Gen Z di Era Digital dan Urgensi Mengembalikan Paradigma Islam

Gen Z di Era Digital dan Urgensi Mengembalikan Paradigma Islam

Oleh: Nabilaturra’yi

Perkembangan teknologi digital hari ini bukan sekadar kemajuan teknis, tetapi juga transformasi peradaban. Ruang digital telah menjadi arena pembentukan opini, pembingkaian nilai, serta rekayasa cara hidup. Bagi Gen Z, generasi yang seluruh proses tumbuh kembangnya terjadi dalam ruang virtual, pengaruh era digital bersifat struktural. Mereka hidup dalam arus informasi tanpa batas, tekanan sosial yang tak tampak, dan penetrasi nilai global yang tidak pernah satu generasi pun sebelumnya alami sedalam ini.

Data kepemilikan gawai, tingginya penetrasi internet, hingga intensitas penggunaan media sosial menegaskan bahwa Gen Z adalah generasi paling terhubung sekaligus paling terekspos. Namun ruang digital yang mereka tempati bukanlah ruang netral. Ia dibangun, dikendalikan, dan diarahkan oleh arsitektur nilai sekuler-kapitalistik nilai yang menempatkan kebebasan tanpa batas, ekspresi individual, dan hasrat konsumtif sebagai standar hidup.

Dalam lanskap seperti ini, Gen Z sering dilabeli sebagai generasi rapuh, emosional, dan mudah dipengaruhi. Namun pada saat yang sama, mereka memiliki kekuatan yang unik: kemampuan kritis, literasi digital tinggi, serta kapasitas mobilisasi sosial yang luar biasa. Aktivisme mereka di ranah digital mulai dari solidaritas isu global hingga gerakan lokal yang mendapat gaung internasional menunjukkan adanya energi perubahan yang besar.

Akan tetapi, potensi ini terancam tercerabut dari akar ideologisnya. Ketika algoritma menjadi penentu arah perhatian dan viralitas menjadi ukuran relevansi, aktivisme mudah bergeser menjadi tindakan pragmatis, reaktif, dan dangkal. Gen Z terdorong untuk menjadi bagian dari wacana global, tetapi nilai yang membingkai wacana itu mayoritas diwarnai liberalisme, feminisme sekuler, hingga relativisme moral. Fenomena meningkatnya masalah kesehatan mental, kegamangan identitas, hingga tren mempertanyakan otentisitas agama merupakan dampak langsung dari dominasi nilai yang tidak sejalan dengan Islam.

Dalam perspektif Islam, kondisi ini merupakan alarm. Generasi muda adalah penentu masa depan umat. Ketika mereka membentuk pola pikir, karakter, dan gerak sosial berdasarkan paradigma sekuler-kapitalistik, maka arah perubahan akan jauh dari nilai Islam. Karena itu, penyelamatan generasi bukan sekadar upaya moral, tetapi agenda peradaban.

Menyelamatkan Gen Z tidak cukup dengan nasihat individual atau sekadar literasi digital. Yang diperlukan adalah perubahan paradigma berpikir: mengalihkan cara pandang mereka dari sekularisme menuju Islam sebagai ideologi. Islam tidak memusuhi teknologi atau ruang digital, tetapi Islam menuntut agar setiap aktivitas manusia termasuk konsumsi informasi, ekspresi di media sosial, dan aktivitas advokasi berpijak pada aqidah sebagai landasan berpikir.

Aktivisme Gen Z harus diarahkan menjadi gerakan yang sistemis dan ideologis, bukan aktivisme musiman yang ditentukan oleh trending topic. Gerakan mereka perlu menantang akar masalah, bukan sekadar gejala; menawarkan solusi berbasis syariat, bukan solusi parsial yang tunduk pada sistem kapitalis. Dengan paradigma Islam, aktivisme bukan lagi pencarian validasi, melainkan bagian dari tanggung jawab amar makruf nahi mungkar dan upaya membangun peradaban alternatif.

Tentu, membimbing generasi tidak dapat dibebankan pada individu semata. Dibutuhkan sinergi menyeluruh:

  • Keluarga sebagai fondasi pembinaan akhlak dan aqidah
  • Masyarakat sebagai lingkungan yang menegakkan budaya Islam
  • Negara sebagai pelindung generasi sekaligus pihak yang memastikan bahwa sistem pendidikan, konten digital, hingga kebijakan publik selaras dengan nilai Islam.

Tanpa hadirnya sinergi tiga pilar ini, Gen Z akan terus menjadi generasi yang digiring oleh hegemoni digital alih-alih menjadi subjek perubahan berdasarkan ajaran Islam. Padahal, dengan kapasitas mereka, Gen Z dapat menjadi garda terdepan kebangkitan umat.

Tantangannya hanya satu, apakah mereka akan dipandu oleh algoritma global atau oleh paradigma Islam yang mengokohkan identitas dan arah perjuangan mereka?

Bagikan