Potret Bangunan Pendidikan di Era Kekhilafahan Islam

Potret Bangunan Pendidikan di Era Kekhilafahan Islam

Oleh: Djumriah Lina Johan
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Sepekan terakhir dunia pendidikan dirundung nestapa. Sebagaimana diketahui bersama bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny rubuh. Berdasarkan pemberitaan, BNPB mengupdate data terbaru jumlah korban tewas ambruknya pondok pesantren yang berlokasi di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jumlah korban meninggal dunia menjadi 37 orang.

BNPB telah meminta tim ahli dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) untuk melakukan investigasi forensik struktur bangunan secara menyeluruh sehingga bisa memberikan rekomendasi proses evakuasi. Sebab dikhawatirkan evakuasi puing bisa merusak bangunan lain.

Sementara itu, Kementerian Agama akan mengevaluasi kelayakan semua bangunan pondok pesantren dan rumah ibadah. Semua dilakukan sebagai bagian dari mitigasi agar peristiwa rubuhnya bangunan di Pesantren Al-Khoziny tidak terjadi di daerah lain.

Buah Penerapan Sistem Kapitalistik

Ambruknya bangunan pondok pesantren hingga menewaskan banyak santri menunjukkan gagalnya negara menjamin pendidikan berkualitas dari segi sarana prasana sekaligus kegagalan menjamin keamanan. Kegagalan ini bisa kita lihat dari beberapa faktor.

Pertama, bangunan yang tidak layak. Bangunan yang tidak layak karena tidak adanya campur tangan pemerintah dalam pembangunan pondok pesantren. Kalaupun negara ikut andil dalam pembangunan biasanya hanya sekadar pendanaan saja. Bukan dari konsep, tenaga ahli, atau bahkan pengawasan. Tenaga ahli dan pengawasan justru baru dikerahkan dan dilakukan efek dari kejadian rubuhnya bangunan yang sudah terlanjur terjadi.

Kedua, pendidikan dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Hingga berkembang pemahaman ada harga ada kualitas. Jika ingin sekolah atau pondok yang memiliki sarana dan prasarana bagus, maka siap untuk mengeluarkan biaya yang besar. Apalagi pondok pesantren diketahui memiliki pendanaan murni dari orang tua santri atau dari donatur. Bukan pembiayaan penuh dari negara. Sehingga peran negara di sini hilang sebagai penanggungjawab urusan masyarakat di bidang pendidikan.

Ketiga, akibat penerapan sistem kapitalisme liberal yang melemahkan ekonomi, mengkotak-kotakkan antara sekolah negeri dengan swasta, membuat anggaran pendidikan minim, serta menjadikan sektor pendidikan bukan prioritas utama. Tata kelola ekonomi ala kapitalisme menjadikan sumber daya alam di Indonesia yang melimpah tidak bisa digunakan untuk membiayai pendidikan karena mayoritas SDAE dikuasai swasta, bahkan asing.

Sedangkan APBN dibiayai dari pajak dan utang. Artinya, rakyat sendiri yang membiayai pendidikan melalui pajak yang mereka bayar. Sementara itu, utang negara yang menggunung bukannya menyejahterakan, malah menggerogoti APBN untuk pembayaran pokok cicilan dan bunganya.

Ironis, semua ini menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi dan anggaran ala kapitalisme menyebabkan runtuhnya bangunan pencetak kader ulama dan generasi penerus bangsa. Demikianlah, negara dalam kapitalisme cenderung abai dalam urusan pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada masyarakat dan pihak swasta. Akibatnya, banyak persoalan tidak tertangani, termasuk ambruknya bangunan pondok pesantren.

Sarana dan Prasarana Pendidikan Kekhilafahan Islam

Dalam Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan pendidikan, mulai dari kurikulum, bahan ajar, metode pengajaran, sarana dan prasarana sekolah, hingga mengupayakan pendidikan dapat diakses rakyat secara mudah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam mendukung lahirnya generasi unggul, negara Khilafah akan memenuhi sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar guru dan siswa, di antaranya:

Pertama, semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas yang sama. Tujuannya agar semua peserta didik di setiap wilayah dapat menikmati fasilitas pendidikan. Negara akan berperan aktif dalam melengkapi sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, kreativitas, dan inovasi. Sarana tersebut bisa berupa gedung sekolah/kampus, ruang kelas, kantor guru dan TU, perpustakaan, laboratorium, asrama siswa, toko buku, aula sekolah, ruang seminar atau diskusi, majalah, surat kabar, layanan internet, dan sebagainya.

Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky pernah mendirikan Madrasah an-Nuriah di Damaskus pada abad ke-6 H. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.

Kedua, membangun banyak perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan perguruan tinggi untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai disiplin ilmu.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyebutkan dalam Muqaddimah ad-Dustur Pasal 179, “Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis dan tafsir. Termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan-penemuan baru sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu.”

Ketiga, negara juga akan membangun infrastruktur untuk memudahkan para siswa bersekolah, seperti jalan dan jembatan. Khilafah juga menyediakan alat transportasi untuk mengangkut para siswa dari tempat tinggalnya menuju sekolah, misalnya kereta api, bus, trem, dll.

Keempat, negara akan mengelola SDA (tambang, hutan, laut, sungai,dll.) secara mandiri, tidak menyerahkannya pada swasta, apalagi asing. Hasil dari pengelolaan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Dengan demikian, negara bisa menyediakan fasilitas pendidikan yang bagus tanpa memungut biaya satu dinar pun dari rakyat.

Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Mustansiriyyah yang didirikan Khalifah al-Mustansir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa tidak hanya tak perlu membayar sekolah, mereka justru menerima beasiswa berupa satu dinar (4,25 gram emas) per bulan.

Selain itu, individu rakyat yang kaya dipersilahkan untuk memberikan wakaf untuk pendidikan, baik berupa gedung, laboratorium, atau yang lainnya. Salah satu contoh wakaf di bidang pendidikan adalah Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko yang awalnya adalah masjid wakaf dari Fatimah al-Fihri. Ia juga mewakafkan perpustakaan. Berkat dukungan para khalifah, masjid tersebut bertransformasi menjadi madrasah dan selanjutnya menjadi universitas.

Jika ada kebutuhan yang urgen untuk infrastruktur pendidikan yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan mudarat, sedangkan di baitulmal sedang tidak ada dana, negara akan melakukan pemungutan pajak (dharibah) dari kaum muslim laki-laki dewasa yang kaya. Jika dana sudah mencukupi, pemungutan pajak akan dihentikan.

Kelima, negara harus sungguh-sungguh memelihara infrastruktur pendidikan, tidak boleh bersikap minimalis atau menyerahkan tanggung jawab kepada masyarakat dan swasta. Khilafah mampu menyediakan dana besar untuk menjaga kondisi sarana dan prasarana sekolah dalam kualitas terbaik. Hal ini terwujud karena Islam menetapkan negara sebagai raa’in (pengurus) yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk pendidikan.

Demikianlah, Khilafah memperhatikan dan mendukung sektor pendidikan agar tujuan-tujuannya mudah tercapai serta rakyat merasa aman dan nyaman bersekolah. Negara menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas sebagai salah satu aspek yang memengaruhi keberhasilan pendidikan. Hasil akhirnya adalah terwujud peradaban Islam nan gemilang. Wallahu a’lam.

Bagikan