Oleh: Rulian Haryadi (Founder Boomboxzine)
Sejauh ini fakta tentang keberlangsungan jihad di Afghanistan dan kontribusi Muslim dari Indonesia menyasar kepada satu nama yaitu Abdullah Sungkar rahimahullah. Yap, hal ini memang tepat dan benar adanya namun pertanyaan itu masih belum menjawab akar siapa yang memberi akses para calon mujahid bisa berlatih dan berkontribusi dalam jihad di Afghanistan medio 1985-1990an. Tidak mungkin Abdullah Sungkar bergerak berdua Bersama Abu Bakar Ba’asyir menjalin komunikasi dengan para ulama mujahid disana sementara mereka berdua adalah DPO (Daftar Pencarian Orang) pada saat rezim orde baru.
Jika kita melihat jejak dakwah Abdullah Sungkar pada periode 1982-1985 dirinya terlibat kerap kali dalam tekanan pemerintah. Misal pada 1977 ia terang-terangan menyatakan golput (Golongan Putih) karena melihat calon Presiden Indonesia tidak ada yang pantas kecuali Mohammad Natsir dan Mohammad Roem, hal ini membuat dirinya dibekuk dan mendekam satu bulan. Pada 1979-1982 Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir juga mendekam akibat teriak untuk menolak rancangan asas tunggal. Lalu apa mungkin Abdullah Sungkar yang penuh kasus besar dengan pemerintah mendapatkan akses untuk membantu jihad Afghanistan? Pertanyaan mendasar ini ternyata menyasar pada satu nama besar tokoh Islam yaitu Mohammad Natsir. Ya, Natsir adalah pemberi akses dari a sampai z dalam pelarian Sungkar dan Ba’asyir.
Berawal pada Februari 1985, DPR pada saat itu menyetujui usulan pemerintah memberlakukan UU (undang-undang) No.35/1985 tentang kewajiban partai politik menjadikan pancasila sebagai asas tunggal. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang kasusnya belum tuntas karena masih proses kasasi jaksa di Mahkamah Agung membuat mereka berdua gerak Langkah dakwahnya terbatas. Bulan berikutnya kabar soal putusan atas kasus hukum keduanya yaitu 9 tahun penjara beredar. Mendengar bocoran dari putusan itu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mengambil langkah ke Jakarta karena menganggap pihak aparat akan melacak ke Pesantren al-Mukmin (Ngruki) dulu lalu ke arah timur (Surabaya-Malang). Dan benar saja para apparat melacak kea rah sana sementara mereka berdua memutuskan ke Jakarta.
Pada April 1985 Abdullah Sungkar mendapat surat spesial dari Mohammad Natsir yang dibawa oleh kurir aktivis GPI (Gerakan Pemuda Islam) yang isi suratnya menyarankan keduanya lari ke Arab Saudi. Surat pun di titip balasan dengan mengusulkan untuk ke Malaysia saja agar mudah memantau politik di Indonesia dan pilihan itu disetujui Natsir. Komunikasi antara Sungkar dan Natsir ini bukan tiba-tiba terjadi karena sedari kecil Sungkar memang mengidolakan Natsir dan pada tahun 50-an Sungkar memang sudah menjadi simpatisan Masyumi di Solo. Pada 1970 Sungkar juga pernah diangkat langsung oleh Natsir menjadi ketua pembantu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Solo, bahkan ide tentang pendirian pesantren yang nanti cikal bakal Ngruki (al-Mukmin) di usulkan oleh Natsir rahimahullah.Tidak mengherankan bahwa keduanya memiliki kedekatan dan kepedulian dalam perjuang Islam.
Tidak memakan waktu lama Mohammad Natsir mempersiapakn pemberangkatannya melalui jalur Medan, Sumatera Utara. Sesampainya disana utusan Natsir pun bertemu dengan Sungkar dan Ba’asyir untuk memasuki jalur ilegal dari Tanjung Balai. Sampai Malaysia pun Natsir telah menaruh orang untuk mengisolasi keduanya selama sebulan di perumahan milik dosen UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia). Selang dari isolasi utusan Natsir pun memindahkan keduanya menuju masjid yang dikelola oleh Madrasah I’tiba as-Sunnah dan bertemu dengan sang pemimpinnya Hasyim Abdul Ghani. Sungkar dan Ba’asyir disambut baik dan kedua belah pihak sangat menyukai karena satu manhaj perjuangan. Keduanya juga digemari oleh jamaah masjid disana karena keramahan dan dalamnya ilmu agama mereka.
Berjalannya waktu disana Abdullah Sungkar kedatangan tamu yaitu Abdul Wahid Kadungga seorang yang dekat dengan Mohammad Natsir sekaligus menantu Kahar Mudzakir yang tinggal di Belanda. Kadungga sebenarnya di Malaysia hanya transit yang kebetulan baru pulang dari Afghanistan. Kadungga menyampaikan kabar pada Sungkar bahwa dirinya baru saja bertemu dengan Abdullah Azzam dan Abdul Rasul Sayyaf. Ia membeberkan fakta bahwa Syaikh Azzam membuka Maktab al-Khidmat yang memfasilitasi siapa saja mujahid yang ingin berjihad di Afghanistan.
Selepas pertemuan itu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendapatkan undangan dari pejabat negeri Malaysia. Pertemuan itu ternyata berisi penyampaian pesan bahwa keduanya diminta untuk pergi ke Arab Saudi dan Sungkar bertanya kepada pejabat Malaysia, “apakah kedatangan kami diketahui oleh Mahatir Muhammad?” Jawab pejabat Malaysia, “tentu, namun pemerintah mengambil sikap tutup mata.” Diakhir perbincangan keduanya diberikan 10.000 Dollar oleh pejabat Malaysia. Selanjutnya Sungkar dan Ba’asyir segera memproses untuk memalsukan paspor dan terbang ke Arab Saudi.
Sesampainya di Saudi mereka berdua memilih turun di Dahran yang posisinya 1000km sari Riyadh. Dari sana mereka berdua dijemput oleh Muhammad Nadzar dan Wahid Alwi orang DDII dan atas lobi Natsir keduanya memiliki visa gratis di Saudi. Beberapa minggu disana keduanya bertemu dengan Syaikh Ibnu Baz dan mencurhatkan posisi mereka berdua dan meminta do’a serta saran. Syaikh bin Baz menasihati bahwa keduanya jangan berkecil hati dan perjuangan mereka telah menjadi sunnah para pengikut Muhammad shalallahu’alaihi wasalam.
Selang bertandang di Saudi, keduanya terbang menuju Pshawar, Pakistan untuk bertemu Syaikh Abdul Rasul Sayyaf. Dari sanalah hubungan komunikasi dimulai untuk pengiriman mujahidin dari Indonesia. Peran Mohammad Natsir yang menyiapkan jalur penghubung antar mujahid ini jarang diketahui Muslimin dan saya rasa Natsir sangat paham urgensi keterlibatan Musmimin Indonesia dengan Afghanistan dimasa yang akan mendatang. Kehebatan Natsir sekaligus membuktikan perlunya tokoh-tokoh Islam yang otoritatif baik dari keilmuan dan diplomasi tingkat dunia seperti Mohammad Natsir untuk memuluskan penegakkan syariat Islam. Semoga Allah rahmati mereka.
Referensi;
– Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, (Jakarta: Republika 2007)
– Solahudin, NII sampai JI, (Depok: Komunitas Bambu 2011)