Tampakkanlah Kebahagiaanmu di Hari Kemenangan!

Tampakkanlah Kebahagiaanmu di Hari Kemenangan!

Oleh: Budi Eko Prasetiya. SS
Manajer Griya Qur’an Al Hafizh Jember

Seluruh Umat Islam di seluruh penjuru dunia sepantasnya bergembira merayakan hari raya Idul Fitri, hari kemenangan setelah satu bulan ditarbiyah lahir batin dengan puasa di bulan Ramadhan. Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah Allah ‘azza wa jalla sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus : 58)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang malan mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda,
“Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud no. 1134; An-Nasa’i no. 1556)

Pada hadis tersebut terdapat isyarat yang menunjukkan dianjurkannya berbahagia, menampakkan kesemangatan pada dua hari raya.” (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/ 409)

Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dua orang budak wanita menyenandungkan syair-syair hari Bu`ats pada hari raya `ied. Abu Bakar pun marah dan mengingkari perbuatan dua budak wanita tersebut. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.” (HR Bukhari no: 939, 952 dan Muslim no: 892)

Perayaan Idul Fitri pertama kali bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijriah. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Muslimin yang terdiri dari 313 orang harus berhadapan dengan 1000 tentara dari kaum kafir Quraisy.

Atas kuasa Allah Subhanahu wa ta’ala, kaum Muslimin dapat memenangkan pertempuran, meskipun secara matematis hal ini mustahil untuk terjadi. Di antara rahasia kemenangan ini adalah Allah mengutus bala tentara dari kalangan malaikat. Hal ini terabadikan dalam surat Al-Anfal ayat 9 :

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَٱسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ مُرْدِفِينَ

Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu. lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”

Rasulullah ﷺ dan umat Islam kali pertama kali menggelar perayaan hari raya Idul Fitri pada tahun kedua Hijriiah (624 M) atau dua pekan usai Perang Badar (17 Ramadhan).

Disebutkan, para sahabat menunaikan shalat Idul Fitri pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat perang. Bahkan, sampai Nabi ﷺ bersandar pada Bilal radhiyallahu anhu, ketika menyampaikan khutbahnya.

Hingga kini, Idul Fitri telah dilakukan kaum Muslimin lebih dari 10 abad. Di setiap daerah dan negara, umat Islam memiliki tradisi masing-masing untuk mengekspresikan perayaan kebahahiaan tersebut.

Pada Dinasti Abbasiyah, perayaan Idul Fitri dilakukan dengan rangkaian kegiatan yang meriah. Perayaan dilakukan selama tiga hari diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal yang disajikan. Dalam buku  Empire of the Islamic World dijelaskan, umat Muslim yang berada di jalan-jalan Kota Baghdad dihibur dengan penampilan para seniman dan penyair yang menunjukkan kebolehan mereka. Tentu saja, hiburan tersebut bernilai positif dan tidak melanggar syariat.

Sedangkan dalam  Discover Islamic Art in the Mediterranean  menyebutkan, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 Masehi) di Mesir membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri.

Di India, para sultan Dinasti Mughal melakukan arak-arakan bersama pengawal kerajaan dalam merayakan Idul Fitri.

Di negara-negara seperti Mesir dan Pakistan, umat Islam menghiasi rumah mereka dengan lentera, lampu kelap-kelip, atau bunga. Makanan khusus pun akan disajikan, teman, tetangga, maupun keluarga besar akan diundang berkumpul bersama.

Di Negara Bosnia Herzegovina yang pernah menjadi wilayah kesultanan Utsmaniyah, ada tradisi membunyikan meriam selama Ramadhan hingga idul fitri. Tradisi ini telah ada sejak berabad silam. Sejak era kekhalifahan Utsmaniyah (1517-1924). Meriam dibunyikan dari Benteng Kuning atau Zuta Tabija, bangunan peninggalan abad ke-18.

Hari Raya Idul Fitri dalam tradisi Utsmaniyah disebut dengan Şeker Bayramı atau Hari Raya Gula yang dirayakan selama tiga hari penuh. Penamaan itu berasal dari banyaknya jumlah cokelat, baklava, dan permen bonbon yang dikonsumsi selama perayaan tersebut.
Istilah tersebut juga berasal dari era Sultan Selim II (m. 1566-1574), yang dimana selama tiga hari raya jalanan Istanbul penuh dengan orang yang mengunjungi kerabatnya. Anak-anak membungkuk untuk mencium tangan orangtua dan mengharapkan koin dan permen sebagai imbalan atas tindakan mereka.

Istana seringkali mengirimkan nampan-nampan permen ke pos-pos tentara sejak bulan Ramadhan (Inside Out In Istanbul, 2018).

Masyarakat Indonesia menggelar berbagai macam perayaan untuk hari raya Idul Fitri, seperti melakukan takbir keliling, mudik atau pulang ke kampung halaman, saling berkunjung ke rumah sanak saudara setelah sholat Idul Fitri.

Di Aceh ada tradisi Meugang membeli kambing, memasak, dan memakannya bersama sanak saudara, bahkan juga anak yatim, orang kurang mampu, dan para tetangga juga diajak untuk makan-makan. Tradisi ini sudah ada sejak Islam mulai masuk ke Aceh sekitar abad ke-14. Pada saat kerajaan Aceh Darussalam berdiri, tradisi ini juga telah dimulai dan dirayakan oleh pihak istana kerajaan.

Di Jawa ada makanan Ketupat, yang telah dikenal sebagai simbol perayaan Idul Fitri sejak pemerintahan Demak pada abad ke-15.
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang mengembangkan Islam dengan bantuan para ulama yang berdakwah mengislamkan pulau Jawa yang disebut Walisongo. Wali songo menjadikan filosofi makanan ketupat sebagai akulturasi menanamkan akhlak islam dalam kehidupan masyarakat. Ketupat tidak hanya terkenal di Indonesia, hidangan ini juga dikenal di Asia Tenggara, khususnya negara Melayu sebagai hidangan Idul fitri.

Pada dasarnya, menampakkan kebahagiaan dan bersenang-senang di hari raya bukan berarti bebas melakukan perbuatan apa saja, termasuk bermaksiat. Karena perayaan Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa, yaitu manusia yang bertaqwa. Idul fitri ada karena adanya puasa ramadhan, maka tidak ada kemuliaan beridul fitri jika tak bermujahadah selama Ramadhan dan mengaktualisasikan tarbiyah kesholihan itu hingga 11 bulan setelahnya, bahkan hingga akhir kehidupan seorang muslim.

Idul Fitri adalah jalan bagi seorang hamba menuju fitrah ketaatan dan memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah Rabb pengatur semesta Alam. Setiap Muslim yang kembali pada fitrahnya akan senantiasa menjaga ketaatannya dan berusaha memperjuangkan agar aturan Allah terlaksana dalam kehidupan keseharian. Bahkan aturan tersebut menjadi sumber aturan dalam aspek pribadi, keluarga, masyarakat hingga berbangsa-bernegara sehingga terwujud Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.