ANKARA (Jurnalislam.com) – Sekretaris negara AS telah memulai kunjungan dua hari ke Turki, di mana Rex Tillerson berharap dapat mengurangi ketegangan antara pejabat AS dan Turki mengenai konflik di Suriah.
Sebuah perang kata-kata antara kedua Negara sekutu NATO tersebut meningkat sejak Turki melancarkan operasi militer ke wilayah Afrin di Suriah utara bulan lalu untuk membasmi pasukan YPG Kurdi, yang menjadi tokoh di antara koalisi kelompok bersenjata dukungan AS.
Pada kunjungan ke Kuwait, Yordania dan Lebanon, Tillerson tiba di ibukota Turki, Ankara, pada hari Kamis (15/02/2018) di mana dia bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan, lansir Aljazeera.
Sekneg AS Ajak Turki Bersatu Lawan IS, Erdogan: Sandiwara IS Sudah Berakhir
Awal pekan ini, Turki menuntut agar AS mengusir YPG dari koalisi the Syrian Democratic Forces (SDF), yang telah memerangi Islamic State (IS) di Suriah dengan dukungan dari AS.
“Kami menuntut hubungan ini berakhir,” kata Nurettin Canikli, menteri pertahanan Turki, kepada wartawan dalam sebuah briefing di Brussels pada hari Kamis.
Pemerintah Turki memandang YPG sebagai perpanjangan Partai Pekerja Kurdistan yang dilarang (PKK), yang telah melakukan serangan selama puluhan tahun melawan Ankara.
“Kami ingin mereka [AS] mengakhiri semua dukungan yang diberikan kepada kelompok PKK Suriah, YPG,” kata Canikli, seperti dilansir kantor berita Reuters.
Awal bulan ini, Erdogan mengatakan AS mengirim ribuan senjata ke YPG di Suriah, sebuah klaim yang ditolak Tillerson pada hari Kamis.
AS “tidak pernah memberikan senjata berat” kepada YPG dan, oleh karena itu, tidak ada yang perlu diambil kembali, kata Tillerson.
Turki juga menuntut agar tentara AS meninggalkan Manjib, sebuah kota Suriah di sebelah timur Afrin yang dipegang oleh milisi Kurdi, atau menghadapi konfrontasi.
Sebagai tanggapan, Paul Funk, komandan pasukan AS di Suriah dan Irak, mengatakan AS dan mitranya di Suriah akan membalas jika diserang.
“Anda menyerang kami, kami akan merespon dengan agresif, kami akan membela diri,” kata Funk, saat berkunjung ke Manjib bulan ini.
Presiden Turki kemudian mengancam akan memberikan “tamparan Ottoman” – sebuah taktik yang digunakan oleh pasukan Ottoman di abad ke-17 yang, menurut legenda, bisa berakibat fatal – jika AS tidak menyingkir.
Saat Tillerson mengeluarkan pernyataan lebih damai dengan mengatakan pekan ini bahwa AS “sangat sadar akan masalah keamanan yang dikhawatirkan Turki,” para pejabat di Ankara lebih blak-blakan tanpa basa-basi.
“Hubungan kami telah mencapai tahap yang sangat kritis,” kata Mevlut Cavusoglu, menteri luar negeri Turki, pada 12 Februari, media setempat melaporkan.
“Walaupun kita memperbaiki hubungan, mereka tetap akan memperburuk sepenuhnya.”
Realitas politik yang semakin kompleks di Suriah sesuai dengan gambaran Staffan de Mistura, utusan khusus PBB untuk Suriah, yaitu situasi “paling kejam, berbahaya dan mengkhawatirkan” yang pernah dia saksikan sejak dia menyelesaikan jabatannya empat tahun lalu.
“Apa yang kita lihat di Suriah hari ini tidak hanya membahayakan pengaturan de-eskalasi dan stabilitas regional, namun juga merongrong upaya untuk solusi politik,” kata Mistura pada hari Rabu.
31 Pasukan Turki dan 1.369 Milisi Tewas dalam Operasi Militer di Suriah
Namun Suriah bukanlah satu-satunya penyebab hubungan tegang antara Washington dan Ankara.
Tahun lalu, kedua negara menunda sementara layanan visa non-imigran di kedutaan masing-masing karena penangkapan beberapa anggota staf di konsulat AS di Istanbul.
Pejabat Turki melaporkan anggota staf memiliki hubungan dengan Fethullah Gulen, yang dituduh Ankara bertanggung jawab atas kudeta mematikan yang gagal pada tahun 2016.
Walaupun Gulen, yang mengasingkan diri sendiri di AS, membantah tuduhan tersebut, pemerintah Turki memberikan tekanan kepada Washington untuk mengekstradisi Gulen dalam menghadapi tuduhan atas usaha kudeta.
Amerika Serikat sejauh ini menolak untuk mengekstradisi Gulen.