Harits Abu Ulya Beberkan Keterlibatan Indonesia dalam Proyek Brutal CIA

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Pemerhati kontra terorisme Harits Abu Ulya memandang rilis laporan Komite Intelijen Senat AS pada tanggal 9 Desember 2014 terkait kebrutalan Central Intellegent of America (CIA) dari tahun 2002-2007 dalam memperlakukan terduga dan tersangka terkait ‘terorisme’ versi AS dalam bentuk ; Rendisi (pengiriman tahanan tanpa proses hukum secara rahasia), Penahanan dan Interogasi.

"Ini jelas-jelas bukti kejahatan luar biasa dan sangat biadab yang dilakukan pemerintah AS melalui CIA selama menggelar proyek war on terrorism (WOT). Dan dunia makin melek, atas nama WOT Amerika merasa berhak memperlakukan siapa saja yang dianggap dari teroris jaringan al Qaidah dengan cara yang biadab dan sistemik,” katanya kepada Jurnalislam.com, Jum’at (12/12/2014).

Menurutnya, hukum dan keadilan menjadi absurd, dan memaksa dunia untuk mempercayai bahwa cara-cara brutal yang dilakukan CIA adalah legal. Di sisi lain, Amerika tampil di depan dunia Islam khususnya dengan suara lantang pentingnya penghormatan dan penegakkan HAM bahkan bisa melakukan invasi militer di negara lain atas nama HAM.

“Ini jelas standar ganda, sikap hipokrit (kemunafikan) yang sama sekali tidak bisa dibenarkan siapapun yang punya akal sehat,” tegas direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu.

Seperti diketahui, AS termasuk 152 negara yang menandatangani Konvesi PBB menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain (CAT). Dan yg lebih menyedihkan lagi, berdasarkan catatan (laporan) organisasi HAM Open Society Justice (OSJI) ada 9 negara yang dipakai untuk program brutal dari CIA dan 54 negara lainnya membantu penangkapan dan Rendisi dengan modus deportasi.

“Nah, dari 54 negara tersebut ternyata Indonesia terlibat proyek biadab tersebut. Tercatat Indonesia melalui BIN (Badan Intelijen Nasional) menangkap, 1. Muhammad Saad Iqbal Madni (9 Januari 2002) di rendisi ke Mesir, ketika ke Indonesia sering mengunjungi alumni Afghanistan yang tinggal di sekitar Taman Amir Hamzah, Menteng Dalam. 2. Salah Nasir Salim Ali Qoru (2003) direndisi ke Yordania. Dan diluar nama 2 orang tersebut juga tercatat BIN menangkap Umar Faruq, Februari 2002 dengan paspor atas nama Mahmud Bin Ahmad Assegaf di kirim ke Guantanamo berangkat dari Lapangan Pondok Cabe atas permintaan CIA,” ungkapnya.

Saat itu, lanjutnya, Hendropriyono sebagai Kepala BIN (KaBIN) dan menantunya Andika P (saat ini menjadi DanPaspampres Jokowi) operator lapangan. Ada juga nama Syam Reda juga dideportasi dari Indonesia. Seorang yang bernama Muhammad Fraq Ahmed Basmeila alias Muhammad al Somaila (2002) juga ditangkap, bersama dia ditangkap juga Waddah Nasser Salem Ali Bin Tamimi alias Abu Hamzah alias Muksin, keduanya dideportasi. Satu lagi, Abdel Ilah Sabri warga Libya kemudian dideportasi ke Afrika Selatan.

“Beberapa data ini terkonfirmasi dari data intelijen yang dibukukan oleh As'ad Said Ali dalam judul Al Qaeda-Tinjauan Sosial Politik Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014). Dan kebetulan posisi As'ad Ali Said juga menjadi WakaBIN di masa Hendropriyono menjadi KaBIN,” papar pria yang juga pengasuh Majelis Al Bayan, Lamongan itu.

Kebrutalan yang sama juga dilakukan Densus88 di Indonesia

Lebih lanjut Harits mengatakan, “Kalau saat ini pemerintah diminta untuk serius memperhatikan kasus pelanggaran serius HAM di masa lalu, maka jangan lupa bahwa proyek Kontra Terorisme yang digelar di Indonesia kurang lebih juga sama, menyimpan kabut persoalan yang sangat serius yakni cara-cara brutal dan biadab yang dilakukan oleh Densus88 dalam menangani orang-orang yang diduga dan tersangka teroris.”

Direktur CIIA ini juga beranggapan bahwa perang melawan terorisme menjadi topeng perang untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap mengancam kepentingan Barat dan negara-negara satelitnya.

“Dunia harus sadar, tindakan-tindakan biadab yang sistemik dilakukan oleh negara atau oknum dan institusi seperti CIA atau kalau di Indonesia Densus88 dan Satgas Penindakan BNPT adalah berkontribusi menjadi akar suburnya kekerasan dan "terorisme" menggeliat tak berujung,” tegasnya.

Jangan sampai rakyat Indonesia mengecam keras kebrutalan CIA tapi lupa di negerinya sendiri sudah banyak yang jadi korban kebrutalan Densus88 dan Satgas BNPT ala koboy CIA yang digelar atas nama perang melawan terorisme dengan menggunakan dana hibah dari Amerika, cs dan uang rakyat (APBN). (amaif/ciia)

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.