IRAK (Jurnalislam.com) – Kepemimpinan Kurdi di Irak utara mengatakan pemerintah federal di Baghdad terus memobilisasi pasukannya menuju perbatasan wilayah semi-otonom di negara itu.
Dewan Keamanan Daerah Kurdistan (The Kurdistan Region Security Council KRSC) mengatakan pada hari Senin bahwa mereka khawatir mengenai “penempatan berbahaya” pasukan Irak dan milisi sekutu di wilayah tersebut.
“Dalam 48 jam terakhir, Irak terus menyebarkan tank dan artileri, serta peralatan Amerika, termasuk Humvee dan Armourage Personel Carriers,” katanya dalam sebuah pernyataan pada hari Senin (23/10/2017), lansir Aljazeera.
Pasukan Kurdi Lancarkan Serangan Balik ke Komando Operasi Bersama Irak di Kirkuk
“Irak tidak menunjukkan tanda-tanda menurunkan agresi militer mereka terhadap rakyat Daerah Kurdistan,” kata KRSC, mendesak Baghdad untuk menghentikan penumpukan militer tersebut.
“Kami meminta pemerintah Irak untuk segera menghentikan agresi militernya dan menarik diri dari semua wilayah.”
Tidak ada komentar langsung dari Baghdad.
Tentara Irak, yang didukung oleh milisi Syiah yang dilatih Iran, pada hari Sabtu mengklaim menguasai semua provinsi Kirkuk yang kaya minyak setelah penangkapan Altun Kupri dalam pertempuran sengit melawan pasukan Peshmerga Kurdi.
Pasukan Baghdad sebelumnya telah merebut kota Kirkuk, sebagai bagian dari operasi militer besar setelah sebuah referendum kontroversial pada 25 September mengenai pemisahan diri Kurdi yang menurut Baghdad dinyatakan ilegal.
Saat tentara Irak maju, puluhan ribu orang, termasuk warga sipil dan militan Peshmerga, melarikan diri dari kota multi-etnis yang disengketakan, yang menampung sekitar satu juta orang Arab, Kurdi, Turkmen dan Kristen tersebut.
Pasukan Peshmerga Kurdi merebut Kirkuk, pusat minyak kedua Irak, pada pertengahan 2014 saat pasukan Irak mundur dari kelompok IS.
Pemerintah Daerah Kurdi Hadirkan PKK di Kirkuk, Irak: Ini Deklarasi Perang
Secara terpisah, pemilihan anggota parlemen dan presiden yang ditetapkan pada 1 November ditunda pada hari Senin setelah partai politik dilaporkan gagal menghadirkan kandidat.
Yerevan Saeed, seorang analis dan peneliti urusan Kurdi di Middle East Research Institute, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penyebab yang mendasari penundaan tersebut tampaknya semakin dalam.
“Kepemimpinan Kurdi dalam keadaan shock dan berantakan setelah mereka kehilangan hampir 45 persen wilayah yang mereka kendalikan sejak 2014,” katanya kepada Al Jazeera dari Washington, DC.
“Ini semua adalah akibat dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari referendum, dan tekanan regional dan internasional terhadap kepemimpinan Pemerintah Daerah Kurdi,” tambahnya.
“Referendum itu seharusnya mengkonsolidasikan legitimasi dan juga posisi partai Kurdi yang berkuasa, tapi jelas itu menjadi bumerang.”