CIIA: Deklarasi Khilafah Membuat Kontraksi?
Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra Terorisme, Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) & Pelayan Majlis Al Bayan
Catatan singkat saya (al faqir dan dhaif) berikut ini sebagai respon parsial terkait berita pendeklarasian Khilafah oleh ISIS (ISIL) dan dibai’atnya Syaikh Abu Bakar al Baghdady sebagai Khalifah. Berita pendeklarasian Khilafah di bumi Syam (Suriah) oleh ISIS menghampiri sebagian besar umat Islam yang melek informasi. Baik yang menjadi bagian dari sebuah kelompok/jama’ah/partai/hizb/ormas Islam atau diluar itu semua termasuk bangsa Barat. Apakah berita tersebut melahirkan “kontraksi” bagi mereka? Dalam tataran global, media-media Barat cukup memberikan porsi pemberitaan perihal deklarasi Khilafah. Ini indikasi minimal tentang kegelisahan Barat terhadap dinamika politik dikawasan Timur Tengah khususnya wilayah Iraq-Suriah. Apalagi jauh hari sebelumnya, para pengamat dan penasehat keamanan negara-negara Barat sudah memprediksi kemungkinan lahirnya “imperium” baru yaitu Khilafah Islamiyah. Begitupun di dunia Islam, hampir seluruh media Islam memberitakan dan tidak ketinggalan juga media sekulernya.
Catatan ini tidak mengkaji secara khusus dan detil tentang konstalasi politik yang akan atau sedang dimainkan Barat.Juga tidak tentang konstalasi politik luar negeri negara-negara di kawasan Timur Tengah dan relasi antar keduanya terkait dinamika deklarasi Khilafah oleh ISIS.Tetapi khusus terkait dinamika lokal Indonesia wabil khusus menyangkut para aktifis gerakan Islam dengan beragam kelompoknya. Sebuah fakta, komponen gerakan-gerakan Islam yang tersentuh kabar tersebut memberikan reaksi balik yang beragam.
Kenapa kabar deklarasi Khilafah menjadi “isu” yang sangat menarik dan sensitif bagi kalangan gerakan Islam? Dan bagaimana menyikapinya? Saya (al faqir dan dhaif) ini tidak bermaksud menggurui siapapun, dengan semangat ukhuwah saya ingin sedikit berbagi perspektif;
Pertama; kewajiban berdirinya Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah tidak ada perselisihan dikalangan umat Islam begitu juga dikalangan ulama’, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al A’sham (seperti penjelasan Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 1/264-265). Dan kewajiban ini ditolak oleh kaum sekuler-liberal pengekor Ali Abdur Raziq dengan “kitab sucinya” Al Islam Wa Ushul Al Hukm. Dalam kontek kekinian, fakta opini tentang Khilafah dalam 10 tahun terakhir semakin memenuhi ruang publik Barat dan Timur. Menjadi kerinduan bagi umat Islam di satu pihak, di sisi lain telah menjadi kekhawatiran teror, “teror” bagi Barat dan para umala’ (antek-antek)-nya.
Kedua; hingga kini, 90 tahun berlalu umat Islam tanpa Khilafah dan seorang Khalifah. Tentu bagi komponen umat yang terlibat dalam perjuangan untuk mengembalikan Khilafah, 90 tahun bukan waktu yang singkat. Wajar, dengan datangnya kabar deklarasi Khilafah membuat mereka terhenyak dari tempat duduknya dan berdiri. Ada ekspresi bahagia hingga cemas membayangkan nasib Khilafah di hari-hari berikutnya. Ada yang langsung meyakini, mengakui dan mendukung eksistensi Khilafah dan Khalifah yang baru di deklarasikan dan di bai’at tersebut. Ada juga sikap sangsi atau ragu atas kebenaran Khilafah dan Khalifahnya. Diluar itu masih ada juga sikap “ambigu” bahkan apatis. Kalau kaum kafir sikapnya sudah jelas, seperti halnya sikap kaum munafiqin. Orang munafiq mendengar terma Khilafah saja sudah alergi. Demikian juga, Khilafah adalah “hantu” menakutkan disaat terjaga dan tidurnya bagi Kafir Barat. Diluar orang kafir dan kaum munafiqin, beragam sikap diatas yang pasti ada sebab dan latar belakang serta argumentasinya masing-masing.
Ketiga; sesungguhnya pertolongan Allah (nasrullah) itu dekat, dan menjadi hak prerogatif Allah dimana pertolonganNya akan diturunkan. Karena itu, dalam kontek kausalitas (sababiyah) tiap wilayah yang ada didunia Islam punya peluang dibai’atnya Khalifah dan dengan begitu Khilafah akan tegak. Namun demikian, bagi yang teliti dalam masalah ini dan mau obyektif, harus mengakui bahwa ada bisyarah Nubuwah yang membicarakan tentang Syam dan turunnya kemenangan di wilayah Syam. Dimensi inilah yang menjadi energi kerinduan dan keyakinan tersendiri bagi para pejuang Khilafah yang terhimpun dalam berbagai gerakan Islam dan non gerakan alias tanpa tandzim (organisasi). Oleh karena itu, kabar deklarasi Khilafah oleh Daulah Islam Iraq dan Syam (ISIS) yang beroperasi di sebagian wilayah Iraq-Suriah menjadi hal yang sangat “sesuatu” bagi mereka semua. Bumi Syam punya magnitude lebih dibanding wilayah gerakan lain di dunia Islam.
Keempat; dengan motif masing-masing, perdebatan (khususnya di dunia maya) akhirnya tidak bisa dihindari bagi para aktifis yang merindukan tegaknya Daulah Islam Khilafah Islamiyah. Bagi saya, jika para aktifis dewasa dengan kabar ini maka sangat mengerti dengan sebuah pesan yang pernah saya publish; “Bismillaahirrahmaanirrahiim..menurut hemat saya (yang bodoh ini), siapapun diantara umat Islam yang berjuang menginginkan tegaknya Khilafah kembali, baik dari kelompok/ormas/partai/jama’ah/hizb JI, JAT, MMI, HTI dll..dengan datangnya kabar pendeklarasian Khilafah oleh ISIS maka perlu memverifikasi melalui jalur masing-masing yang dianggap tsiqoh dan kemudian meminta hasil kajian terhadap realitas kabar tersebut. Ini langkah kecil untuk bersikap bijak dengan fenomena yang sangat dinamis di lapangan jihad dan dakwah di negeri-negeri kaum muslimin.” Harapan saya, dengan begitu kemudian tidak mudah terjebak untuk mengumbar komentar tidak berkualitas dan emosional bahkan terjerumus dalam masalah yang ia betul-betul buta terhadapnya.
Kelima; menurut saya, fokus pada perdebatan di tataran konsep tentang Khilafah dan Khalifah dengan beragam point masalahnya tidak sepenuhnya menjawab tentang persoalan Khilafah yang di deklarasikan ISIS. Justru yang lebih dibutuhkan adalah fokus kajian tentang visibilitas Khilafah (manath al hukm) yang dideklarasikan dalam perspektif syar’i seperti apa. Karena harus diakui sebagai realitas yang tidak terbantahkan, ketika bicara di tataran konsep perihal sarat keabsahan sebuah kekhilafahan diantara gerakan-gerakan Islam tidak ada kesepakatan 100%. Artinya ada sedikit zona ijtihad yang berpeluang melahirkan perbedaan pendapat, dari yang sangat ketat sampai yang longgar dalam penetapan sarat sahnya sebuah kekhilafahan dan sahnya seorang menjadi Khalifah. Saya jadi ingat kasus perbedaan penetapan awal dan akhir bulan Ramadlan pada masalah berapa derajat ketinggian rembulan yang imkanur rukyat (memungkinkan untuk di lihat). Di Indonesia muncul perdebatan, Khilafah yang dideklarasikan oleh ISIS apakah seperti Khilafah versi kelompok Khilafatul Muslim atau seperti masa lalu dengan deklarasi DII/TII Kartosuwiryo, atau seperti Imarah Islamiyah yang dirikan oleh Thaliban-Afghanistan, atau hanya sebuah opini dan propaganda yang tidak sesuai dengan realitasnya? Saya husnudzan bahwa perdebatan itu tidak lebih sebagai bentuk sikap butuhnya umat pada bimbingan ulama’ yang faqih dalam masalah ini. Para ulama terkemuka termasuk para pimpinan (Qiyadah) gerakan-gerakan Islam perlu membangun komunikasi untuk melahirkan tuntunan sikap yang jelas bagi umat dan khususnya bagi anggota gerakan mereka agar bisa mensikapi realitas kabar deklarasi Khilafah tersebut.
Keenam; sebuah keniscayaan kelompok atau gerakan berpegang teguh pada konsep masing-masing tentang sarat keabsahan sebuah kekhilafahan. Atau akan meninggalkan pendapatnya dan mengadopsi pendapat yang dipandang paling sahih dengan dasar kekuatan dalil (istidzlal). Untuk menjawab kegelisahan sebagian umat Islam, yang sangat urgen saat ini adalah langkah kajian terhadap realitas Khilafah yang dideklarasikan ISIS. Langkah tahqiqul manath secara integral (holistik komprehensif) dan kemudian menghukumi realitas berdasarkan pokok-pokok konsep/pemikiran/hukum syara’ yang diadopsi oleh masing-masing kelompok/gerakan menjadi hajat mendasar. Karena ini menjadi hulu dari sebuah sikap yang akan di ambil dan dibangun. Karena Khilafah menyangkut persoalan nasib hidup dan matinya umat Islam. Bukan persoalan remeh temeh. Maka sikap tergesa-gesa dan sebaliknya sikap yang menunda-nunda untuk mengambil kesimpulan dan sikap dalam masalah ini juga tidak makruf. Kajian yang obyektif, jujur dan syar’i kemudian hasilnya dikomunikasikan secara terbuka untuk umat adalah krusial. Karena umat butuh panduan.
Ketujuh; pengakuan atau penolakan terhadap eksistensi Khilafah yang di deklarasikan ISIS sama-sama membawa konsekuensi (derivat) hukum didalamnya. Dan sekali lagi, ini menunjukkan betapa pentingnya kejelasan soal Khilafah. Misalkan, diluar soal teknis jika seseorang mengakui dan meyakini (ghalabatudz dzan) maka ada kewajiban bai’at ta’ath bagi Khalifah. Begitu pula kewajiban turunan berikutnya, apakah dirinya harus hijrah ke negara Khilafah atau akan tetap bertahan di negeri asal (wilayah negeri kaum muslimin) dengan asumsi ia harus berjuang menggabungkan negeri tersebut menjadi bagian dari kekhilafahan. Atau hanya akan menunggu datangnya seruan dan pasukan Khilafah untuk mensublimasi negeri yang kita tinggali menjadi bagian wilayah Khilafah. Masih banyak soal yang lain, dan point ini belum membicarakan bagaimana gelombang tantangan yang akan dihadapi di negeri dimana ia berpijak. Berbeda halnya jika seseorang atau kelompok itu menolak eksistensi Khilafah yang dideklarasikan tersebut. Namun perlu saya tegaskan, bahwa penolakan atau pengakuan terhadap Khilafah yang dideklrasikan ISIS harus dengan pertimbangan atau parameter syar’i bukan yang lain.
Realitas Khilafah yang dideklarasikan ISIS seperti apa? Apakah Khilafah tersebut memenuhi kreteria secara syar’i dan kreteria realitas strategis lainya? Visibilitas Khilafah ini seperti apa? Apakah gerakan jihad dengan capaiannya betul-betul mampu mengartikulasikan kekuatan politiknya dalam wujud negara Khilafah yang dirindukan umat? Sehingga ISIS dibubarkan dan yang ada adalah negara Islam (Daulah Islamiyah). Ini adalah tugas orang-orang yang faqih dibidangnya dan ia berdiri dekat dengan realitas tersebut untuk melakukan tahqiq. Meminjam istilah “ahlu Makkah a’lam bi syi’abih”, tentu mereka jauh lebih paham dibanding orang-orang yang mukim di Indonesia karena beberapa sebab.
Lepas dari pro dan kontra terhadap eksitensi Khilafah yang dideklarasikan ISIS, maka peran ulama’ yang mukhlis dan para pemimpin (Qiyadah) gerakan-gerakan diseluruh dunia Islam hari ini ditunggu hasil kajiannya oleh umat yang merindukan Khilafah. Serta rekomendasi langkah terbaiknya seperti apa, agar ada akselerasi umat bisa meraih cita-cita yang diperintahkan Allah swt dan RasulNya.
Saudaraku sekalian, betapa keterpurukan umat Islam dan kemenangan-kemenangan umat Islam dalam berbagai front dakwah dan jihad sama-sama menjadi ujian bagi umat Islam. Saya yakin, siapapun yang hanif dalam perjuangan mengembalikan Khilafah maka ia akan lebih mengedepankan semangat persatuan kesatuan dibanding perbedaan dan sikap ashobiyah yang terang maupun samar. Menghindari sikap emosional apalagi lancang melabeli dengan julukan-julukan yang tidak makruf kepada sesama para pejuang Islam. Siapapun rindu bagaimana perjuangan mencapai target yang di inginkan. Dan disana ada tetesan dari kolaborasi semua komponen kekuatan umat Islam dengan peran dan kontribusi masing-masing.
Karenanya, naif jika sebagian kelompok atau pejuang meremehkan dan merendahkan terhadap sebagian yang lain. Ingat, karena masalah Khilafah bukanlah masalah Khilafah kelompok siapa dan oleh siapa. Karena Khilafah adalah institusi managerial (negara) untuk umat Islam semua bahkan kaum dzimmi termasuk didalamnya. Sekali lagi, Khilafah bukan Khilafiyah. Khilafah juga bukan negara kelompok/jama’ah/partai. Khilafah juga tidak hanya menjadi kerinduan dan kebutuhan sekelompok orang muslim. Pengalaman harusnya telah mengajarkan banyak hal kepada kita semua, karenanya kita harus hati-hati dengan fitnah perbedan dan sikap ashobiyah dalam menyikapi deklarasi Khilafah oleh ISIS. Wallahu a’lam bis showab