Dari Masjid, Lombok Bangkit

“Bagaimana pun keadaannya, orang yang tangannya di atas selalu lebih unggul dari orang yang tangannya di bawah.”

LOMBOK (Jurnalislam.com) – “Saya sungguh bahagia!” Ada rasa yang bergemuruh dalam dada Aji Wira, pengungsi asal Dusun Jorong Desa Sembalun Bumbung Kabupaten Lombok Timur.

Apa gerangan yang membuat seorang pengungsi korban gempa Lombok begitu bahagia?

“Saya bahagia karena bisa berbagi,” kata pria paruh baya itu. Matanya berkaca-kaca ketika membopong sekarung wortel hasil panennya untuk dibagikan kepada para pengungsi – juga -di daerah Gangga, Kabupaten Lombok Utara.

Sudah beberapa hari ini – seminggu pasca Gempa 7 magnitudo melanda Lombok Agustus 2018 – , para pengungsi di Desa Sembalun Bumbung Lombok Timur justru tergerak hatinya turut membantu para pengungsi korban gempa lainnya di Lombok Utara.

“Rumah saya rata dengan tanah Pak,” Aji Wira mengenangkan. Para pengungsi di hadapan Pak Aji, sapaan karibnya, tak kuasa mengucapkan apa pun.

Mereka berdecak kagum, bagaimana mungkin seorang yang rumahnya luluh lantak malah turut membantu para korban lainnya?

Para pengungsi ini saling berpelukan dan saling berbisik untuk saling mendoakan. “Terima kasih, kami terharu,” kata pria bersarung datang memeluk Aji Wira.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari empat jam, seakan ‘penderitaan’ Pak Aji sirna setelah melihat wajah saudaranya yang juga senasib.

Senyum sumringah tak hanya merekah dari wajah Pak Aji. Masih ada ribuan pengungsi di Desa Sembalun Lombok Timur, yang justru kini merasakan kebahagiaan yang dirasakan Pak Aji.

Bapak Aji Wira sedang diwawancara jurnalis Islamic News Agency (INA). FOTO: Agniya/INA

Padahal, seluruh penduduk Sembalun Bumbung kini mengungsi. Pak Oza, tokoh masyarakat Sembalun mengatakan gerakan berbagi ini berawal dari masjid. Masjid sederhana yang dibangun seminggu usai gempa besar kedua melanda Lombok.

“Kami sempat shalat Jumat di sawah,” katanya. Tepatnya di tengah sawah yang dibabat menjadi lapangan. Warga Jorong, Sembalun Bumbung, Lombok Timur, tidak berani kembali ke masjid-masjid mereka, yang retak dan separuh doyong.

Waktu itu, hanya langit yang menaungi mereka.

Jangan tanya panasnya terik yang langsung menyengat kulit mereka. Lebih dari cukup bagi mereka shalat berjamaah dengan nyaman.

“Alhamdulillah, berkisar dua minggu setelah mereka mengungsi karena gempa (pertama), datang kawan-kawan lembaga Sinergi Foundation bersama warga mendirikan masjid,” kata Oza.

Masjid darurat Jorong Sembalun, warga menyebutnya. Bangunan sederhana beratap terpal berwarna jingga itu sekilas tampak seperti tenda – tenda pengungsian lainnya. Tiang penyangganya berbahan bambu, diikat dengan bambu pula.

Siapa sangka, di bawah terpal itu, kalam suci mengalun merdu. Di kaki gunung Rinjani, suara azan itu mengalun merdu. Di bangunan sederhana itu, para pengungsi itu berdiri, rukuk, dan sujud. Bangunan sederhana ini lebih dari cukup bagi mereka shalat berjamaah dengan nyaman.

Masjid ini berdiri tegak; tanpa menara; tanpa pelantang; tanpa beton bertulang yang justru luluh lantak menantang gempa. Dari bawah bungkusan terpal ini, warga memupuk harapan.

Adalah relawan Sinergi Foundation saat itu, ustaz Maftuh Supriadi yang disebut Oza menginspirasi warga agar optimis dan bangkit.

“Gerakan berbagi ini diinisiasi bersama dari Masjid sederhana ramah gempa ini,” kata Oza.

Ia mengatakan bahwa masjid ini dibuat bersama-sama dan ‘dikebut’ hanya setengah hari, sehingga shalat Jumat kini bisa digelar di masjid.

Warga sedang bermusyawarah di Masjid darurat Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur. FOTO: Agniya/INA

Pada shalat Jumat pertama – setelah ada masjid- ini pula, ustaz Maftuh didaulat warga menjadi khatib. Kesempatan ini dimanfaatkan sang ustaz untuk terus menguatkan tauhid, bahwa semua yang terjadi merupakan rencana Allah, Sang Maha Pengasih.

“Saya ingin warga Sembalun Lombok Timur, bangkit dan tidak terus menerus berkabung dengan musibah gempa,” kenang ustaz Maftuh.

“Makanya saat ceramah, beberapa kali saya sampaikan kisah Abdurrahman bin Auf yang saat hijrah dalam keadaan miskin dan kelaparan. Kendati demikian, ia tetap bersemangat kerja dan bersedekah meski dalam kondisi sulit,” tambahnya.

Ceramah ustaz Maftuh ini, kata Oza, justru tak disangka membuat warga begitu terharu. Esok harinya, warga berdatangan ke masjid darurat membawa hasil bumi; sayur; bawang; tomat; selada; strawberi; dan sebagainya.

“Mereka semangat memberikan bantuan untuk saudara kita di Lombok Utara, yang terdampak gempa lebih parah. Mereka mendermakan 45 ton sayuran hasil tani mereka,” kenang Oza.

Tak ada yang menyangka, dari bawah masjid sederhana berlapis terpal ini, ruang solidaritas terus mengalir. Satu per satu warga kembali tersenyum ceria. “Bahwa memang kami sedang susah, tapi masih banyak warga yang rupanya masih membutuhkan bantuan kita,” kata Aji Wira.

Di Sembalun Bumbung sendiri, hingga hari ini (18/8/2018), lebih dari 50 ton sayuran hasil bumi dari desa Sembalun disumbangkan untuk korban gempa di Lombok Utara, termasuk oleh sahabat kita tadi, Pak Aji Wira.

Koordinator Lapangan relawan Sinergi Foundation, Eggie Ginanjar mengatakan bahwa dirinya bersama warga Sembalun kini akan membangun masjid yang lebih layak sebagai pusat aktivitas warga: belajar, musyawarah, trauma healing, tausiyah, dll.

“Insya Allah dari masjid, Lombok bangkit, Sembalun telah mengajarkan kita,” pungkas Eggie.

Reporter: Rizki Lesus | INA
Foto : Aghnia | INA

Shalat di Masjid Darurat, Menjaga Taqwa Pasca Gempa

LOMBOK TIMUR (Jurnalislam.com) – Sabtu (18/8/2018) adzan subuh berkumandang bersaut-sautan di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun Lombok Timur.

Meski di tengah suhu dingin yang menusuk tulang, warga berbondong-bondong pergi ke sumber suara dimana adzan berkumandang, namun mereka tak pergi ke masjid. Sumber suara itu berasal dari tenda yang cukup besar dari terpal yang disangga bambu yang ternyata berfungsi sebagai masjid darurat.

Warga masih trauma untuk shalat di dalam masjid, selain itu beberapa masjid juga ambruk. Kecamatan Sembalun yang berada di kaki Gunung Rinjani ini, merupakan salah satu lokasi yang cukup parah terdampak gempa.

Ratusan rumah ambruk, fasilitas umum seperti Puskesmas dan beberapa masjid juga ikut ambruk.

Suasana shalat shubuh di masjid darurat yang tepatnya berada di Dusun Lauk Rurung Barat itu berlangsung khitmad. Pada rakaat pertama sang imam melantunkan Surat Al Baqarah ayat 153 sampai ayat 157 dengan penuh penghayatan.

“..Alladzina idza ashabat-hum mushibatun qalu inna lillahi wa inna ilaihi raji’un..,” baca sang Imam dengan suara yang bergetar.

Diantara ayat-ayat yang dibaca imam tersebut Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman yang artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.

Setelah shalat subuh, dilanjutkan dengan penyampaian ceramah, mengingatkan para jama’ah untuk selalu bersabar.

“Dalam Qur’an Surat Az Zumar ayat 55 Allah tegas memperingatkan kita semua, dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,” tegas seorang penceramah di Masjid darurat.

Dalam nuansa pasca gempa, dan susul menyusul gempa setelahnya, masyarakat Desa Sembalun Bumbung tak mau tertinggal untuk selalu menegakkan shalat meski di masjid darurat, menjaga taqwa di tanah gempa.

Reporter: Ahmad Jilul Qur’ani Farid/INA

Habib Rizieq Sambut Baik Pembentukan HRS Center

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Juru bicara Front Pembela Islam (FPI), Munarman SH meluncurkan sebuah lembaga Kajian Ilmiah Strategi bernama HRS Center di Hotel Balairung, Jakarta, Sabtu (18/08/2018). HRS sendiri diambil dari inisial nama Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab.
Dalam rekaman suara yang disampaikan Pendiri HRS Center, Munarman SH, Habib Rizieq menyampaikan alasan mengapa inisial namanya bisa menjadi nama lembaga Kajian Ilmiah Strategi ini.
“Kepada segenap sahabat yang tercinta yang telah menggagas berdirinya HRS Center yang insyaallah diresmikan hari ini, terus terang, pada mulanya, ketika saya dihubungi para penggagas pendiri HRS Center, saya agak risih dengan pencantuman nama saya untuk lembaga ini,” ungkap dalam rekaman suara tersebut, dilansir Kiblat.net
“Entah mengapa kerisihan itu saya rasakan, karena saya tidak ingin pencantuman inisial nama saya tersebut menjadi ganjalan dalam langkah perjuangan saya dan kawan kawan. Atau ganjalan keikhlasan bagi kita semua dalam berjuang menegakkan kalimat Allah,” lanjutnya.
Habib Rizieq dalam Tabligh Akbar di Ponpes Miftahul Huda Utsmaniyah, Ciamis, Ahad (8/1/2017). Foto: Roman/Jurniscom

Namun, HRS mengungkapkan, setelah dirinya melakukan diskusi yang panjang bersama para penggagas HRS Center, akhirnya HRS bisa menerima pencantuman nama dirinya dalam lembaga ini.

“Setelah saya cermati, semua visi dan misi yang diletakkan oleh penggagas dalam HRS Center ini, termasuk juga rincian-rincian kegiatan strategis yang akan dilakukan HRS Center, ini sesuai dengan prinsip juang yang selama ini saya junjung tinggi,” ungkap HRS.

Adapun Visi yang sama antara HRS dan HRS Center adalah ayat suci harus selalu berada diatas ayat konstitusi. Ia pun mengharapkan HRS Center ini bisa menjadi model pusat kajian ilmiah dan strategis, berdasarkan prinsip prinsip islam, guna mengembangkan ilmu pengetahuan, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat, bangsa, dan negara.

“Sehingga dalam pandangan saya selama ini, di kala memantapkan langkah perjuangan, saya dan kawan-kawan selalu berusaha bagaimana menampatkan ayat-ayat konstitusi agar tidak bertentangan dengan ayat suci,” tegasnya.

HRS pun menyebut bahwa sudah sejak lama menjadi cita-citanya adalah formalisasi Syariat islam sebagai hukum nasional di NRKI. Bahkan, dalam pandangan HRS selama ini, pelembagaan syariat islam di bumi Nusantara adalah menjadi sebuah keniscayaan.

“Pelembagaan Syariat Islam di Bumi Nusantara bukan hanya karena mayoritas bangsa Indonesia beragama islam, akan tetapi juga karena nilai-nilai syariat islam itu sendiri telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini,” tukasnya.

Puskesmas di Sembalun Lombok Timur Rusak, Pelayanan Medis Terganggu

LOMBOK TIMUR (Jurnalislam.com) – Gempa berkekuatan 7,0 Skala Richter pada Ahad (5/8/2018) telah merusak banyak fasilitas umum di Lombok, diantaranya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Sembalun Lombok Timur. Atap, pagar beserta beberapa bagian tempok ambruk akibat gempa.

Dari pantauan Islamic News Agency (INA), Puskesmas telah dikosongkan padahal perannya sangat vital di tengah kondisi pasca gempa.

Menurut tenaga Medis dari Laznas LMI Dokter Afifah Dzakiyah, meski telah banyak klinik medis darurat yang didirikan, tanpa adanya puskesmas pelayanan medis menjadi terganggu.

“Tanpa Puskesmas pelayanan terganggu meski telah dialihkan ke Puskesmas pembantu atau klinik darurat, sebab fasilitas menjadi berkurang ketimbang di Puskesmas, dan banyak yang tidak bisa dicover oleh klinik darurat,” terang Dokter Afifah yang telah berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Sembalun.

Selain itu, kendala dari pihak Puskesmas yang masih bertugas ialah penyebaran pasien yang menjadi tidak terpusat dan tidak terdata.

“Warga kebingungan mencari tempat berobat yang terpadu dan terpusat, sementara persebaran klinik-klinik darurat yang didirikan berbagai NGO dan lembaga lain juga belum terdata, hal itu menyulitkan pihak puskesmas untuk mengetahui penyakit yang tersebar dan juga melakukan tindakan,” ungkap Dokter Afifah.

Dokter Afifah menambahkan, dalam pengungsian, penularan penyakit akan lebih mudah karena para pengungsi tinggal dalam satu tenda besar.

“Dalam tenda besar, penyakit mudah menular, terlebih penyakit kulit dan penyakit lain karena faktor kebersihan yang kurang terjaga, tenda pengungsi di halaman rumah pun, banyak yang dekat dengan saluran air yang tidak terjaga kebersihannya,” pungkas Dokter Afifah.

Reporter: Ahmad Jilul Qur’ani Farid | INA

Rumahnya Hancur Akibat Gempa, Janda Tua Ini Dibuatkan Hunian Sementara

Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, rumah saya hancur, saya hanya hidup sendirian disini

LOMBOK (Jurnalislam.com) – Gempa juga menghancurkan rumah milik Bu Kesmin, nenek 55 tahun warga Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Dari tenda pengungsian, janda tua yang hidup seorang diri ini hanya bisa meratapi puing-puing rumahnya yang telah rata dengan tanah.
Suaminya telah lama meninggal dunia. Anak-anaknya pun sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari tempat tinggalnya. Kini rumah sederhana peninggalan sang suami pun sirna.
“Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, rumah saya hancur, saya hanya hidup sendirian disini,” ucapnya yang tak kuasa menahan airmata.
Bu Kesmin sangat berharap ia dapat memiliki rumah sederhana untuk sekedar berlindung dari dingin dan hujan.
“Sekarang ini cuaca yang semakin dingin, ditambah hujan sudah mulai turun,” ungkapnya kepada Jurnalislam.com, Jumat (17/8/2018).
Hunian sementara Bu Kesmin. FOTO: Sirath/Jurniscom
Tim relawan dari Jamaah Ansharusy Syariah berinisiatif untuk membuatkan hunian sementara bagi Bu Kesmin. Rumah yang dibangun dari kayu dan baja ringan itu bersifat sementara hanya dapat digunakan untuk beristirahat.
“Saya sangat berterima kasih sekali, atas kebaikan dari para relawan yang sudah mau membangunkan rumah untuk saya,” tutur Bu Kesmin.
Meski sederhana, bangunan tersebut sangat berarti bagi Bu Kesmin yang hanya tinggal seorang diri. Ia berharap semuanya bisa kembali seperti semula.
Kabupaten Lombok Utara menjadi salah satu daerah terdampak gempa terparah yang melanda wilayah tersebut beberapa waktu lalu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 75% infrastuktur di Lombok Utara hancur dan rusak.
Reporter: Sirath

Foto Kondisi Salah Satu Desa Terdampak Gempa di Lombok Utara

LOMBOK (Jurnalislam.com) – Musibah gempa bumi yang berkali-kali mengguncang Lombok Utara beberapa waktu lalu telah meluluhlantakkan wilayah tersebut. Salah satunya Dusun Rempek Desa Rempek Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan hampir 75 persen permukiman di Lombok Utara hancur dan rusak akibat gempa.

 

Foto Suasana Upacara Hari Kemerdekaan di Salah Satu Desa Terdampak Gempa Lombok

LOMBOK (Jurnalislam.com) – Meski di tengah duka, namun ratusan warga Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur yang terdampak gempa ini tampak khidmat mengikuti upacara HUT RI ke-73, Jumat (17/8/2018). Reporter Islamic News Agency (INA) berhasil mengabadikan momen tersebut.

HUT RI Ke-73, ICMI : Tetap Jaga Persatuan Bangsa

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-73, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Prof DR Jimly Asshiddiqie berpesan kepada bangsa Indonesia untuk tetap menjaga persatuan.

“Selamat merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 73 tahun kepada seluruh masyarakat lndonesia,” katanya melalui siaran pers yang diterima Jurnalislam.com, Jumat (17/8/2018).

Jimly menjelaskan, banyak cara dan upaya dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dengan perbuatan yang positif, yakni melalui aksi-aksi kerja nyata dan tetap menjaga semangat persatuan nasional.

“Mari menikmati kemerdekaan dengan mengisinya melalui kerja nyata. Membangun bangsa dan negara tanpa perpecahan anak bangsa,” ujarnya.

Ia juga menyoroti peringatan 73 tahun kemerdekaan ini di tengah panasnya situasi politik menjelang Pilpres 2019. Ia menyebutnya dengan tahun politisi.

“Hari ulang tahun Republik Indonesia sekarang bertepatan dengan tahun politisi, bukan tahun politik. Sebab yang sibuk adalah para politisi, bukan rakyat,” kata Jimly.

Kendati demikian, Jimly mengimbau, supaya tetap mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa meskipun ada perbedaan pilihan dalam soal politik dan pemimpin.

Jimly mengatakan, yang harus dipahami dan disadari bahwa semua calon pemimpin bangsa yang berkompetisi dalam politik adalah saudara dalam satu Tanah Air.

“Makanya pilihan pasangan calon jangan hanya dengan semangat menang atau kalah sesaat. Kemajuan bangsa butuh perspektif yang luas dan jangka panjang,” ujar Jimly.

Reporter: Gio

“Hari Kemerdekaan Sebagai Momen Untuk Bangkit”

LOMBOK (Jurnalislam.com) – Ratusan warga terdampak gempa di Desa Sembalun Bumbung, Kabupaten Lombok Timur pada Jumat (17/8/2018) pagi, mengikuti upacara Hari Kemerdekaan.
Dengan pakaian seadanya, mereka tetap khidmat mengikuti upacara yang diselenggarakan oleh relawan dan Karang Taruna itu di tanah lapang di daerah tersebut.
Lantunan Indonesia Raya dari paguan suara pemudi Desa Sembalun Bumbung mengiringi pengibaran bendera ke atas tiang bambu.
Warga Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur mengikuti upacara hari kemerdekaan. FOTO: Ahmad Jilul Qur’ani Farid/INA

Pembina Upacara, Jusman yang merupakan Sekretaris Desa Sembalun Bumbung, dalam amanatnya menyampaikan pesan moral kepada warganya untuk menjadikan hari kemerdekaan sebagai momen untuk bangkit pasca bencana gempa yang meluluhlantakan desa mereka.

“Hari kemerdekaan adalah momentum bagi daerah untuk bangkit menoreh prestasi setelah bencana yang terjadi, kita harus bisa bangkit dari segala macam musibah dengan bersabar serta gotong royong memulihkan situasi dan kondisi,” terang Jusman dalam amanatnya sebagai inspektur upacara.

Jusman juga menekankan kepada warga untuk tidak hanya menjadi penonton sementara para relawan memberikan bantuan.

“Jangan sampai cuma relawan yang bekerja dan kita cuma jadi penonton saja, kita harus gotong royong ikut bekerja bersama para relawan,” tegas Jusman.

Reporter: Ahmad Jilul Qur’ani Farid | INA
Foto: Ahmad Jilul Qur’ani Farid | INA

Merdeka di Tanah Gempa

“Walau kami susah, kami tetap ingin bangkit dan berbagi,” kata Tria

JURNALISLAM.COM – Hitam. Gelap pekat membalut dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Kabupaten Lombok Timur. Setitik cahaya tersebar, di setiap tenda-tenda pengungsi. Malam itu, (16/8/2018), para pengungsi korban gempa Lombok hanya bisa berkumpul di terpalnya masing-masing.

Tak ada hingar bingar H-1 hari kemerdekaan. “17-an sekarang kami yasinan aja,” kata Iyuni, bocah kelas 1 SD Sembalun yang sekolahnya kini hanya menyisakan bangku-bangku kosong. Listrik yang byar-pet di pengungsian, membuat malam hari itu begitu gelap gulita.

Satu tenda pengungsian seluas 3 x 6 meter itu, bisa saja diisi 30 orang berjubel di dalamnya. Sunyi memang, tapi sesekali lantuan al Qur’an menyeruak dari sudut tenda itu. Hanya secuil cahaya dari senter, yang menemani bocah-bocah itu mengeja kalam suci.

Pengungsian di Dusun Sembalung Bumbung, Kabupaten Lombok Timur. FOTO: Aghniya\INA

Di masjid, mesin genset ditarik. “BRRRRRR……”

“Pet..” tiba-tiba mati. Shalat isya di Masjid darurat ramah gempa itu tetiba menjadi hening dan semakin syahdu. Beberapa warga masih melanjutkan bacaan al Qur’annya di masjid, sambil ditemani gemuruh genset yang terus menderu.

Malam itu, mungkin tak seperti desa -kampung- tempat lainnya di penjuru negeri ini. Tak ada paduan suara, tak ada malam gembira, tak ada lomba jelang 17 Agustus, tak ada hingar bingar meriahnya hari kemerdekaan Indonesia ke-73.

Ketika semburat fajar menyiram bukit dan gunung yang memagari Sembalun; Gunung Rinjani, bukit Nanggi, bukit Anak Dara, Pegasingan, Pelawangan, dan sekitarnya, semburat itu juga membelai pucuk tiang bambu.

Di atas tiang bambu sederhana itu, sehelai bendera merah putih berkibar. Tak jauh dari situ, di tengah ladang yang disulap menjadi lapangan, sebatang bambu dipasang tegak. Di sanalah, upacara sederhana itu terlakon.

Jangan tanya mengapa upacara tak dilakukan di sekolah. “Sekolahnya hancur, nggak bisa dipakai,” masih kata Iyuni, sahabat kecil kita. Upacara itu, dilakukan dengan sangat sederhana.
Para relawan dari berbagai daerah seperti Laz LMI, Sinergi Foundation, Santama (Santri Tanggap Bencana) segera berbagi peran dalam tim upacara. Ibu-ibu, anak- anak, remaja, pemuda, semua menyemut mengisi tanah lapang.

Sekretaris desa, Pak Jusman datang hadir menjadi pembina upacara yang sangat sederhana itu. Ibu-ibu dengan capingnya, anak-anak dengan sandal bututnya, para remaja dengan kaos belelnya datang.

Sederhana memang, tapi hari raya kemerdekaan itu begitu penuh makna bagi mereka.

Upacara 17 Agustus di Dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Kabupaten Lombok Timur. FOTO: Aghniya/INA

Tomi, seorang warga Sembalun yang juga porter (pemandu) Gunung Rinjani bilang, kalau tahun ini tak ada orang yang berlomba-lomba untuk sekadar berfoto – untuk dibagikan di media sosial- di kaki bukit, danau, atau puncak Gunung Rinjani.

“Tahun kemarin bisa jadi ada 1000 orang lebih ke puncak, 5000 orang di kaki bukit. Setiap 17 Agustus, bahkan tenda saja tak muat,” kata Tomi. Namun kini, Tomi menyaksikan pemandangan yang berbalik 180 derajat: gempa telah merubah segalanya.

Tak ada lagi orang –orang berebut bergaya di puncak gunung. Upacara warga Sembalun di kaki bukit Rinjani begitu sederhana, tapi sangat bermakna. Lihatlah, bagaimana seorang Ibu bernama Idam ini menatap haru, menyerapi upacara yang sederhana ini.

“Saya terharu,” katanya. Matanya berkaca-kaca, saat menyanyikan lagu ‘syukur’ saat bendera merah putih diturunkan menjadi setengah tiang untuk mengenangkan bencana gempa. Setiap tahun, kata Ibu Idam, 17 Agustusan dirayakan dengan sangat meriah.

Tapi tahun ini tidak. Warga merayakannya dengan sangat sederhana sekali. Pagi itu, merah putih berkibar setengah tiang di Sembalun. Pak Jusman, sekretaris desa mengingatkan warga bahwa momen kemerdekaan adalah momen warga kembali membangun desanya, dengan semangat.

Upacara ditutuh doa yang syahdu, dan lagu daerah sembalun. Sesudah itu, warga bersiap untuk shalat Jumat. Di masjid darurat, lagi-lagi, khatib shalat Jumat, ustaz Hardianysah mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan.

Petugas upacara membacakan Pembukaan UUD 45 yang ditulis tangan. FOTO: Aghniya/INA

Ia pun mengingatkan kemerdekaan dalam pandangan Islam, ialah ketika seorang hamba, benar-benar mentauhidkan Allah. Ia mengisahkan kisah sahabat Rib’i bin Amir ketika bersua panglima Persia Rustum.

“Allah telah mengutus kami untuk memerdekaan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan memerdekaan kezhaliman agama-agama kepada keadilan Al-Islam,”kata ustaz Hardi mengisahkan sahabat yang mulia ini.

Di tanah gempa ini, makna kemerdekaan menjadi sangat sederhana. Warga memaknainya dengan semangat untuk bangkit dan kembali membangun desanya.

“Walau kami susah, kami tetap ingin bangkit dan berbagi,” kata Tria, seorang petani –pengungsi- yang membagikan sayurannya untuk korban gempa di Kabupaten Lombok Utara.

Kata Tria, justru ketika kesulitan itulah, manusia harus semakin berbagi. “Justru ini adalah ujian keimanan kami, inilah makna kemerdekaan, keyakinan kepada Allah,” katanya.

Sayup-sayup, pekik merdeka kini menyeruak dari kampung ini. Kalimat takbir dan pekik merdeka saling bersahutan. “Merdeka..merdeka…Allahu Akbar…”

“Kami yakin dan kami masih memiliki Allah. Walaupun kami kesulitan, masih banyak saudara kami yang juga kesulitan di luar sana, dan insya Allah kami akan bangkit,” pungkas Tria. Kita doakan bersama-sama. Amin.

Reporter : Rizki Lesus | INA
Foto : Aghniya | INA