Duka Tenaga Medis di Tengah Pandemi, Mau Sampai Kapan?

Duka Tenaga Medis di Tengah Pandemi, Mau Sampai Kapan?

Oleh: Drg Endartini Kusumastuti

Tepat enam bulan pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyampaikan data, ada sebanyak 104 dokter meninggal dunia akibat terpapar Covid-19. Jumlah itu berdasarkan catatan IDI sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan terjadi di Indonesia pada 2 Maret 2020 hingga 2 September 2020. (nasional.kompas.com, 3/09/2020)

Memang benar banyak dokter yang kelelahan karena harus menangani pasien Covid-19 yang cukup banyak sehingga dokter juga kurang istirahat. Di sisi yang lain, para dokter juga bekerja dalam lingkungan risiko tinggi tertular Covid-19 sehingga dapat menimbulkan stres dalam bekerja.

Sekretaris Tim Audit dan Advokasi Kematian Dokter PB IDI Mahlil Ruby menambahkan, hal itu diperparah dengan masih banyak manajemen rumah sakit yang belum melakukan pengurangan jumlah pasien. Selain itu, kata dia, jam pelayanan kepada pasien rawat jalan yang juga belum dikurangi turut menjadi beban tersendiri bagi para dokter.

Bahkan di beberapa rumah sakit tidak menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi para dokter secara memadai. Apabila persedian di rumah sakit terbatas, pemerintah seharusnya berusaha bagaimana caranya agar persediaan APD dapat tercukupi.

Sementara itu, gugurnya para dokter juga menjadi sorotan salah satu inisiator platform informasi dan data terkini seputar Covid-19 di Indonesia, Pandemic Talks. Salah satu inisiator Pandemic Talks Firdza Radiany mengungkapkan sejumlah penyebab meninggalnya para dokter itu disebut karena sistem dan kapasitas rumah sakit yang mulai penuh.

Occupancy rate nasional mencapai 41 persen. Dan sudah 14 provinsi yang ada di atas rata-rata nasional. Malahan Papua dengan kondisi terburuk yakni overcapacity 107 persen. Occupancy rate adalah ketersediaan tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19. Selain itu, occupancy rate juga merupakan prosentase jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dibagi jumlah tempat tidur RS yang disediakan. Firdza menambahkan, dengan angka-angka occupancy rate itu menyebabkan penuhnya jam kerja tenaga kesehatan termasuk para dokter.

Kerugian Bagi Sebuah Bangsa

Menanggapi persoalan banyak dokter yang gugur tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan terus bertambahnya dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 adalah kerugian besar bagi Indonesia. Dia mengungkapkan, berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk.

Selain itu, kehilangan ini juga merugikan Indonesia dalam hal investasi sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan. Dicky mengatakan, intervensi testing, tracing, dan isolate yang rendah menyebabkan penyebaran Covid-19 tidak terkendali dan berakibat pada tingginya klaster rumah sakit.

Hal tersebut bisa dilihat pada wilayah-wilayah yang memiliki cakupan testing rendah, namun positive rate-nya tinggi, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.

Itu berimplikasi pada banyak hal, salah satunya adalah membuat tenaga kesehatan menjadi semakin rawan. Karena klaster terbesar dalam pandemi Covid-19 ini adalah rumah sakit, atau layanan kesehatan Dicky menilai, para pemangku kebijakan di Indonesia, khususnya wilayah-wilayah tersebut, harus memperhatikan situasi ini dengan sangat serius.

Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, serta manajemen rumah sakit adalah mencegah penambahan kasus kesakitan dan kematian tenaga kesehatan, dengan penguatan testing, tracing, isolate dan pengetatan protokol kesehatan. Selain itu, juga menjamin ketersediaan APD dan dukungan lainnya.

Apabila situasi saat ini dibiarkan begitu saja, bukan hanya angka kematian tenaga kesehatan saja yang terus meningkat, tapi juga pada masyarakat umum. Hal ini seperti efek bola salju, karena strategi intervensi tidak ditempatkan sebagai prioritas utama, maka akan muncul kasus-kasus yang tidak terdeteksi dan tertangani.  Kemudian, orang-orang yang tidak tahu dirinya terinfeksi ini, akan menularkan virus pada kelompok populasi yang rawan.

Imbasnya adalah terjadi peningkatan pasien di rumah sakit, terutama yang membutuhkan bantuan tambahan, seperti Intensive Care Unit (ICU) dan ventilator. Tidak hanya berhenti di situ saja, situasi itu juga akan menempatkan tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 dalam kondisi rawan. Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra mengatakan kasus COVID-19 sudah overcapacity sehingga membuat tenaga kesehatan terutama dokter terforsir sehingga imunitas menurun.

Perhatikan Nasib Tenaga Medis

Sementara itu, melihat memang ada banyak faktor lain yang saling terkait dan menyebabkan banyak tenaga medis gugur. Dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu merupakan hubungan antara kebijakan yang tidak konsekuen dan konsisten dan penanganan pandemi yang relatif lambat.

Seperti contohnya, aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan istilah tansisi atau proporsional yang tidak efektif. Dengan adanya PSBB transisi itu, semua sektor seperti transportasi, perkantoran, pabrik dan daerah wisata kembali dibuka dan tempat-tempat tersebut cenderung penuh dan ramai. Hal itu tentunya berdampak pada upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

Lalu, penanganan COVID-19 di Indonesia juga relatif lambat. Kita bisa melihat detection rate masih 46 persen dari total spesimen yang harusnya mampu diperiksa, sedangkan kita baru ada di rentang antara 25 ribu-30 ribu spesimen per hari. Maka kenaikan kasusnya antara 2.500-3.000an sekarang ini. Maka hal itu belum betul-betul signifikan.

Padahal kasus di lapangan luar biasa tinggi. Bisa diibaratkan lebih dari 100 dokter meninggal karena COVID-19 itu tak ubahnya fenomena gunung es yang bongkahan besarnya belum terukur dan terdeteksi dengan baik. Dengan demikian inilah tantangan pengendalian COVID-19 di Indonesia yang memang keterkaitan antara health system capacities dengan kebijakan penanganan. Dan juga yang paling utama adalah perilaku individu dan masyarakat melalui upaya promotive yang dilakukan negara.

Dalam konsep Kapitalis, hubungan dokter-pasien (physican-patient relationship) dan profesi kesehatan lain hakekatnya merupakan hubungan kontraktual. Hubungan ini melibatkan penawaran (the request for treatment) dan persetujuan (the agreement to render the treatment) yang dapat terjadi melalui express contract ataupun implied contract.

Lebih jauh lagi, hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit hanya sebatas materi kontrak yang membuat dokter makin tidak leluasa menjalankan kewajibannya sesuai nurani. Ditambah pula dengan kebijakan negara yang inkonsisten. Penanganan wabah dengan orientasi ekonomi tidak akan pernah sejalan dengan prinsip idealisme kesehatan. Oleh karenanya, sistem ini cenderung memberikan dampak yang bahaya, yang tidak hanya mengorbankan tenaga kesehatan namun juga masyarakat umum.

Dalam kacamata Islam, subyek yang paling bertanggung jawab sebagai pelaksana layanan kesehatan (provider care) adalah dokter beserta timnya.  Setiap umat Islam dengan berbagai profesi menjalankan misi hidup yang sama.

Manusia adalah bagian dari makhluk hidup yang menjadi Abdullah (hamba Allah) dan Khalifatullah. Dua peran ini akan mengarahkan pola hidup yang bernilai beribadah. Sebagai abdullah ia akan menjaga keimanan dan ketaatannya pada syariat Allah.

Sebagai khalifatullah ia akan terlibat memakmurkan bumi berbekal syariat Allah dan sains teknologi. Artinya, tujuan pelayanan medis tidak sebatas pada keberhasilannya menghilangkan sakit dan penyakit, namun juga membawa misi hidup meningkatkan ketundukan kepada Allah.

Begitu pula mengenai pelayanan kesehatan, akan dilingkupi dimensi sosial dan kemanusiaan yang sangat tinggi.  Tidak ada diskriminasi, gratis lagi berkualitas, hingga untuk yang berpura-pura sakit sekalipun. Sejarawan berkebangsaan Amerika W. Durant bertutur, “….Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang,  agar tidak perlu segera bekerja…”.

Rumah sakit dengan segala kelengkapan medis non medis berikut dokter dan tenaga medis lainnya tersedia, memadai secara kualitas dan kuantitas.  Seperti rumah sakit Al Mansyuri yang berkapasitas 8000 tempat tidur. Negarapun melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang tinggal di wilayah yang belum ada rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir. Berupa rumah sakit keliling yang dilengkapi dengan obat-obatan, peralatan kedokteran dan sejumlah dokter. Diangkut hingga 40 unta dan menelusuri pelosok negeri.

Para dokter dibebani tugas secara manusiawi, leluasa mendedikasikan ilmu dan keahlian, bahkan begitu terhormat. Dokter tidak saja disyaratkan lulus pendidikan kedokteran tetapi juga harus lulus tes. Rumah sakit berlokasi di tempat terbaik untuk kesehatan, seperti di atas bukit atau di pinggir sungai. Pembiayaan sepenuhnya bersumber dari baitul mal.

Dengan demikian, dunia medis bukan mengenai bisnis yang mendatangkan keuntungan, melainkan bidang yang paling berperan dalam kelangsungan hidup manusia.

Satu-satunya jalan menyelamatkan kesehatan Indonesia dari pandemi ini adalah memposisikan pelayanan kesehatan diatas segalanya, agar tidak makin banyak lagi tenaga medis yang gugur karena kesalahan manajemen sistem pelayanan kesehatan.

Karena pandemi ini jelas berkaitan dengan cara pandang kita terhadap hakikat kehidupan. Dunia medispun akan menjadi ujung tombak bangkitnya sebuah negara, dengan mengoptimalkan pelayanan kesehatan berbasis kemaslahatan bagi masyarakat dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara, tanpa diselipi kepentingan komersial.

(*Praktisi Kesehatan Masyarakat Kota Kendari dan Alumnus FKG Universitas Airlangga Surabaya)
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.