Kemandirian dan Martabat Bangsa

Kemandirian dan Martabat Bangsa

Oleh : Herliana Tri M

Tinggal dan menempati wilayah negara yang mandiri, maju, rakyatnya makmur dan pemimpinnya mengurusi rakyatnya, adalah dambaan setiap warga negara. Demikian juga kecepatan, ketangkasan, serta kemampuan mengatasi setiap permasalahan termasuk bencana yang datang dapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai keberadaan pemimpin negara, melindungi dan menjaga warga negaranya atau tidak.

Indonesia, yang saat ini sedang diuji dengan bencana besar di Sumatera dan Aceh sampai kini menyisakan duka mendalam. Ini baru dari sisi korban yang terdampak, belum membahas pasca musibah dan bagaimana mereka harus kembali menjalankan hidup.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan hingga Senin, 15/12/2025 bencana ini telah mengakibatkan 1.016 orang meninggal, 212 orang hilang, dan sekitar 7,6 ribu orang terluka.

Bencana yang sampai hari ini belum terselesaikan. Seakan lamban dalam penanganan, bahkan korban masih terus berjatuhan. Infrastruktur lumpuh, logistik terbatas, serta penanganan pasca bencana terseok-seok.

Bencana besar yang melanda sebagian wilayah negeri ini, menarik simpati dari berbagai negara untuk membantu.

Para pemimpin negara itu di antaranya Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, Presiden Rusia Vladimir Putin, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Raja Charles III, dan Duta Besar Uni Emirat Arab Abdulla Salem Al Dhaheri. Negara-negara lain yang juga mengucapkan duka mendalam adalah Oman, Qatar, Kazakhstan, Vietnam, Kuwait, Armenia, hingga Amerika Serikat.

Para pemimpin dari berbagai negara, tidak hanya menyampaikan simpati, tetapi juga berkomitmen untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada Indonesia.

Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi misalnya, mengatakan komitmen bantuan dilakukan sebagai wujud persahabatan yang terjalin lama dengan dua negara di Asia Tenggara: Indonesia dan Thailand.

Menolak bantuan Internasional, Bagian dari Menjaga Martabat Bangsa?

Berbagai bantuan yang ditawarkan dari berbagai bangsa dunia, tak menjadikan Indonesia tergiur untuk menerimanya. Presiden Prabowo Subianto percaya bahwa pemerintahan sanggup menangani bencana banjir Sumatra tanpa bantuan pihak luar.

Presiden menyampaikan bahwa bencana ini adalah musibah serta menguji kita. Alhamdulillah kita kuat, kita mampu mengatasi masalah dengan [kekuatan] kita sendiri, penyampaian Prabowo di Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan Jakarta

Sikap pemerintah Indonesia yang menolak bantuan internasional dalam menangani bencana di Sumatra dikritik banyak pihak. Masalahnya, sampai sekarang saja situasi belum terkendali, dan terkesan lamban padahal ini menyangkut nyawa dan keselamatan jiwa.

Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri, menggambarkan bahwa keputusan menolak bantuan asing seperti “mengabaikan masalah atau menyangkal kenyataan” atas realita yang sebenarnya. Perbaikan kehidupan warga usai bencana, membutuhkan banyak sumber daya yang tak pernah disampaikan oleh negara bagaimana menjabarkan solusi kedepannya. Apalagi negara sampai hari ini juga belum menaikkan status musibah sebagai bencana nasional yang artinya pusat akan turut membantu pembiayaan pemulihan pasca bencana.

Bahkan pemulihan di seluruh wilayah terdampak pasca banjir dan longsor Sumatra diperkirakan dapat memakan waktu panjang sampai 20-30 tahun, jika sepenuhnya bergantung pada kemampuan pemerintah, menurut mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman.

Apalagi efek bencana sudah terasa bagi warga. Bayangkan saja, mereka kehilangan harta, benda bahkan rumah dan anggota keluarga. Kamaruzzaman menyebut bencana ini berpotensi membuat kemiskinan di Aceh semakin dalam ketimbang wilayah lain di Indonesia (bcc.com, 08/12/2025)

Sikap pemerintan berbicara tentang harga diri bangsa dengan menolak bantuan asing dalam penanganan bencana di Sumatera dan Aceh dapat diterima apabila negara memang siap dengan segala personel, teknologi perbaikan infrastruktur, serta biaya yang memadai. Sehingga target kemandirian bangsa dapat terwujud.

Namun saat kondisi di lapang justru menunjukkan yang sebaliknya, bahkan terasa sangat lamban dan tak mampu, maka menerima tawaran bantuan patut dipertimbangkan apalagi jika bantuan ini tanpa konsekwensi apapun yang merugikan bangsa. Wajar andai muncul pertanyaan menggelitik, apakah harga diri bangsa diukur dari sikap menolak bantuan atau dari kemampuan negara menyelamatkan nyawa rakyatnya?

Jawaban Islam atas Kemandirian Negara

Mandiri menurut Islam adalah negara (dawlah) dan kekuasaan bukan sekadar simbol kebanggaan, melainkan tanggung jawab ri‘ayah (pengurusan urusan rakyat).

Rasulullah ﷺ bersabda:

Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa ukuran keberhasilan kepemimpinan bukanlah retorika lisan dan gengsi semata, melainkan sejauh mana kebutuhan rakyat terpenuhi secara layak, terutama dalam kondisi darurat seperti saat bencana terjadi. Maka dari itu, menolak bantuan yang nyata-nyata dibutuhkan, atas nama harga diri semu, justru menghantarkan bahaya terhadap amanah kepemimpinan itu sendiri.

Disisi lain, pemerintah sering menghubungi lembaga keuangan internasional, meski harus dibayar dengan utang berbunga tinggi dengan syarat-syarat politik dan ekonomi yang cenderung merugikan kepentingan bangsa. Berbagai regulasi menggiurkan hingga pajak yang dibebaskan demi “kemudahan berusaha”. Ironisnya, semua itu harus dibayar dengan mengorbankan hutan, tambang, laut dan keringat rakyat sendiri. Maka menjadi ambigu definisi kemandirian yang berusaha diimplementasikan negara dalam kondisi darurat bencana seperti yang saat ini terjadi.

Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa ‘izzah (harga diri/kemuliaan) bukanlah hasil pencitraan politik, namun harga diri sejati lahir dari ketaatan kepada Allah dengan penerapan syariah-Nya, keberpihakan negara kepada rakyat; bukan ketundukan pada kepentingan asing.

Maka, ketika negara tunduk pada sistem ekonomi kapitalistik dengan menjadikan utang sebagai instrumen permanen, investasi asing sebagai penyelamat dan kekayaan alam sebagai komoditas jual-beli yang akhirnya mengancam jiwa dan keselamatan rakyatnya, sejatinya saat itu pula harga diri bangsa telah tergadai. Sedangkan menolak bantuan bencana di tengah ketidakmampuan negara justru menambah daftar panjang ironi sebuah kemandirian.

Islam mengajarkan keseimbangan. Bantuan dari pihak luar boleh diterima jika memang dibutuhkan dan tidak menimbulkan dominasi atau penjajahan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam sendiri pernah menerima bantuan non-Muslim dalam urusan teknis dan strategis selama kendali tetap berada di tangan kaum Muslim. Justru yang harus dihindari adalah ketergantungan struktural yang membuat umat kehilangan kedaulatan politik dan ekonomi.

Karena itu persoalan sesungguhnya bukan menerima atau menolak bantuan asing. Persoalannya adalah mengapa negara ini tidak siap? Mengapa negeri yang kaya-raya, dengan sumberdaya alam melimpah, selalu tampil sebagai bangsa yang rapuh ketika bencana datang? Jawabannya terletak pada sistem yang rusak, sistem sekuler kapitalistik yang menjauhkan negara dari fungsi ri‘ayah dan menjadikan penguasa sekadar manajer kepentingan tertentu.

Harga diri bangsa tidak dibangun dengan pidato nasionalis heroik di atas penderitaan korban bencana. Harga diri bangsa dibangun dengan sistem Islam yang adil, mandiri dan berdaulat, dengan mengelola kekayaan alam untuk rakyat, membangun kesiapsiagaan negara dan menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas utama.

Jika tidak, maka penolakan bantuan atas nama harga diri hanyalah memperpanjang kesengsaraan rakyat. Sebab, harga diri yang sejati tidak pernah lahir dari kesombongan kosong, melainkan dari keadilan, sikap amanah dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Negara dalam sistem ekonomi Islam bukanlah aktor pasif atau sekadar regulator seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Maliki dalam bukunya Politik Ekonomi Islam (2001), bahwa Negara Islam wajib mengelola sumber daya publik demi kesejahteraan rakyat dan mencegah pemusatan kekayaan di tangan segelintir individu atau korporasi.

Dalam sistem ekonomi Islam, negara memegang peran sentral sebagai pengatur dan pelaksana kebijakan ekonomi yang bertujuan menciptakan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat. Al-Maliki (2001) menyatakan bahwa negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator aktif dalam pembangunan sektor-sektor strategis seperti pertanian, perdagangan dan industri.

Keterlibatan negara dalam sektor-sektor ini menjadi sangat penting karena keterlibatan negara berpotensi menciptakan lapangani kerja, mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi yang selama ini menjadi ciri khas sistem kapitalisme.

Bagikan