Poligami, Hukum Negara, dan Aspek Kesehatan

Poligami, Hukum Negara, dan Aspek Kesehatan

Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum Perkawinan Indonesia berasaskan monogami.

Asas monogami lebih ditegaskan lagi di dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini berarti sebenarnya yang disarankan oleh undang-undang adalah perkawinan monogami.

Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, sebagaimana dapat kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat [1] UU Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika:

  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat [1] UU Perkawinan):

  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).

(Dari berbagai sumber)

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.