Apakah True Love Harus Dibuktikan dengan Making Love?

Apakah True Love Harus Dibuktikan dengan Making Love?

Oleh: Rika Arlianti DM

Cinta kepada lawan jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Sebab dengan cinta generasi manusia bisa terjaga. Selain itu, Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta sesuai syariat-Nya.

Namun, bagaimana jika cinta disalurkan melalui cara yang ilegal atau menyimpang? Fenomena inilah yang melanda hampir sebagian pemuda dan telah menjamur di lingkungan masyarakat. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran, teman tapi mesra (TTM), Friend with Benefits (FWB), dan sebagainya.

Awalnya dimulai dari mata dan pendengaran. Mungkin sekadar penasaran, lalu muncul rasa kagum. Semakin mencari tahu segala hal tentangnya, akhirnya semakin tertarik. Dari ketertarikan itu, muncul rasa ingin menyapa dan berkenalan. Beranjak basa-basi, janjian, kemudian berkencan.

Beberapa mungkin hanya berkomunikasi melalui dunia maya, tapi tetap saja saling memperhatikan di dunia nyata. Lambat laun muncul rasa nyaman yang bersamaan dengan rasa kepemilikan, padahal nyatanya bukan siapa-siapa. Gelisah jika tidak mendengar kabar darinya. Resah apabila melihat dia bersama orang lain. Setan tidak tinggal diam. Ia akan terus mengompori, membisikkan banyak hal yang sejalan dengan nafsu manusiawi.

Salah satu atau bahkan keduanya mulai banyak tanya, menuntut penjelasan. Celah untuk memanfaatkan semakin terbuka lebar. Di ajaklah ia bertemu, dibawa ke tempat sepi. Setelah itu beranjak ke yang lebih parah. Maka terjadilah zina yang tidak disangka-sangka hanya karena alasan true love atau pembuktian cinta yang sebenarnya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mengingatkan dalam firman-Nya;

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Terjemahnya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32).

Menurut tafsir Jalalain dikatakan, larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina.

Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”

Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka dapat disimpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan, dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal terlarang.

Mengutip dari tafsir Ibnu Katsir, Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Jarir, telah menceritakan kepada kami Salim ibnu Amir, dari Abu Umamah bahwa pernah ada seorang pemuda datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu pemuda itu bertanya, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku berbuat zina.”

Maka kaum yang hadir memusatkan pandangan mereka ke arah pemuda itu dan menghardiknya seraya berkata, “Diam kamu, diam kamu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Dekatkanlah dia kepadaku.” Maka pemuda itu mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam jaraknya yang cukup dekat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Duduklah!”

Pemuda itu duduk dan beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu suka perbuatan zina dilakukan terhadap ibumu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Orang lain pun tentu tidak suka hal tersebut di lakukan terhadap ibu-ibu mereka”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah kamu suka bila perbuatan zina dilakukan terhadap anak perempuanmu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga diriku menjadi tebusanmu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda menguatkan, “Orang-orang pun tidak akan suka bila hal itu dilakukan terhadap anak-anak perempuan mereka”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah kamu suka bila perbuatan zina dilakukan terhadap bibi (dari pihak ayah) mu?”Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Orang lain pun tidak akan suka bila perbuatan itu dilakukan terhadap bibi (dari pihak ayah) mereka”.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meletakkan tangannya ke dada pemuda itu seraya berdoa: Ya Allah, ampunilah dosanya dan bersihkanlah hatinya serta peliharalah farjinya. Maka sejak saat itu pemuda tersebut tidak lagi menoleh kepada perbuatan zina barang sedikit pun.

Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Nasr, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Abu Bakar ibnu Abu Maryam dari Al-Haisam ibnu Malik At-Ta-i, dari Nabi yang telah bersabda: “Tiada suatu dosa pun sesudah mempersekutukan Allah yang lebih besar di sisi Allah daripada nutfah (air mani) seorang lelaki yang diletakkannya di dalam rahim yang tidak halal baginya”. Na’udzubillahi min dzalik.

Namun, bagaimana kondisi yang terjadi sekarang? Banyak pemuda yang belum memahami bahkan belum tahu ayat tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menyampaikan ayat yang ringkas, tapi cakupannya luas dan dalam bila dimaknai.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis itu terlarang, terlebih saling bersentuhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda;

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Artinya: “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadis ini sahih ligoirihi).

Jika berduaan dengan yang bukan mahram saja dilarang, lantas bagaimana dengan true love yang harus dibuktikan dengan making love?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, barangkali masih ada beberapa pemuda yang berdalih kalau mereka memang pernah atau sedang dekat dengan seseorang, tapi sebatas teman curhat, teman diskusi, tidak lebih. Belum pernah bersua langsung, jikalau pun tidak sengaja berpapasan, maka memalingkan pandangan solusinya. Wallahu a’lam bishawab.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda;

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya: “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Bukhari, no. 5889 dan Muslim, no. 6925).

Ibnu Baththal berkata, “Melihat dengan syahwat, berbicara secara vulgar, dan membayangkan sesuatu disebut ‘zina’ karena semua perbuatan di atas merupakan faktor pendorong terjadinya zina yang hakiki. Terkadang, penyebab suatu perbuatan itu diberi nama dengan perbuatan itu sendiri karena keduanya memiliki keterkaitan.” (Syarh Bukhari oleh Ibnu Batthal, 19:414).

Inilah yang sangat mengiris hati dan disayangkan, sebab era dan lingkungan sekarang dengan mudahnya dijumpai pemuda non mahram, belum terikat pernikahan duduk berduaan, saling merapat, berangkulan, dan seterusnya. Bahkan ada yang rela membuktikan cinta dengan cara yang keliru yaitu berhubungan badan atau istilah kerennya disebut ‘making love’.

Sejatinya sekeren apa pun istilahnya, tapi hakikatnya tetap sama yaitu membangkang dari yang dilarang-Nya, melakukan dosa besar dan perbuatan keji.

Lalu, bagaimana mungkin zina dinamakan true love? Logikanya di mana, hingga true love harus dibuktikan dengan making love padahal belum halal untuk dikatakan saling memiliki?

Memang, namanya cinta butuh pengorbanan, tapi bukan mengorbankan kesucian dan kehormatan diri. Sebab jika benar cinta, maka akan ada niat dan tekad yang kuat untuk saling menjaga kesucian dan harga diri. Bukan dengan memperturutkan hawa nafsu.

Pengorbanan yang benar dalam cinta bukan berkorban untuk maksiat, namun berkorban dengan mengerahkan seluruh kemampuan menjaga kesucian diri dan orang yang dicintai, serta berusaha meraih hubungan yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai syari’at-Nya. Insyaa Allah Yang Maha Pemurah akan menolong. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda;

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ

Artinya: “Tiga orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah yang ingin menjaga kehormatan dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 1655. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Syaikh Al Albani juga mengatakan hadis ini hasan).

Oleh karenanya, setiap cinta yang tidak didasari karena Allah, maka akan berakhir dengan kebencian. Seks di luar nikah bukanlah cinta karena Allah, namun hawa nafsu dengan mengatasnamakan cinta.

Jadi, pembuktian true love atau cinta sejati tidak dilakukan dengan making love atau free seks, melainkan dengan saling menjaga kesucian dan kehormatan diri masing-masing. Jika sudah merasa mampu, maka tempuhlah dengan jalan pernikahan. Namun, jika belum mampu, maka bersabarlah.

Sibukkan diri dengan hal-hal produktif seperti menuntut ilmu, mengembangkan bakat, dan mengasah skill. Hindari pergaulan bebas, jauhi pergaulan dengan lawan jenis kecuali darurat. Banyak memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberikan kemudahan untuk terlepas dari zina dan segala jalan menuju perbuatan yang keji. Wallahu a’lam bissawab.

Editor: Sinta Kasim

Bagikan