Swing Voters dan Cognitive Dissonance Theory: Prabowo Menang?

Swing Voters dan Cognitive Dissonance Theory: Prabowo Menang?

Oleh: Muhammad Fajar Aditya, Jurnalis Jurnalislam.com

“Manusia akan selalu merasa lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap (konsisten) daripada hal-hal yang tidak tetap (inkonsisten)”

JURNALISLAM.COM – Tidak terasa, hari demi hari telah berlalu. Masyarakat ada yang maju, mundur, dan ragu dengan pilihannya seiring 17 April yang semakin dekat.

Sejumlah lembaga survei mencoba untuk mengukur seberapa jauh pencapaian masing-masing pasangan calon (Paslon), dalam bingkai elektabilitas.

Salah satu survei yang dianggap mencengangkan sejumlah tokoh, pengamat politik, hingga masyarakat umum adalah Litbang Kompas. Berbeda dengan yang lain, ia menyebut elektabilitas petahana turun di bawah 50%.

Dalam survei Litbang Kompas pada 22 Februari-5 Maret 2019, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sebesar 49,2 persen. Di sisi lain, Prabowo-Sandi memperoleh 37,4 persen.

Adapun, 13,4 persen responden menyatakan rahasia. Survei ini memiliki margin of error +/- 2,2 persen. Pertanyaannya, kok bisa?

Mari kita bahas dengan seksama dan tempo sesingkat-singkatnya seperti perkataan pengamat politik Rocky Gerung.

Swing Voter

Swing voter adalah istilah untuk merujuk pada kelompok pemilih yang pada pemilu sebelumnya mendukung partai atau Paslon A, tetapi pada pemilu mendatang dapat berubah mendukung partai dan Paslon B.

Swing voters

Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters, Adhie M Massardi mengatakan swing voters dalam survei politik merupakan masyarakat atau pemilih rasional yang berjumlah 30 hingga 40 persen di setiap pemilu.

Mereka biasanya tidak nyaman dengan tingkah laku para politisi peserta pemilu dan gagasan yang dinilai tidak masuk akal.

Dikutip CNN Indonesia, dari data yang dimiliki PSV, angka swing voters mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dimulai dari 7,3 persen pada Pemilu 1999, 15,9 persen pada Pemilu 2004, 21,8 persen pada Pilpres putaran I tahun 2005, dan 23,4 persen pada Pilpres putaran II tahun 2005.

Sedangkan pada Pileg 2009 terdapat 29,3 persen golput, sebanyak 28,3 persen pada Pilpres 2009, 24,8 persen pada Pileg 2014, dan 29,1 persen pada Pilpres 2014.

Jadi, hingga 17 April 2019 nanti masih terbuka kemungkinan Paslon 02 untuk menyusul 01 pun sebaliknya, 01 menancapkan gas dengan selisih jauh diatas 20%, tergantung konsistensi yang diberikan oleh masing-masing paslon.

Cognitive Dissonance Theory

Berbicara tentang konsistensi, ada sebuah teori yang cukup menarik untuk kita sandingkan dengan perubahan sikap para pemilih (voter) terhadap para peserta pemilu. Cognitive dissonance Theory atau teori disonansi kognitif namanya.

Konsistensi merupakan prinsip penting dan teratur yang ada dalam proses kognitif (pikiran), dan perubahan sikap terjadi sebagai adanya informasi yang mengganggu (disonansi) keteraturan ini.

Secara ringkas, teori ini berbicara tentang inkonsistensi atau disonansi yang dapat merubah sikap, persepsi, pengetahuan, dan elemen tingkah laku.

Disonansi kognitif

Jika Anda percaya bahwa Paslon 01 tidak bagus untuk perubahan bangsa Indonesia, maka memilihnya merupakan tindakan yang inkonsisten. Namun hubungan konsonan dan disonansi antara satu orang dengan orang lain adalah tidak sama.

Orang lain mungkin berpendapat Paslon 01 baik dan berpotensi untuk menjabat kembali menjadi presiden, meskipun ia tahu bahwa Paslon 01 tidak bagus untuk perubahan bangsa Indonesia.

Dalam hal ini, terdapat dua ide penting yang menjadi dasar teori disonansi kognitif ini, yaitu: Pertama, keadaan disonansi menghasilkan ketegangan atau stres yang memberikan tekanan untuk berubah.

Kedua, jika kondisi disonansi ini muncul, maka orang akan berupaya untuk tidak menguranginya namun akan berupaya untuk menghindarinya.

Situasi yang dapat mendorong munculnya disonansi salah satunya adalah saat membuat keputusan.

Tingkat disonansi atau penyesalan yang dialami seseorang yang terkait dengan pengambilan keputusan ini bergantung pada empat keadaan ini:

Pertama, bobot keputusan yang diambil. Keputusan untuk tidak memilih ketua RT bukanlah suatu keputusan yang penting (bobot rendah) dan hanya akan menghasilkan disonansi tingkat rendah.

Sedangkan keputusan memilih presiden (bobot tinggi) dapat menimbulkan tingkat disonansi yang tinggi.

Kedua, tingkat daya tarik dari alternatif yang dipilih. Semakin tidak menarik alternatif yang Anda pilih maka akan semakin besar tingkat disonansi yang Anda alami.

Anda mungkin akan merasakan tingkat disonansi yang tinggi ketika harus memilih Paslon yang kurang bermutu dibandingkan dengan Paslon yang baik dan bermutu tinggi.

Ketiga, semakin besar daya tarik dari alternatif yang tidak terpilih maka semakin tinggi disonansi yang dirasakan. Jika Anda menginginkan perubahan dengan memilih Paslon 02 namun Anda ternyata memilih 01, maka Anda akan mengalami disonansi.

Keempat, semakin besar tingkat kemiripan atau tingkat tumpang-tindih (overlap) di antara alternatif maka semakin rendah tingkat disonansinya.

Jika Anda memilih satu caleg yang visi dan misinya hampir sama dengan yang lain, maka keputusan untuk memilih caleg itu tidak akan menimbulkan disonansi yang signifikan.

Namun, jika Anda harus memilih caleg yang berlawanan bahkan mempunyai varian yang lebih baik, maka Anda akan mengalami disonansi yang cukup signifikan.

Janji Petahana dan Disonansi Pemilih

Menurut pandangan penulis, kinerja petahana selama 4,5 tahun lebih menjabat menjadi pimpinan negeri, banyak janji-janji politik yang masih terbengkalai.

Presiden RI, Joko Widodo

Di dalam rekam jejak digital, ada puluhan janji petahana yang tidak terlaksana. Mencetak 10 juta lapangan kerja, menumbuhkan ekonomi 8%, swasembada pangan, stop impor, tidak bagi-bagi Kursi Menteri ke Partai Pendukungnya, dan masih banyak lagi membuat disonansi yang tinggi untuk para pemilih.

Merupakan suatu hal yang wajar jika para pemilih petahana pada saat 2014 lalu melakukan ayunan (swing) kepada paslon yang lain.

Terlebih, jika Paslon 02 dapat memberikan visi dan misi yang konkrit kepada para calon pemilih. Belum lagi ada undecided voter atau pemilih yang masih rahasia. Bisa jadi belasan persen itu akan beralih kepada paslon yang lain, bukan petahana.

Ditambah kondisi para pemilih yang sudah cerdas dan tidak lagi mau dibeli (vote buying) suaranya. Mengutip perkataan wakil ketua DPR RI dan salah satu tokoh politik muda, Fahri Hamzah.

“Wis wayahe (telah tiba waktunya), cukuplah sampai disini. Kita ucapkan terimakasih kepada petahana, kita ucapkan selamat tinggal.”

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.