Sudahi Saja Narasi Radikal!

Sudahi Saja Narasi Radikal!

Oleh Chusnatul Jannah*

(Jurnalislam.com)–Isu radikalisme makin kencang suaranya. Setelah Kabinet Indonesia Maju serentak memerangi radikalisme di Indonesia.

Begitulah salah satu pesan penting Jokowi kepada para menterinya setelah mereka dilantik. Meski beberapa dari mereka menjelaskan bahwa radikalisme tak melulu terkait agama tertentu, namun praktiknya narasi radikalisme justru banyak menyasar Islam dan pemeluknya.

Dalam menangani isu ini, Presiden memberi mandat khusus itu kepada Menag, Fachrul Razi. Sebelas dua belas dengannya, Menkopolhukam, Mahfud MD juga satu suara.

Begitu seriusnya pemerintah ingin menangkal radikalisme. Sampai- sampai isu ini santer menjadi program dan fokus utama negara.

Masalah lainnya seakan tertutupi dengan isu ini. Ada banyak masalah yang melanda negeri ini. Masalah yang belum dituntaskan Jokowi di periode pertama.

Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tumbuh 7 persen, realisasinya hanya berhenti di 5 persen.

Masalah kesehatan, kemiskinan, sosial, korupsi, kekerasan seksual, pergaulan remaja, pendidikan, pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa, dan lainnya masih membutuhkan perhatian utama pemerintah.

Sebagaimana diketahui, narasi radikalisme kerap digunakan untuk membungkam sikap kritis rakyat kepada penguasanya.

Kata ‘radikal’ dinegasikan sedemikian hingga ketika ada yang diduga terpapar radikal, terbayang dalam benak kita itu tanda bahaya.

Orang yang terpapar radikal dianggap musuh negara, harus dibersihkan, dan dia harus dideradikalisasi.

Islam dan Radikalisme

Bila benar radikalisme tidak selalu identik dengan Islam seperti ungkapan Kapolri baru, Idham Azis, lantas mengapa faktanya umat Islam yang terus menerus menjadi bulan-bulanan isu ini?

Jika benar radikalisme itu berbahaya dan mengancam negeri, lalu bagaimana dengan kapitalisme, liberalisme, dan separatisme yang sudah nyata membuat negeri ini porak poranda?

Gara-gara radikal, kabar ekonomi yang sedang merosot menjadi teralihkan. Gara-gara radikal, konflik Papua luput dari pantauan. Gara-gara radikal, negeri ini bergerak menuju Islamofobia. Penggunaaan cadar/niqab kembali dikaji.

Menag tidak ingin instansi pemerintah terpapar radikalisme. Publik pun bertanya, sebenarnya radikal itu makhluk macam apa? Radikal itu seperti apa?

Pertanyaan ini tak pernah dijawab sendiri oleh pemerintah. Narasi radikalisme pada akhirnya seperti pendahulunya, terorisme. Sebuah isu gorengan yang siap digoreng kapanpun isu ini dibutuhkan.

Narasi radikalisme juga dianggap sebagai bentuk kerja nyata pemerintah dalam menjaga ketentraman dan keutuhan NKRI. Sementara pekerjaan lainnya yang masih menjadi PR besar tidak mendapat perhatian lebih.

Timbulkan Kegaduhan

Berita tentang Sri Mulyani yang menerbitkan surat utang lagi itu tenggelam karena isu radikalisme. Padahal narasi radikalisme justru memberikan kegaduhan yang tak berkesudahan.

Saling curiga antar umat, main tuduh radikal kepada kelompok yang berseberangan dengan kelompoknya, dan bahkan orangtua yang hendak menanamkan Islam kepada anaknya sejak anak usia dini juga dianggap berpotensi menabur bibit radikal.

Sudahilah radikalisme dengan tidak bersikap radikal. Main ancam, main tuduh, dan main pecat itu tindakan radikal dan ekstrem.

Radikal itu sejatinya memiliki makna netral. Berasal dari kata radix yang artinya akar, mendasar pada prinsip. Jika radikal ini dibumbuhi dengan kata isme maka sudah berbeda makna.

Menurut KBBI, radikalisme adalah  paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. Merujuk pada definisinya, Islam itu radikal tapi bukan radikalisme.

Sebab, ajaran Islam itu mendasar pada prinsip yang baku, yaitu alquran dan as sunnah. Sebagaimana agama lain yang ajarannya mendasar pada prinsip keyakinan mereka. Nasrani radikal, hindu radikal atau budha radikal.

Atau bahkan seseorang yang begitu taat mengamalkan nilai-nilai Pancasila bisa dikatakan Pancasilais radikal. Sementara radikalisme sebagaimana definisinya, agama apapun jelas menentangnya, tak terkecuali Islam.

Membangun narasi radikal terhadap Islam adalah bentuk negativitas. Racun yang membunuh secara sadis tentang ajaran Islam.

Bahkan narasi ini bisa mematikan pola pikir positif terhadap Islam yang berujung pada gejala Islamofobia akut. Jika hal ini terjadi, jangan sampai Indonesia mengikuti jejak beberapa negara Eropa yang telah terjangkiti Islamofobia.

Jadi, sudahi saja narasi ini. Radikalisme hanyalah kedok Barat untuk menyerang Islam. Sebagai umat mayoritas di dunia, kita tidak perlu terjebak dengan narasi-narasi absurd ciptaan Barat.

Mereka hanya ingin mengoyak keimanan dan keyakinan kita terhadap Islam. Mereka ingin mengaburkan konsep Islam yang rahmatan lil alamin.

Mereka ingin menggiring opini bahwa syariat Islam itu menakutkan. Sebab, tatkala syariat Islam diterapkan, ideologi mereka, kapitalisme, akan tergusur dari arena peradaban manusia. Jadilah umat yang cerdas.

Tidak mudah diadu dengan sesama. Tidak gampang tercampuri dengan pemikiran batil yang merusak citra Islam. Wallahu a’lam.

*Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.