Sarekat Dagang Islam, Titik Nol Perkumpulan Ekonomi di Laweyan

Sarekat Dagang Islam, Titik Nol Perkumpulan Ekonomi di Laweyan

Sarekat Islam, Titik Nol Pergerakan Politik Bangsa

Semenjak berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905 di Surakarta, cabang organisasi ini muncul di berbagai wilayah. Kemajuan pesat organisasi terbukti dengan adanya perubahan visi dan misi organisasi yang diawali dengan visi dan misi kemerdekaan secara ekonomi, kemudian berkembang menjadi visi dan misi secara global (menyeluruh) meliputi seluruh aspek kehidupan. Gagasan politik inilah yang akhirnya mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan ini ditandai dengan diberikannya status pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi berbadan hukum (rechtspersoon).

Kemunculan gagasan dan perkembangan tersebut, didasarkan oleh faktor ideologis yaitu Islam. Islamlah yang disebut-sebut menjadi pengikat dan pemersatu. Islam menjadi semacam semen pengikat puluhan juta orang Indonesia dan bergabung bersama SI. Alasan lain adalah munculnya harapan-harapan zaman keemasan yang serta menganggap pemimpin-pemimpin sebagai juru selamat atau ratu adil akhirnya memikat banyak orang untuk masuk SI. (Korver, 1985: 66)

Perubahan gagasan tersebut disebabkan atas usulan R. Haji Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada saat itu menjadi pimpinan SDI Surabaya. Tjokroaminoto memiliki pandangan jauh ke depan, terutama bila dikaitkan dengan aspek sosial politik. Sebab kalau SDI yang dikembangkan maka umat Islam yang bukan dari kalangan pedagang tidak akan tertampung dan tidak bisa menyalurkan aspirasi sosialnya.

Penetapan perubahan SDI menjadi SI, pada tanggal 10 September 1912 setelah Tjokroaminoto menghadap notaris B. Ter Kuile di Surakarta untuk membuat Sarekat Islam sebagai badan hukum berdasarkan Anggaran Dasar SI yang diakui dan disetujukan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 14 September 1912.

Satu tahun kemudian, SI menggelar kongres besar pertama pada 26 Januari 1913 di Surabaya yang dihadiri 8.000-10.000 delegasi, baik dari dalam maupun luar Surabaya. SI tumbuh dengan pesat sehingga memunculkan Sarekat Islam Surabaya, Sarekat Islam Semarang, Sarekat Islam Cianjur, Sarekat Islam Sumatera dan hampir di seluruh wilayah terdapat cabang Sarekat Islam. Perubahan ini, tentunya menjadi momen dimana seluruh muslim di seluruh Hindia Belanda turut serta dalam kegiatan Sarekat Islam.(Gani, M.A, 1984: 6-12)

Pada tahun 1916 Central Sarekat Islam (CSI) berhasil melakukan sebuah pertemuan politik pertama secara nasional para pribumi muslim se-Hindia Timur (Nusantara) bertempat di Bandung yang dinamai National Indische Congres (Natico) I. Pertemuan melibatkan 80 cabang SI yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi.

Central Sarekat Islam digunakan sejak 18 Maret 1916, berdasarkan pengakuan hukum oleh Pemerintaha Hindia Bel anda. Sedangkan kata “National ” merujuk pada sekumpulan pribumi muslim pada saat itu yang berasal dari seluruh kawasan Hindia Timur meliputi Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Peserta Natico I yang hadir pada saat pidato pertama Tjokroaminoto di alun-alun Bandung mencapai 860.000 orang. Jumlah massa muslim sebanyak itu sangat fenomenal untuk ukuran masa itu. Sebagai perbandingan, pada Kongres I Sarekat Islam (1913) di Surabaya massa yang hanya 5.000- 8.000 orang.

Kegiatan kongres terdiri dari 3 macam rapat: (1) rapat pendahuluan pada Sabtu, 17 Juni 1916 dan rapat-rapat tertutup. Rapat-rapat ini hanya dihadiri anggota dari pimpinan pusat, (2) rapat terbuka di alun-alun, Minggu 18 Juni dan Senin, 19 Juni 1916. Setiap orang datang dan mendengarkan pidato-pidato dari tokoh-tokoh SI, (3) rapat di salah satu bangsal dari Societiet Concordia (Gedung Merdeka) yang hanya dapat dihadiri oleh para utusan dan anggota Sarekat Islam lokal, undangan, utusan dari pergerakan sahabat dan pers.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.