“Kami Sekarat dalam Diam”: Pasien Gagal Ginjal RS Al-Shifa Gaza Berjuang untuk Tetap Hidup

“Kami Sekarat dalam Diam”: Pasien Gagal Ginjal RS Al-Shifa Gaza Berjuang untuk Tetap Hidup

GAZA (jurnalislam.com)- Di sisa-sisa Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza, para pasien gagal ginjal kronis duduk diam di kursi plastik atau terbaring di atas tandu berkarat, menunggu giliran menggunakan mesin dialisis—yang belum tentu berfungsi.

Dialisis adalah satu-satunya harapan hidup bagi mereka yang ginjalnya tidak lagi bekerja. Tanpanya, racun akan menumpuk dalam tubuh dan menyebabkan gagal jantung, koma, hingga kematian. Namun, di Gaza yang porak-poranda akibat perang, layanan vital ini kini menjadi korban pengepungan Israel, membuat harapan hidup kian menipis.

“Saya datang ke sini karena saya ingin tetap hidup. Tapi terkadang saya berpikir, mungkin lebih mudah jika saya mati,” ujar Hind Awadallah, seorang ibu yang mengungsi dari Kamp Pengungsi Jabalia, kini tinggal di tenda di Gaza Tengah.

Sejak 2022, Awadallah menjalani dialisis setelah bertahun-tahun menderita hipertensi yang tak terdiagnosis. Sebelum perang, ia menerima empat sesi per minggu. Kini, ia hanya bisa mendapat satu atau dua sesi, dengan durasi perawatan dipangkas dari empat jam menjadi dua jam, memperburuk kondisinya.

“Mesin selalu mati saat listrik padam,” katanya. Meski demikian, Awadallah memuji dedikasi para perawat, meski sumber daya sangat terbatas.

Rumah Sakit yang Tak Lagi Layak

Al-Shifa, rumah sakit terbesar dan paling lengkap di Gaza, kini hanya menjadi bangunan kosong setelah berbulan-bulan dikepung dan diserang Israel. Laboratoriumnya tak lagi berfungsi, ruang operasinya gelap gulita.

Unit dialisis yang dulu mampu melayani ratusan pasien kini rusak. Mesin-mesin digunakan bersama oleh tiga pasien atau lebih, durasi sesi dipangkas, kebersihan terabaikan, bahkan air yang digunakan sering kali tak disaring dengan benar.

“Tidak ada lagi infrastruktur. Tidak ada listrik, air bersih, atau obat-obatan,” kata Dr. Ghazia-Yazji, Kepala Departemen Nefrologi RS Al-Shifa.

“Kami berusaha sekuat tenaga menyelamatkan pasien. Tapi sering kali, kami hanya menyaksikan mereka meninggal. Kami tidak berdaya,” ujarnya.

Sameh Nijim, pasien lainnya, menyebut Al-Shifa tak ubahnya “ruang tunggu bagi mereka yang sekarat.”

Nour Siam, bocah sembilan tahun dengan kelainan ginjal bawaan, kini menjalani hidup dalam penderitaan. Ayahnya, Ahmed Siam, membawa Nour ke RS Al-Shifa setiap minggu. “Dia seharusnya bersekolah, bukan berada di sini. Dia tak bisa berjalan sendiri selama berminggu-minggu,” katanya.

Angka Kematian Meningkat Tajam

Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, sejak perang dimulai, lebih dari 400 pasien ginjal telah meninggal dunia, mayoritas akibat gangguan perawatan, air terkontaminasi, dan runtuhnya layanan medis. Banyak yang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit atau di tempat penampungan yang penuh sesak.

“Krisis kesehatan di Gaza sudah mencapai tingkat bencana,” ujar Munir al-Batish, Direktur Kementerian Kesehatan Gaza. “Sistem kesehatan hancur, rumah sakit kewalahan, dan penargetan fasilitas medis oleh Israel membuat kami tak mampu menanggapi jumlah korban yang terus bertambah.”

Serangan Sistematis terhadap Infrastruktur Sipil

Mustafa Ibrahim, analis politik Gaza, menyebut penghancuran rumah sakit sebagai bagian dari strategi Israel yang disengaja. “Al-Shifa adalah simbol ketahanan Gaza. Penghancurannya merupakan pesan bahwa Gaza tidak dimaksudkan untuk pulih.”

Menurutnya, para pasien ginjal adalah gambaran nyata dari masyarakat Gaza yang paling rentan. Tanpa akses terhadap dialisis, mereka tak punya harapan hidup.

Hingga kini, upaya internasional untuk mengirimkan bantuan medis masih belum mencukupi. Ribuan warga Gaza bergantung pada solidaritas global untuk mengakhiri pengepungan dan mencegah kehancuran lebih lanjut.

Selama pengepungan masih berlangsung dan sistem kesehatan tak pulih, pasien ginjal di Gaza akan terus sekarat dalam diam. (Bahry)

Kisah ini dilansir dari The New Arab tanggal 29 April 2025

Bagikan