MUI Sulteng Sering Melarang Palu Nomoni Tapi Tak Didengar

MUI Sulteng Sering Melarang Palu Nomoni Tapi Tak Didengar

Mayoritas warga Palu berkeyakinan salah satu penyebab bencana gempa bumi dan tsunami dikarenakan ritual adat Palu Nomoni yang dihidupkan kembali.

PALU (Jurnalislam.com) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri mengatakan, pihaknya sering menyampaikan bahwa ritual adat Palu Nomoni dan ritual balia di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Hal itu dikarenakan dalam ritual tersebut terdapat banyak unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam dan kesyirikan seperti membunuh binatang dengan cara disiksa untuk dijadikan sesajen.

“Baik dalam pandangan Islam maupun pandangan yang bukan, sebagai manusia yang tidak beragamapun melihat ini sesuatu yang tidak wajar dilakukan khususnya di zaman modern begini yang mempercayai animisme dan lain sebagainya,” papar Habib Ali kepada Jurnalislam.com saat ditemui kediamannya Jl. Sis Al-Jufri, Rabu (17/10/2018).

Musabab itulah yang membuat MUI Sulteng mengeluarkan larangan ritual tersebut. Meski Habib Ali tidak menjelaskan bentuk larangan tersebut tertuang dalam fatwa, akan tetapi masyarakat muslim Sulteng manut pada imbauan para ulama.

Jembatan Ponulele atau jembatan kuning di Kota Palu roboh diterjang tsunami. Foto: Ally/jurniscom

Baca juga : Tsunami Itu Pecah Di Atas Kubah

“Saya kira kita sudah pernah, kita punya dai-dai juga sudah sering (menyampaikan perihal larangan ritual balia-red), tetapi mungkin tidak didengar atau bagaimana,” katanya.

Ritual balia sejatinya merupakan upacara adat khas suku Kaili untuk meminta kesembuhan. Ritual ini sudah lama dihilangkan oleh para ulama dari masyarakat Palu karena prosesinya yang kental dengan unsur kesyirikan.

Habib Ali menyampaikan, dalam ajaran Islam, ikhtiar untuk mencari kesembuhan merupakan kewajiban. Akan tetapi ikhtiar tersebut harus tidak boleh melenceng dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah.

“Kita hanya melihat kehidupan dunianya, dunia kita, tetapi tidak melihat apa yang diajarkan oleh Allah Subahanahu Wata’ala,” pungkasnya.

Sebuah Masjid di tepi pantai Talise, Kota Palu pasca diterjang tsunami. Foto: Ally/Jurniscom

Baca juga : Habib Rotan: Insya Allah Tahun Depan Tak Ada Lagi Palu Nomoni

Untuk diketahui, semenjak Walikota Palu dijabat Hidayat pada 2016 lalu, ritual Palu Nomoni kembali dihidupkan. Warga Palu menceritakan, setidaknya sudah terjadi tiga kali kejanggalan ketika upacara adat Palu Nomoni kembali digelar semasa pemerintahan Hidayat.

“Yang pertama dulu nelayan dimakan buaya, yang kedua angin kencang, ini yang paling parah, tsunami,” kata salah seorang warga yang enggan disebut namanya.

Warga berkeyakinan, musibah-musibah yang menimpa warga semenjak Palu Nomoni digelar kembali merupakan teguran langsung dari Allah.

“Itu berarti Allah tidak suka dengan acara itu, tapi dia orang itu memaksakan, akhirnya kami yang jadi korban,” ucap warga Kota Palu lainnya.

Sejak 10 hingga 15 Oktober 2018, tim Jurnalislam.com di lapangan telah mewawancarai lebih dari 50 warga Kota Palu dan Donggala terkait Palu Nomoni ini. Jawabannya seragam, mereka berkeyakinan salah satu penyebab bencana gempa bumi dan tsunami ini disebabkan oleh dihidupkannya lagi Palu Nomoni.

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.