Non-Muslim pun Rasakan Manfaat Ekonomi Syariah, Mengapa Kita Ragu?

Non-Muslim pun Rasakan Manfaat Ekonomi Syariah, Mengapa Kita Ragu?

Oleh: Mahladi Murni, Wakil Sekretaris Komisi Infokom MUI

Namanya Bu Susan. “Saya seorang non Muslim,” katanya pada Selasa siang, 13 Desember 2022, di salah satu ruang pertemuan di Hotel Le Meridian, Jakarta.

Di ruang itu berkumpul sekitar 30 utusan dari berbagai kementerian RI dan lembaga non pemerintah atas undangan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Saya juga ikut dalam pertemuan tersebut mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Bu Susan melanjutkan ceritanya. “Awalnya saya tak tahu apa itu asuransi syariah, apa pula bank syariah,” jelasnya. Seseorang lalu datang menjelaskan kepadanya.

“It’s OK. Saya mulai tertarik,” jelas Bu Susan. Rupanya prinsip syariah mengedepankan keadilan dan kemanusiaan. Prinsip keadilan ini membuat siapa pun, termasuk non Muslim sekalipun, merasa aman bertransaksi.

“Saya mulai paham bahwa prinsip syariah itu menjauhkan orang dari unsur haram, zalim, riba, gharar (tipu-tipu), dan maysir (gambling). Semua unsur tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan,” cerita Bu Susan.

Lama-lama, Bu Susan tak sekadar tertarik, namun ikut serta menjadi bagian dari masyarakat yang menggunakan produk dan layanan ekonomi dan keuangan syariah. “Saya mengganti asuransi saya dari konvensional ke syariah,” jelasnya.

Belakangan, Bu Susan tak lagi sekadar pengguna, namun kerap mengajak rekan-rekannya sesama non-Muslim untuk ikut menerapkan prinsip ekonomi dan keuangan syariah.

“Kita harus sepakat bahwa syariah itu bukan milik satu kelompok atau golongan saja. Syariah itu untuk semua orang,” jelas Bu Susan.

Saya tertarik dengan cerita Bu Susan. Tak banyak masyarakat Indonesia yang sadar seperti dia. Jangankan non-Muslim, pemeluk Islam sekali pun, belum tentu mengerti dengan prinsip ekonomi dan keuangan syariah.

Survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI) pada 2021 menunjukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap ekonomi syariah sebesar 20,1 persen. Padahal, jumlah pemeluk Islam di negara ini pada tahun tersebut sebesar 237,53 juta jiwa atau 86,9 persen dari total penduduk Indonesia (data dari Kementerian Dalam Negeri).

Dari angka-angka tersebut kita bisa menebak bahwa ada sekitar 60 persen masyarakat Muslim Indonesia yang belum paham dengan prinsip ekonomi dan keuangan syariah. Jika mereka diajak untuk bertransaksi dengan sistem ekonomi dan keuangan syariah barangkali mereka akan bertanya, “Saya dapat apa?”

Pertanyaan seperti itu sebetulnya lumrah dilontarkan masyarakat awam. Mereka masih berpikir tentang kehidupan di dunia. Belum berpikir jauh hingga kehidupan setelah mati.

Namun, bila melihat pemaparan Bu Susan di atas, maka jawaban atas pertanyaan seperti itu sebetulnya sudah clear. Wong masyarakat non Muslim saja telah merasakan keuntungan dari ber-ekonomi dan keuangan syariah. Apalagi masyarakat Muslim.

Akan tetapi, para ulama harus lebih giat mendakwahkan kepada masyarakat Muslim Indonesia bahwa penerapan syariah bukan sekadar persoalan “Saya dapat apa?”

Meskipun apa yang dirasakan Bu Susan sudah pasti dirasakan juga oleh kaum Muslim jika menggunakan prinsip syariah, namun yang lebih penting lagi adalah perasaan aman dari praktik-praktik yang membuat murka Tuhan. Sebab kelak masing-masing kita akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan di dunia. Wallahu a’lam. (mui.or.id)

Bagikan