baca juga:

Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 2)

Hal-hal yang Dianggap Membatalkan Puasa (bagian 1)

 

Editor: Deddy | Jurnalislam

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.