Hukum Penista Agama dan Ketahanan Nasional

Hukum Penista Agama dan Ketahanan Nasional

JURNALISLAM.COM – Negara memiliki tanggungjawab untuk menjaga kepentingan rasa keagamaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi. Kehidupan keagamaan yang kondusif serta terjaminnya tertib hukum merupakan satu kesatuan yang utuh. Apabila kepentingan agama diabaikan ketika terjadi penodaan, maka dikhawatirkan menjadi pembuka gerbang (starting point) timbulnya ancaman terhadap Ketahanan Nasional.

Penjelasan Umum Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan Kewaspadaan Nasional atas berbagai keadaan yang memecah persatuan nasional, dimana penodaan agama dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara.

Kondisi saat ini memperlihatkan bekerjanya sistem penegakan hukum terhadap penodaan agama (Basuki T. Purnama) telah dintervensi oleh kepentingan politik. Salah satunya adalah perihal tuntutan JPU yang sangat kontroversial.

Tuntutan JPU tersebut mengandung rekayasa penerapan hukum. JPU telah melakukan ultra vires dengan tuntutan percobaan selama 2 (dua) tahun. Pidana percobaan menurut Pasal 14a dan seterusnya dalam KUHP adalah kewenangan Hakim. Terlebih lagi tuntutan pidana 1 (satu) tahun tidaklah mencerminkan keadilan dan sekaligus tidak equal dengan berbagai perkara yang serupa. Belum pernah ada tuntutan 1 (satu) tahun dalam perkara penodaan agama.

Seiring dengan itu, berbagai penolakan dan bahkan kecaman diarahkan kepada institusi Kejaksaan yang dianggap telah melakukan keberpihakan. Tuntutan tersebut sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Seyogyanya kenyataan ini harus dipahami sebagai strong signals adanya konflik tersembunyi (latent conflict), jika dalam penerapan hukum ada rekayasa yang berdimensi politis. Kondisi demikian dikhawatirkan akan melahirkan konflik terbuka (manifest conflict).

Sebuah konflik yang tersembunyi dapat berubah menjadi konflik terbuka. Ketika sebuah konflik sudah menjadi konflik terbuka, biasanya sudah terlambat untuk ditangani. Tanda konflik mengalami eskalasi, yaitu bilamana terjadi perubahan sifat konflik, jumlah pihak dan perluasan isu. Singkat kata, terjadinya peningkatan eskalasi konflik dikhawatirkan timbul benturan dimasyarakat.

Dalam upaya mengidentifikasi terjadinya konflik, maka fungsi Kewaspadaan Nasional (early warning) menjadi keniscayaan guna pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri). Penguatan Kewaspadaan Nasional juga terkait dengan implementasi penegakan hukum yang berkeadilan. Disini para penegak hukum dituntut untuk mampu mencermati adanya berbagai ancaman yang berpotensi mengganggu Kamdagri dalam rangka menjaga Ketahanan Nasional.

Selanjutnya, Kamdagri menuntut adanya jaminan bekerjanya hukum dimasyarakat secara adil dan tentunya terbebas dari pengaruh apapun.
Dengan kata lain, upaya mewujudkan Kamdagri yang tangguh harus didukung penerapan hukum yang mengakomodasi perlindungan agama dan termasuk fungsi represifnya.

Ditinjau dari perspektif Keamanan Nasional, konsep perlindungan juga meliputi segala daya dan upaya untuk menjaga dan memelihara rasa aman dan damai bangsa Indonesia yang terdiri dari pertahanan negara, keamanan negara, keamanan publik dan keamanan individu. Tegasnya, Keamanan Nasional adalah manifestasi dari keamanan komprehensif.

Dilihat dari aspek hukum pidana, ada tiga hal yang harus dilindungi yaitu: pertama, kepentingan individu (individuele belangen). Kedua, kepentingan sosial/masyarakat (sociale belangen). Ketiga, kepentingan negara (staats belangen). Dapatlah dipahami bahwa kepentingan agama identik dengan kepentingan negara.

Penodaan terhadap agama yang dapat melahirkan konflik horizontal (das sein) memerlukan das sollen. Jika terjadi konflik, maka konflik tersebut merupakan kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit (das sein), namun demikian memerlukan kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan (das sollen). Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Oleh karenanya penegakan hukum terhadap pelaku penodaan agama harus mengedepankan asas keadilan guna mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada perkara Basuki T. Purnama, Majelis Hakim dituntut untuk bersikap responsif dan memutus perkara secara progresif. Majelis Hakim harus menggunakan haknya memutuskan perkara aquo melebihi tuntutan JPU (ultra petita).

Putusan Majelis Hakim yang mengedepankan rasa keadilan akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Putusan yang adil juga akan mendukung Ketahanan Nasional Indonesia.

Kepentingan agama sangat berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat dan bahkan negara. Terganggu dan terancamnya kepentingan agama, maka terganggu dan terancam pula Ketahanan Nasional Indonesia.

Ditulis oleh Dr. Chair Ramadhan, SH, MH. Doktor Hukum Ketahanan Nasional Universitas Negeri Sebelas Maret, Akademisi Universitas Krisnadwipayana dan Pengurus Komisi Kumdang MUI.

Bagikan