Pembantaian Jammu, Genosida Muslim Kashmir oleh Hindu India yang Terlupakan

Pembantaian Jammu, Genosida Muslim Kashmir oleh Hindu India yang Terlupakan

KHASMIR (Jurnalislam.com) – Ini adalah kisah tentang salah satu genosida paling tidak dikenal dalam sejarah modern. Dilakukan dengan sangat cermat sehingga sulit untuk menemukan jejaknya kecuali dalam kenangan para korban yang selamat, dan kisah-kisah horor mereka yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Sekitar 500.000 lebih Muslim dibunuh militer dengan ketepatan. Itu adalah operasi yang bahkan bahasa pun tidak memiliki kata-kata untuk mengungkapkan pelanggaran terhadap manusia ini.

Meskipun pembunuhan yang ditargetkan sudah mulai di Jammu sekitar pertengahan Juli 1947, operasi ini mendapat tambahan tenaga segera setelah Maharaja Hari Singh dan istrinya yang melarikan diri mencapai Jammu pada 26 Oktober 1947. Sebuah pembantaian terkoordinasi dilakukan untuk membunuh Muslim, di mana pun muslim ditemukan atau terlihat di Jammu.

Harian Inggris The Times London mengutip koresponden khusus mereka di India menyatakan bahwa Maharaja Hari Singh, di bawah pengawasannya sendiri, membunuh 237.000 Muslim, menggunakan kekuatan militer di wilayah Jammu. Editor Statesman, Ian Stephen, dalam bukunya Horned Moon menulis bahwa sampai akhir musim gugur 1947, lebih dari 200.000 Muslim dibunuh sekaligus dalam satu operasi. Horace Alexander menulis dalam Spectator (16 Januari 1948) bahwa pembunuhan telah mendapat persetujuan diam-diam dari otoritas negara dan menyebut angka korban sebesar 200.000.

Tujuan utama penguasa Hindu Dogra adalah untuk mengubah komposisi demografi daerah tersebut dengan menghilangkan populasi Muslim. Begitu intensitasnya pembantaian di provinsi Jammu hingga sekitar 123 desa benar-benar dijadikan tidak berpenghuni. kabupaten Kathua kehilangan hampir lima puluh persen populasi Muslim mereka. Ribuan etnis Gujars dibantai di mohalla Ram Nagar. Desa Raipur, dalam area barak Jammu benar-benar terbakar.

Pasukan negara Dogra berada di garis depan serangan terhadap Muslim. Otoritas negara juga mengeluarkan senjata tidak hanya untuk memerangi organisasi relawan lokal seperti RSS, tetapi juga orang-orang di sekitar kabupaten Punjab Timur seperti Gurdaspur.

Administrasi negara tidak hanya mendemobilisasi (menonaktifkan) sejumlah besar tentara Muslim yang bertugas di tentara negara, tetapi polisi Muslim juga dipulangkan. Di kota Jammu, militer Muslim dilucuti dan barak Brigadir Muslim Jammu digantikan oleh petugas Hindu Dogra. Muslim yang mengungsi di kantor polisi dan / atau kantor Wakil Komisaris secara terbuka diserahkan kepada kelompok RSS binatang oleh petugas Dogra sendiri.

Sementara itu, Maharaja di Patiala tidak hanya memasok senjata tetapi juga mengirimkan satu pasukan Brigade Negara Patiala untuk beroperasi di Jammu dan Kashmir, yang tanpa bantuan dan dukungan tersebut, tujuan mereka tidak bisa dicapai dengan sukses. The Times of London melaporkan peristiwa di Jammu dengan headline halaman depan: “Penghapusan Muslim dari Jammu”, dan menunjukkan bahwa Maharaja Hari Singh “secara pribadi memerintahkan semua pasukan” yang membersihkan kaum Muslim.

Bahwa ada rencana untuk mengubah demografi ini dibuktikan dengan insiden lain yang dilaporkan. Perdana Menteri Jammu dan Kashmir, Mehr Chand Mahajan, saat tiba di Jammu mengatakan kepada delegasi Hindu, yang bertemu di Istana, bahwa sekarang ketika kekuasaan berada di tangan rakyat maka mereka lebih baik menuntut paritas.

Ketika salah satu anggota delegasi ingin tahu bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Mahajan, menunjuk ke cagar alam Ramnagar di bawah, di mana mayat Muslim masih berbaring sambil mengatakan, “rasio penduduk juga bisa diubah seperti itu.” ( “Penghapusan Muslim dari Jammu- Elimination of Muslims from Jammu II“, The Times, London, 10 Agustus 1948, halaman 5. Lihat juga wawancara Ved Bhasin untuk Kashmir Life).

Baik sumber dokumenter maupun lisan sama-sama menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan pada umat Islam tidak kurang adalah holocaust yang terorganisir. Sheikh Mohammed Abdullah, yang diangkat sebagai “Kepala Administrator Darurat” pada 30 Oktober 1947 tidak bisa mencegah pembantaian itu. Dia menulis dalam otobiografi Atish-e Chinar (halaman 312) bahwa pembantaian itu mendapat dorongan setelah kedatangan Menteri Dalam Negeri Gabungan Sardar Patel, Menteri Pertahanan Gabungan Baldev Singh bersama dengan maharaja dari Patiala, orang yang dikenal anti-Muslim itu, di Jammu.

Trio tersebut bertemu dengan berbagai organisasi dan delegasi Hindu, setelah pembantaian itu mencapai momentum yang besar. Fanatik Hindu, dibantu dan didukung oleh pasukan pemerintah, mulai membakar desa-desa yang dihuni oleh umat Islam. Perempuan diperkosa. Senjata dengan bebas didistribusikan kepada perampok dari rumah Kachi Chawni di Pandith Prem Nath Dogra dan termotivasi oleh Balraj Madohk.

Pada 6 November umat Islam yang masih hidup diperintahkan untuk berkumpul di sebuah tanah terbuka, untuk dikirim ke Pakistan, digiring dalam truk seperti ternak dan dibunuh tanpa ampun dengan tembakan senapan mesin antara Digiana dan Samba belt. Wanita diculik dan diperkosa. Bahkan tidak terkecuali putri legendaris Chaudhary Ghulam Abbas. Banyak wanita lebih memilih mati daripada terjerumus ke binatang kejam yang tidak akan menolak menyebut diri mereka sebagai orang-orang sekuler.

Di darat, operasi pembunuhan yang terorganisir, diarahkan dan diawasi oleh Maharani Tara Devi bersama dengan Guru bejat, Sat Dev dan Gubernur Jammu, Chet Ram Chopra. Pada tingkat politik-administratif, Sheikh semata-mata menempatkan kesalahan pada penguasa Dogra Hari Singh dan Perdana Menteri Mahajan. Pada satu titik waktu, Sheikh bahkan mulai memikirkan tindakan terhadap duo tersebut atas kejahatan terhadap kemanusiaan (Atish-e Chinar, halaman 331). Tapi kenapa dia tidak menerjemahkan pikirannya menjadi tindakan tetap terselubung dalam misteri. Apakah dia menyerahkan hak ini kepada Sardar Patel sebagai perdana menteri pada Maret 1948? Seperti umum diketahui, pemerintah India dan penguasa Dogra hanya mengakui perannya yang terbatas dalam pemerintahan sejenis Mysore.

Tetapi kemudian rencana ini berubah dan Sheikh ditawari jabatan perdana menteri penuh. Atau apakah itu hasil dari tekanan koersif yang diterapkan oleh Patel kepada Abdullah untuk memenjarakan kerabat dekatnya yang tertangkap tangan mencuri perhiasan berharga dalam istana Maharaja di Indore (yang dikenal sebagai Holkars) tempat ia bekerja?

Aspek lain pembantaian itu adalah perampasan properti Muslim. Nama-nama Muslim segera dihapus agar sesuai dengan kepemilikan baru. Misalnya Urdu Bazar menjadi Rajinder Bazar dan Sekolah Islamia menjadi SMA Hari Singh agar sesuai dengan kepemilikan yang baru. Hampir 95 persen properti yang tersisa yang normalnya harus diambil alih oleh pemerintah negara bagian diizinkan diambil oleh para penjarah dan perusuh (Daily Telegraph of London tanggal 12 Januari 1948).

Properti-properti ini terus berada di bawah kepemilikan ilegal para penjarah dan keturunan mereka dan justru karena alasan ini sehingga Catatan Pemukiman (the Resettlement Bill) menghadapi penentangan keras di Jammu atas kekhawatiran bahwa properti tersebut akan diproses secara hukum. Bahkan Indira Gandhi menyatakan kekhawatiran seperti di Jammu dalam kampanye pemilihannya tahun 1983.

Insiden lain juga perlu disebutkan di sini. Ketika pengungsi Hindu dari Muzaffarabad dan sekitarnya mencapai Kashmir, berharap tiba di Jammu atau Punjab, tongawallas (penarik kereta kuda) Muslim Kashmir lokal termotivasi mengangkut mereka ke Jammu melawan rintangan berat.

Awalnya 22 tongawallas dipekerjakan. Mereka kemudian bergabung dengan banyak orang lain dari wilayah pedesaan Khannabal-Qazigund. Akhirnya seluruh tongawallas yang berjumlah sekitar 90 dibantai dekat Nagrota. Kesalahan mereka hanyalah membawa pengungsi Hindu mencapai tujuan mereka dengan aman.

Yang unik dari holocaust ini adalah keterlibatan Negara di satu sisi dan pengorbanan teladan Muslim Kashmir untuk minoritas di sisi yang lain. Mohandas Karamchand Gandhi begitu muak dengan pembantaian tersebut sehingga pada dua kesempatan (27 November dan 25 Desember 1947), ia menyebutkan hal itu dalam kata-kata sebagai berikut:

“Orang-orang Hindu dan Sikh dari Jammu dan mereka yang sudah ada dari luar (mengacu preman RSS dari Gurdaspur dan sekitarnya) membunuh umat Muslim di sana. Perempuan mereka dilecehkan. Dan tragedy ini belum dilaporkan secara penuh di surat kabar. Maharaja Kashmir bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di sana.” (Collected Works of Mahatma Gandhi, Volume 90, halaman 115 dan 298). Hal ini tidak mengherankan, kemudian, bahwa ketika Gandhi dibunuh oleh fanatik Hindu yang didukung RSS, permen dibagikan ke seluruh Jammu dengan perlakuan khusus yang disediakan Istana Maharaja.

Tapi ada beberapa upaya yang berani dari beberapa umat Hindu yang mencoba menyelamatkan umat Islam yang dikurung di Jammu saat itu. Nama-nama seperti Krishen Dev Sethi, Ved Bhasin dll berada di daftar atas. Tapi orang seperti mereka sangat sedikit.
Sumber: Kashmir Reader

Bagikan