Oleh : Djumriah Lina Johan*
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta masyarakat Indonesia bersyukur karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diatas 5 persen. Sebab, kata dia, banyak negara lain yang justru pertumbuhan ekonominya anjlok. “Alhamdulillah, ini juga patut kita syukuri bahwa pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen, 5,02 persen. Patut kita syukuri, yang lain-lain bukan turun, anjlok. Kita ini kalau nggak kita syukuri, artinya kufur nikmat,” ujar Jokowi di Istana Negara Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Menurut dia, di antara negara G-20 lainnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di peringkat kedua. Jokowi menyebut sulit mempertahankan posisi tersebut di tengah kondisi ekonomi saat ini. (Liputan6, Rabu, 5/2/2020)
Menelisik rendahnya pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Jokowi memberikan efek yakni banyaknya kritik terhadap rezim yang berkuasa sekarang. Terlebih di kalangan pakar dan pemerhati sosial ekonomi di negeri ini. Dari sini, setidaknya ada lima poin yang bisa dianalisa dari mandegnya ekonomi negeri hingga pantas atau tidak untuk disyukuri sebagaimana logika presiden.
Pertama, pembajakan kata syukur dan kufur nikmat. Menurut Imam Al Ghazali, kufur nikmat adalah menggunakan kenikmatan yang Allah berikan pada jalan-jalan yang tidak diridai Allah dan enggan mengucapkan alhamdulillah. Kufur merupakan lawan dari kata syukur. Kufur adalah mengingkari nikmat yang telah diberikan Allah dimana hatinya tidak mengakui bahwa semua nikmat yang diterima pemberian dari Allah, lisannya tidak memuji atas nikmat yang Allah berikan, dan anggota tubuhnya tidak digunakan untuk beramal salih.
Sementara syukur adalah ungkapan terima kasih atas nikmat yang telah Allah berikan, dengan jalan menggunakan nikmat itu sebagai sarana beribadah kepada Allah. Sehingga menggunakan kata syukur dan kufur nikmat untuk meredam gejolak publik terhadap kegagalan pertumbuhan ekonomi oleh rezim adalah sebuah kesalahan.
Kedua, kritik atas pertumbuhan ekonomi. Sejatinya perbandingan merupakan perkara yang relatif, tergantung standar pembandingnya. Membandingkan capaian pertumbuhan ekonomi negeri ini dengan negara lain yang lebih kecil raihannya tentu saja akan menghasilkan kesimpulan bahwa negeri ini relatif lebih ‘baik’. Namun jika pembandingnya diganti dengan angka pertumbuhan yang lebih besar, maka hasilnya bangsa inilah yang mengalami keterpurukan.
Sehingga tuduhan kufur nikmat bagi siapa saja yang mempermasalahkan capaian kinerja pemerintahan saat ini boleh jadi merupakan upaya untuk memandulkan sikap kritis rakyat. Merupakan cara untuk menghentikan evaluasi dan nasihat sehingga borok-borok kegagalannya tetap tertutupi dan yang nampak di permukaan hanyalah keberhasilan semu yang sesuai kata rezim “patut kita syukuri”.
Ketiga, realitas ekonomi negeri. Sejatinya kemandegan ekonomi negeri yang terjadi dan belum pernah meningkat dari angka 5 menunjukkan ada kesalahan pada pengurusan ekonomi di dalam negeri. Padahal berita masuknya investasi ke Indonesia selalu ramai menyemarakkan jejaring sosial, TV, maupun koran. Namun, BPS mencatat justru penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi akibat investasi yang loyo dan penurunan daya beli masyarakat. Maka investasi yang selalu dielu-elukan ini lari kemana?
Selain itu, wajar jika terjadi penurunan daya beli masyarakat. Apalagi masyarakat menengah ke bawah. Sudahlah iuran BPJS naik seratus persen, tarif dasar listrik naik, hingga harga kebutuhan pokok pun merangkak naik. Bagaimana masyarakat mau menjadi konsumtif sebagaimana yang diharapkan jika kebijakan yang keluar dari Pemerintah selalu berjudul kenaikan?
Keempat, kapitalisme biang ekonomi lesu. Ekonomi meningkat, kesejahteraan rakyat, serta negara berdaulat hanyalah ilusi sistem kapitalistik. Kapitalisme dengan konsep investasi (utang) berbasis ribawi serta kesepakatan-kesepakatan yang terikat dengannya mengakibatkan adanya intervensi dalam pembuatan kebijakan maupun peraturan perundang-undangan. Akibatnya semua kebijakan hanya menguntungkan para kapitalis.
Selain itu, kapitalisme juga berdiri di atas pilar-pilar ekonomi yang rapuh seperti sektor non riil semisal saham dan bunga bank, dan pajak. Dengan demikian, apabila Indonesia benar-benar ingin negara mandiri serta ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tak ada jalan lain, selain mencampakkan sistem kapitalisme.
Kelima, Islam memiliki solusi tuntas untuk mengatasi problem yang menjangkiti negeri ini. Sumber ekonomi, sumber ekonomi Islam berdiri di atas sektor riil. Negara Islam minimal mempunyai empat sumber ekonomi, yaitu pertanian, perdagangan, jasa, dan industri.
Pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, di mana tanah-tanah pertanian yang ada harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Ini yang dikenal dengan kebijakan intensifikasi. Jika kurang, negara bisa mendorong masyarakat menghidupkan tanah-tanah mati, sebagai hak milik mereka, atau dengan memberikan insentif berupa modal, dan sebagainya. Ini yang dikenal dengan kebijakan ekstensifikasi. Dengan dua kebijakan ini, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya.
Ditopang dengan perdagangan yang sehat, tidak ada monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, maka hasil pertanian akan terjaga. Produktivitas tetap tinggi, pada saat yang sama, harga terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan.
Islam juga menjadikan hukum industri mengikuti hukum barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi haram, maka industri tersebut hukumnya haram. Begitu juga jasa. Karena Islam hanya membolehkan jasa yang halal, maka tidak boleh ada jasa yang haram diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat. Upah sebagai kompensasi jasa pun dikembalikan halal dan haramnya kepada jasa yang diproduksi. Jika jasanya haram, maka upahnya pun haram. Hukum memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikannya pun haram. Dengan begitu, individu, masyarakat dan negara pun sehat.
Politik ekonomi dan ekonomi politik, dengan empat sumber utama ekonomi di atas, ditopang dengan politik ekonomi (kebijakan ekonomi) negara Islam yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu, seperti sandang, papan, dan pangan, serta kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka negara Islam bisa merebut hati rakyat dan menjaga stabilitas domestik.
Pada saat yang sama, ekonomi politik (sistem ekonomi) negara Islam, yang dibangun dengan tiga pilarnya, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi, benar-benar bisa menjamin terwujudnya politik ekonomi di atas. Ini karena kepemilikan individu sepenuhnya menjadi hak individu, kepemilikan umum menjadi hak rakyat, yang dikelola oleh negara sebagai pemegang mandat rakyat, serta kepemilikan negara menjadi hak negara. Ketika ketiga kepemilikan tersebut dikelola oleh masing-masing pemiliknya dengan benar sesuai dengan hukum syara’, dan didistribusikan dengan baik dan benar, maka rakyat akan hidup sejahtera.
Pada saat yang sama, negara Islam menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif, dengan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga inflasi nol persen. Negara juga memastikan mekanisme pasar berjalan dengan baik dan benar, ketika kondisi supply and demand sehat. Dengan memastikan supply and demand barang maupun jasa di pasar berjalan dengan baik dan benar. Selain mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, riba, negara juga tidak boleh menetapkan harga barang, dan upah jasa.
Semuanya ini untuk menjamin stabilitas daya beli dan daya guna masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan begitu, produktivitas, pemanfaatan, dan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat bisa tetap dipertahankan pada level yang tinggi dan kompetitif. Karena semua warga negara mempunyai hak dan akses yang sama.
Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas terlihat jelas bahwa hanya sistem Islam yang mampu untuk menyelamatkan ekonomi serta politik di negeri ini. Maka sudah saatnya berbenah, berjuang, dan bersegera menyambut kemenangan Islam. Sehingga umat bisa segera merasakan makna hidup sejahtera di bawah naungan Islam rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bish shawab.
*Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam