JAKARTA (Jurnalislam.com) – Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya mengatakan perda inkonstitusional di Tolikara harus dihapus. Sebab, menurut Harits, perda di Tolikara yang sangat diskriminatif terhadap umat muslim sama sekali tidak punya pijakan dan akar historis, politis, normatif dan hukum dalam konteks ke Indonesiaan.
"Otonomi khusus Papua berbeda case-nya dengan Aceh dan Yogyakarta secara politis dan historis," ujarnya kepada Jurniscom, Senin (27/7/2015).
Dalam kontek sistem hukum positif yang berlaku, lanjut Harits, apa yang menjadi spirit dan konten dari perda di Tolikara tersebut kontradiksi dan bermasalah secara inkonstitusional.
"Lebih lagi kalau mau obyektif, Kristen sebagai agama ritualan yang tidak mempunyai sistem tata nilai di wilayah kehidupan sosial dan politik," kata pengamat kontra-terorisme itu.
Harist melanjutkan, Kristen bukan ideologi yang diatasnya bisa dibangun nilai-nilai sistem sosial politik secara komprehensif.
"Jadi aneh, kalau berdalih otonomi khusus kemudian dijadikan pintu kaum Nasrani di Tolikara khususnya, untuk membuat determinasi atas nama agama terhadap umat lain dengan kemasan Perda. Apalagi spiritnya sangat intoleran dan diskriminatif. Ini ilegal dalam kontek keIndonesiaan," tegas Harits.
Harits menduga hal tersebut merupakan langkah politik untuk mengantarkan tahap demi tahap pada eksistensi Papua merdeka. "Dan agama menjadi alat yang paling seksi untuk melegitimasi tujuan politis tersebut di Papua," cetusnya.
Harits mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai adanya permainan asing melalui para misionaris dan gereja yang secara sistemik membangun kepentingan politik primordial tersebut.
"Perda yang inkonstitusional di Tolikara wajib di hapus," pungkasnya.
Editor : Ally | Jurniscom