Puasa Ramadhan dan Jalan Mukmin Menuju Derajat Takwa

Puasa Ramadhan dan Jalan Mukmin Menuju Derajat Takwa

 

Oleh: Prof Dr KH Ma’ruf Amin, Wapres RI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
بسم الله الرحمن الرحيم
بِسْمِ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلّهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ  وَعَلَى آلِهً وَصْحبِهِ وَمَنْ وَالَاه. سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. اللّهُمَّ ارْزُقْنَا الْمَعَارِفَ الرَّبَّانِيَّةَ وَاللَّطَائِفِ الرَحْمَانِيّةَ وَالْعُلُوْمَ اللَّدُّنِيَّةَ وَ بَلِّغْنَا رُتْبَةَ الْإِحْسَانِ وَ وَحْدَةَ الشُّهُوْدِ وَ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Yang terhormat, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Dakwah, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia, Habibana, Habib Nabiel Al-Musawa, Hadirin yang berbahagia.

Marilah bersama-sama kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, karena atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kita semua dapat bertemu, walaupun secara daring, pada acara Syiar Islam dan Tarhib Ramadhan 1443 H.

Acara Syiar Islam dan Tarhib Ramadhan 1443 H ini merupakan ajakan pimpinan MUI pusat untuk menyatakan rasa syukur dan ungkapan kebahagiaan kita bersama dalam menyambut bulan suci Ramadhan tahun 1443 H, sebagai bulan peningkatan amal ibadah vertikal kepada Allah SWT (hablun minallah) dan penguatan hubungan mu’amalah insaniyyah secara horizontal dalam kehidupan masyarakat (hablun minan naas).

MUI telah memberikan satu pesan kepada kita semua untuk menghormati dan mensyiarkan bulan Ramadhan sebagai bulan yang rahmah (penuh kasih sayang sayang) dan maghfirah (penuh ampunan). Tentu saja sangat wajar jika kita menginginkan agar kehidupan masyarakat di bulan Ramadhan bisa menampakkan suasana puasa Ramadhan di negara mayoritas Muslim ini.

 

Insya Allah kita bertemu dengan bulan Ramadhan dan diberikan kesehatan oleh Allah SWT, sehingga kita dapat menjalankan puasa dengan baik disertai ridha dan magfirah-Nya. Kita sambut bulan Ramadhan ini dengan ucapan:
مرحباً بك يا رمضان مرحباً يا شهر الصيام
Selamat datang wahai bulan Ramadhan, selamat datang wahai bulan puasa

Hadirin yang berbahagia
Sebagaimana kita ketahui, bahwa tujuan puasa adalah untuk membentuk orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman Allah dalam Surat  Al Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Menurut para ulama yang dimaksud dengan takwa itu adalah kepatuhan menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-laranganNya. Orang yang berpuasa adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dari berbuat yang melanggar peraturan-peraturan Allah SWT.

Takwa dalam Islam dianggap sebagai kemuliaan (al-karam) dan bahkan Allah mengatakan dalam Surat Al Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Mahamengetahui, Mahateliti.”

Dalam ayat tersebut Allah SWTmenyatakan bahwa yang paling mulia disisi-Nya adalah orang yang paling bertaqwa, bukan karena keturunan, bukan karena ras atau suku bangsa, dan bukan pula karena harta dan jabatan. Sesungguhnya manusia itu, apapun ras atau suku kebangsaannya berasal dari keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Di mata Allah SWT semua manusia itu adalah sama, dan kemuliaan itu hanya ada pada sisi ketakwaannya.

 

Peraturan-peraturan Allah tidak hanya dalam kaitan dengan hubungan kepada Allah (hablum minallah), tetapi juga hubungan dengan manusia (hablum minnas).

Semestinya puasa harus menghasilkan ketakwaan. Apabila puasanya tidak melahirkan ketakwaan, berarti puasanya sekadar puasa lahiriah semata, yang hanya mengalami lapar dan dahaga semata, seperti dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad)

Hadirin yang berbahagia,
Secara lahiriah puasa ini dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) seseorang di siang hari dari aktivitas makan, minum dan hubungan seksual. Namun secara hakiki seseorang tidak hanya terbatas pada pengekangan tiga hal ini saja, tetapi meliputi pengekangan ego dari semua keinginan (nafsu), sikap dan tindakan tercela atau kemaksiatan. Dalam ibadah puasa ini terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi, karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa.

Naluri manusia memang memiliki keinginan-keinginan (nafsu), baik nafsu biologis, materi maupun kekuasaan (QS Ali ’Imran: 14). Islam pun tidak melarang keinginan-keinginan ini, tetapi mengaturnya atau membatasinya minimal dengan ketiga nilai tersebut. Munculnya sejumlah persoalan sosial, seperti korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, perzinaan, egoisme, keserakahan, kekerasan, penyalahgunaan wewenang, narkoba, miras, dan sebagainya merupakan ekspresi keinginan yang tidak disertai dengan kepemilikan ketiga nilai tersebut. Oleh karenanya, ketiga nilai ini harus diwujudkan tidak hanya selama bulan Ramadhan, tetapi juga di hari-hari di luar Ramadhan.

 

Dengan demikian, puasa juga mengandung hikmah tidak hanya yang berdimensi spiritual dan vertikal tetapi juga sosial dan horisontal, terutama penguatan akhlak (etika-moral) dan watak (karakter) orang yang berpuasa. Puasa bahkan menjadi sarana latihan (training) yang efektif untuk penguatan akhlak dan karakter ini, terutama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari dosa dan perbuatan tercela, manusia yang dapat mengendalikan diri dan jujur, dan sekaligus manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.

Solidaritas sosial yang tinggi tersebut diwujudkan dalam bentuk anjuran untuk memperbanyak sedekah dan pada hari Idul Fitri nanti ia diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang terutama diberikan kepada fakir miskin. Bahkan puasa ini memunculkan empati seseorang dengan membayangkan perasaan orang-orang fakir miskin yang mengalami kelaparan atau kekurangan makanan sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.

Oleh karena itu, orang yang melaksanakan puasa dengan pemenuhan ketiga nilai atau prinsip tersebut, yakni pengendalian diri, kejujuran dan solidaritas sosial, ia akan menjadi bersih tanpa dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa kerena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu (HR Bukhari).

Sebagai penutup, saya mengharapkan bulan Ramadhan kali ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan ketakwaan kita, tumbuhnya solidaritas bangsa, serta kita bisa keluar dari pandemi.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan ‘inayah-Nya dan meridai setiap ikhtiar yang kita lakukan.
Wallahul Muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

*Naskah pidato disampaikan dalam Tarhib Ramadhan 1443 H/ 2022 M yang digelar Komisi Dakwah MUI, Kamis 3 Maret 2022.

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.