Video Ahok Bukan Informasi Rahasia, Yusril Nilai Buni Yani Tak Salah

Video Ahok Bukan Informasi Rahasia, Yusril Nilai Buni Yani Tak Salah

BANDUNG (Jurnalislam.com) – Ahli hukum dan tata negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra menilai pasal yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Buni Yani lemah.

“Saya pikir pasal tersebut ada kelemahan-kelemahannya jika dijadikan dakwaan,” ungkapnya usai memberi keterangan dipersidangan kepada awak media,” katanya kepada wartawan usai menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus pelanggaran UU ITE dengan terdakwa Buni Yani di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Bandung, Selasa (12/9/2017).

Sidang Buni Yani, Pengacara: Kesaksian Ahok Fitnah

Menurut Yusril, pasal 32 UU ITE tidak bisa menjerat Buni Yani, karena penggalan video pidato mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diunggah Buni Yani adalah informasi publik.

“Informasi itu ada yang sifatnya rahasia dan publik. Rahasia seperti rahasia negara, sementara informasi publik itu sudah banyak beredar di masyarakat atau saat ini media sosial. Menurut saya apa yang dipublish Buni Yani adalah informasi publik karena bersumber pada media sosial dan sebelumnya sudah diunggah orang lain,” paparnya.

Pasal tersebut, kata Yusril, memuat 3 ayat yang saling berkaitan. Ia berpendapat jika hanya ayat 1 saja maka tidak bisa dipidanakan.

“Kecuali kemudian orang tersebut menyebarkan konten yang berisi fitnah atau memutar balikan sesuatu fakta yang mengakibatkan permusuhan,” jelasnya.

Dibanding Kasus Serupa, Yusril Sebut Vonis Ahok Cukup Ringan

Menjawab pertanyaan yang dikaitkan dengan pasal 28 UU ITE, menurut Yusril bahwa unggahan Buni Yani juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memicu lahirnya gerakan protes terhadap Ahok. Buni Yani pun, kata Yusril, tidak menyebarkan berita bohong, fitnah atau ujaran yang mengandung kebencian.

Menurutnya kalau pasal 28 yang dijadikan untuk mendakwa, maka Buni Yani dinilainya tidak menyebarkan berita bohong, atau menimbulkan SARA dan lain-lain.

“Ini kan bukan Buni Yani, ia hanya mengutip pernyataan pak Ahok. Nah, kalau sekiranya Buni Yani didakwa sebelum ada putusan Pak Ahok saya bisa mengerti. Tapi kan putusan Pak Ahok sudah inkrah, sudah punya kekuatan hukum tetap, dan putusan hukum Pak Ahok tidak dikaitkan dengan apa yang ditulis Buni Yani. Tanpa dihilangkan kata “pakai” pun Pak Ahok sudah di pidana oleh pengadilan,” terang Yusril.

Meski dinilainya ada kejanggalan dan pasal yang lemah dalam mendakwa Buni Yani, Yusril tetap menyerahkan keputusan tersebut kepada majelis hakim. Yusril sendiri mengaku netral dan tidak memihak pada salah satu pihak.

“Tapi pada akhirnya biarlah pengadilan ini yang mengadili. Hakim kan tidak bisa menolak apa yang diajukan kepada mereka. Lemah atau kuatnya dakwaan tergantung pihak yang terlibat dalam perkara ini. Dalam memutuskan perkara hakim mempunyai pertimbangan yang independen. Kita hargai saja,” ujarnya.

Sebelum didengar pendapat dan pandangannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menolak dan merasa keberatan atas kehadiran Yusril Ihsa Mahendra selaku ahli. Alasannya karena Yusril dianggap sebagai ahli Hukum Tata Negara sehingga UU ITE dengan konstitusi negara tidak ada relevansinya.

Namun keberatan JPU langsung diklarifikasi oleh ketua penasihat hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian. Aldwin mengatakan, Yusril dihadirkan di persidangan dalam kapasitasnya sebagai ahli teori dan filsafat hukum, bukan sebagai pakar Hukum Tata Negara.

“Saya klarifikasi majelis hakim, beliau hadir sebagai ahli teori hukum berkaitan dengan Pasal 28 dan Pasal 32 karena terkait teori hukum. Jadi Prof Yusril ini dikenal sebagai ahli konstitusi itu hal lain. Ini kan teori hukum, filsafat hukum, tentu nanti bisa dieksplorasi asbabun nuzul pasal-pasal ini,” tutur Aldwin diawal persidangan.

Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin M.Saptono mengaku akan mencatat keberatan tim JPU ke dalam catatan persidangan. Akhirnya Yusril pun diperkenankan dan memberikan pendapat serta pandangannya hingga menjelang Dhuhur.

Buni Yani didakwa telah melanggar pasal 32 ayat 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

Sumber: percikaniman.id

Bagikan