Child-Free Puncak Egois Manusia

Child-Free Puncak Egois Manusia

Oleh: Muhammad Dyan

Dalam realitas kekinian dengan informasi super cepat, perubahan, dan inovasi. Kecepatan yang terjadi kadang kala menandai kecerobohan kita menangkap sebuah ide. Sebuah ide adalah tulang punggung bagi terbentuknya cara pandang dan keberlangsungan sosial. Sebut saja tentang imperialisme, hal ini sangat amat buruk dan bisa dibilang penuh kebathilan namun orang yang memberi ide tentang imperialism jauh lebih buruk dari imperialism itu sendiri.

Belakangan ini yang hangat di perbincangkan ide tentang child-free, yang begitu terburu-buru di telan anak muda setelah salah satu Youtuber Gita Savitrisecara terbuka mengungkapkan pilihan hidup untuk tidak punya anak. Indonesia yang menjadi mayoritas Muslim dan penduduk terpadat ke-4 sudah barang tentu hal ini akan menggegerkan percakapan publik.

Istilah child-free merujuk pada orang yang memilih tidak memiliki anak, atau tempat atau situasi tanpa anak. Dengan istilah ini merujuk kepada satu pilihan secara sederhana untuk tidak mempunyai anak. Penganut child-free percaya bahwa pilihan tersebut merupakan manifestasi evolusi tertinggi masyarakat yang dimana setiap perempuan boleh “mendobrak” tuntutan sosial untuk tidak melahirkan, karena berbagai alasan. Dari kampanye child-free yang beredar di media sosial, argumen-argumen seperti ketidaksiapan finansial dan emosional jadi pertimbangan utama. Tren tersebut mulai meningkat di Indonesia, apalagi mulai banyak publik figur yang mengumumkan-bahkan melakukan normalisasi gaya hidup yang berasal dari negara-negara Barat.

Gagasan ini sudah di besut pada akhir abad-20 oleh St. Augustine yang menganut kepercayaan “Maniisme” yang dimana ia percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi. Hal ini berkembang ditengah-tengah stagnasi pemuda yang muak dengan perang Vietnam membawakan budaya peace of change yang dalam pop kultur yang disebut hipster. Para hipster ini juga membuat tren dengan seks bebas dan bebas dari anak.

Dalam Islam menikah memang tidak melulu menjadi fardhu (wajib) tapi bisa menjadi sunnah (yang bersifat opsional) tergantung pada gangguan syahwat seseorang. Imam Ath-Thabari, Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, dan lainnya cenderung memilih hidup membujang sampai wafat karena disibukkan oleh aktivitas keilmuan. Dan hal ini tidak tercela mengingat karya beliau tetap relevan sampai hari ini. Singkat kata para ulama yang memilih membujang pertimbangannya adalah akhirat dan maslahat umat. Sebut saja Ibnu Taimiyah yang dizamannya ada serangan dari Hulagu Khan (Monggolia) yang akan menyerang Syams (Suriah-Palestina sekarang) ditambah praktik keagamaan yang mulai pudar, maka Ibnu Taimiyah memilih dedikasi pada Islam dengan total terjun dalam jihad dan menulis untuk menjawab problem umat.

Lain hal Degnan ide child-free yang dipromosikan sekarang. Pasalnya child-free tidak mengandung darurat seseorang untuk mendedikasikan hidup pada umat dan child-free disini berbeda dengan sikap para ulama yang memilih membujang bukan menikah tanpa punya anak. Child-free adalah bentuk puncak dari keegoisan hidup karena tidak ingin direpotkan oleh keturunannya sementara dirinya dibesarkan dengan penuh kasih sayang.

Kita bisa menebak esensi dari child-free yaitu feminism, yup. Feminisme sudah pasti menempatkan wanita sebagai pemilik tubuh dengan otoritas penuh meskipun sudah menikah. Penalaran semacam ini kerap kali menjadi kaidah kebebasan manusia kontemporer. Childfree yang dipilih sebagian pasangan muda karena lebih praktis jikalau berpisah “cerai” atau sang pasangan meninggal. Pertimbangan lainnya perempuan yang memilih untuk child-free adalah karena soal fasilitas yang layak untuk anak, keuangan atau finansial, pekerjaan yang mengharuskan pindah lokasi, dan lingkungan yang tidak mendukung.

Dalam sebuah film berjudul “Nomadeland” karya Chloé Zhao yang kemarin memenangkan Academy Award film terbaik menggambarkan dengan jelas bahwa kesengsaraan para penganut Child-free dimasa tuanya. Mereka hidup menyusuri jalan karena usia yang tidak bisa dipacu dalam produksi (tenaga kerja) yang cepat. Posisi wanita yang menjalani hidup sendirian karena ditinggal wafat suaminya tergambarkan penuh beratnya hidup dihari tua. Paling tidak refleksi film Nomadeland akan mengubah atau mempertimbangkan dalam mengambil jalan hidup child-free.

Padahal ada banyak perubahan pada diri seseorang jika ia memiliki keturunan mulai dari pendewasaan sampai pengontrolan emosi dan sensitifitas empati sesame manusia. Barat berpandangan demikian karena mereka ingin menikmati syahwat dunia secara tamak karena kurangnya sumberdaya alam yang semakin tipis. Dan itu ulah mereka sendiri dari efek kapitalisme pada dua abad terakhir.

Bagikan