Muslim Rohingya: Jika Kalian Diam, Kalian akan Saksikan Pembantaian Srebrenica di Myanmar

Muslim Rohingya: Jika Kalian Diam, Kalian akan Saksikan Pembantaian Srebrenica di Myanmar

ROHINGYA (Jurnalislam.com) – Muslim Rohingya memperingatkan bahwa jika masyarakat internasional tidak mengambil sikap tegas melawan kekerasan di Myanmar, negara tersebut dapat menyaksikan “pembersihan etnis dalam skala pembantaian Srebrenica”.

Lebih dari 22 tahun setelah 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim dibantai oleh tentara Serbia Bosnia di “tempat berlindung” PBB di Srebrenica, sumber Rohingya yang terpisah mengatakan kepada Al Jazeera, Kamis (7/9/2017) bahwa sedikitnya 1.000 minoritas Muslim yang teraniaya, termasuk sejumlah perempuan dan anak-anak, telah terbunuh dalam dua pekan terakhir ini.

Pasukan Budha Myanmar mengklaim bahwa mereka telah membunuh sedikitnya 370 “pejuang” Muslim Rohingya sejak putaran terakhir kekerasan di negara bagian Rakhine dimulai pada 25 Agustus yang menurut saksi justru merupakan warga sipil yang mereka bunuhi secara brutal dengan mortir dan senapan mesin.

Kekerasan tersebut telah menyebabkan lebih dari 164.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, menurut perkiraan PBB.

Inilah Laporan Para Pengungsi Rohingya yang Tiba di Bangladesh

Pada hari Selasa, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga memperingatkan kemungkinan risiko pembersihan etnis, dan meminta pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer negara tersebut untuk mengakhiri pembantaian di sana.

Dua sumber mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Kamis bahwa sejumlah orang telah ditembak mati di dekat kota Maungdow di Rakhine. Asap tebal juga terlihat mengepul dari desa Godu Thara setelah pasukan Budha Myanmar membakar rumah-rumah penduduk Muslim Rohingya yang melarikan diri.

Sumber-sumber tersebut mengatakan bahwa para pemimpin masyarakat di desa-desa lain yang juga terkena dampak kekerasan tersebut tidak dapat menyelenggarakan pemakaman Islam setelah para imam melarikan diri ke hutan.

Akses bagi media asing ke area tersebut telah diblokir sehingga Al Jazeera tidak dapat secara independen memverifikasi keterangan sumbernya.

Berbicara kepada Al Jazeera dari kota Maungdow dengan nama samaran, Anwar, 25, mengatakan bahwa ada “operasi militer yang terus menerus dan menargetkan umat Islam”.

“Tentara Myanmar dan ekstremis Buddha secara khusus menargetkan populasi Muslim,” katanya.

“Wanita, anak-anak, orang tua – tidak ada yang terhindar situasi yang terus bertambah buruk dan pemerintahan Aung San Suu Kyi gagal menaikkan suaranya,” Anwar menambahkan.

Bawa Bantuan Kemanusian, Ibu Negara Turki Terjun Langsung ke Kamp Pengungsi Rohingya

Aung San Suu Kyi, mantan tahanan politik penguasa militer Myanmar, sejauh ini belum berbicara secara terbuka mengenai nasib orang Muslim Rohingya yang melarikan diri.

Berbicara untuk pertama kalinya mengenai masalah ini pada hari Rabu, dia mengatakan bahwa pemerintahannya melakukan yang terbaik untuk melindungi semua orang di Rakhine dan menyalahkan “teroris” karena “gunung es yang sangat buruk dari kesalahan informasi” atas perselisihan di negara bagian tersebut.

Tapi kesunyiannya telah menarik kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia, aktivis dan beberapa politisi di dunia.

“Kecuali jika masyarakat internasional bertindak, dan berhenti memberikan jani-janji manis yang buruk, kita akan menyaksikan genosida lain – waktu kita hampir habis,” kata Anwar.

Pertarungan kekerasan terakhir dimulai saat pejuang Muslim Rohingya menyerang pos polisi dan pangkalan militer di Rakhine sebagai aksi balasan atas pemerkosaan massal, penyiksaan, pembakaran, pembunuhan dan penjarahan oleh tentara Budha Myanmar.

Pengungsi Rohingya yang melarikan diri menuduh pasukan keamanan negara itu menanggapi dengan melakukan pembakaran, penyiksaan dan pembunuhan untuk memaksa mereka keluar dari Myanmar.

Myint Lwin, penduduk kota Buthidaung, mengatakan bahwa foto-foto yang diedarkan secara luas di Twitter dan Facebook “menunjukkan sebuah operasi sistematis dalam membantai umat Islam”.

“Situasi ini tidak berbeda dengan pembantaian yang kita saksikan di Bosnia,” kata Lwin.

“Hanya umat Islam yang menjadi sasaran tentara Myanmar. Umat Buddha, Kristen dan kelompok etnis lain yang tinggal di Rakhine terhindar dari sebagian besar kekerasan. Ada rencana yang jelas untuk menghapus Muslim Rohingya.”

Rohingya, sebuah kelompok etnis Muslim yang telah tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar selama berabad-abad, telah puluhan tahun mengalami penindasan oleh mayoritas umat Buddha di negara itu.

Setelah kewarganegaraan mereka dilucuti oleh junta militer pada tahun 1980an, mereka mengalami pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan massal, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa – antara tahun 1970an dan awal 1990an, sekitar satu juta orang terpaksa meninggalkan negara tersebut.

“Kami tidak bisa mengakses makanan, air, tempat tinggal, identitas dan sekarang keberadaan kami juga,” kata Ro Nay San Lwin, aktivis Rohingya berusia 39 tahun yang berbasis di Eropa.

“Minoritas lain juga dianiaya oleh tentara, tapi situasi kami jauh lebih buruk, kami tidak memiliki kebebasan, harga diri dan kewarganegaraan. Kita dikepung dan menderita di beberapa bidang.”

Banyak dari mereka dalam gelombang pengungsi terakhir yang sakit dan terluka. Mereka menyaring sumber dana dari lembaga bantuan dan masyarakat yang telah membantu ratusan ribu orang yang mengungsi akibat gelombang kekerasan sebelumnya.

Bawa Bantuan Kemanusian, Ibu Negara Turki Terjun Langsung ke Kamp Pengungsi Rohingya

Banyak muslim Rohingya terdampar di “tanah tak bertuan” – sebuah wilayah antara perbatasan Myanmar-Bangladesh – tanpa tempat berlindung, dimana kelompok-kelompok bantuan tidak dapat menyediakan air bersih, sanitasi dan makanan, menurut Joseph Tripura, seorang pejabat bantuan PBB di Cox’s Bazaar.

Jamila Hanan, seorang aktivis hak asasi manusia independen dan direktur kampanye online #WeAreAllRohingyaNow, mengatakan bahwa “operasi militer saat ini jauh lebih besar daripada serangan sebelumnya”.

“Proses dehumanisasi telah mencapai tingkat puncak dengan Rohingya tidak lagi dipandang sebagai manusia, lebih sebagai hama dan penyakit sehingga militer bisa membunuh mereka tanpa ragu,” katanya.

“Kantor komunikasi pemerintah secara efektif telah memberi lampu hijau kepada militer untuk melakukan kekejaman ini,” Hanan menambahkan.

“Dan dengan masyarakat internasional yang gagal mengutuk kekerasan serta kekuatan regional yang mengincar potensi ekonomi Myanmar, tidak mungkin kita akan melihat penghukuman dalam waktu dekat.”

Penyebaran Pengungsi Muslim Rohingya di Sejumlah Negara
Penyebaran Pengungsi Muslim Rohingya di Sejumlah Negara
Bagikan